Akulah yang paling banyak mengeluarkan airmata

0
Pernah suatu hari di tahun 2007 atau 2008.
Aku terbangun dipagi hari tanpa ada semangat. Tak memiliki rencana untuk pergi bekerja, karena sudah hampir sebulan aku tak dapat Order. Hidup di Jakarta tanpa memiliki pekerjaan serasa begitu menyakitkan. terlebih lagi ketika merogoh kantong saku, yang tersisa hanya tinggal 15,000 atau 20,000 saja.

Anaku yang pertama bernama Rhey, sedang duduk di kelas 2 SD, Pagi itu dia sudah siap-siap untuk berangkat ke sekolah dengan seragam dan tas lengkap dipunggung. dia duduk di kursi sambil memainkan mainan, menunggu ibunya yang biasa mengantarnya ke sekolah.
Aku berdiri memandanginya dengan penuh rasa kasih sayang dan rasa sedih. 

Pagi itu istriku yang kusayangi masih terbaring ditempat tidur, dia sedang hamil anak keduaku yang sudah menginjak enam atau tujuh bulan.
Lalu terdengar istriku dari dalam kanar bicara kepada anakku " Rhey, hari ini mamah lagi sakit gak bisa mengantar kamu ke sekolah, bisa gak kalau hari ini kamu berangkat sekolahnya ikut bareng mamahnya Roji ?"
Roji adalah teman sekelasnya Rhey yang rumahnya berjarak 5 rumah di belakang rumah kontrakanku. Ibunya Roji yang biasa dipanggil mamah Roji adalah penduduk asli betawi yang baik sekali terhadap istriku.

Anakku menjawab pendek "Iya..."

Istriku berkata lagi "sini, ambil uang untuk ongkos angkotnya".
Rhey Kemudian menghampiri ibunya didalam kamar, dan diberikanlah uang sebesar 4000 kepadanya. Yang 2000 untuk ongkos angkot pulang pergi, dan yang 2000 untuk uang jajan.
Anakku kemudian menyalami ibunya dan menyalamiku sambil mencium tangan, lalu ia pergi ke rumah Roji.

Aku memandangi kepergian anakku dengan tanpa banyak bicara meski didalam hatiku sangat gaduh.

Aku duduk termenung dikursi membayangkan kepergian anakku yang baru kali ini ia berangkat sendiri ke sekolah tanpa disertai ibunya.
kulihat jam di dinding menunjukan pukul 7. Kemudian aku bertanya kepada istriku " mam, emang si Rhey masuk sekolahnya jam berapa ?"
" jam tujuh " jawab istriku dengan suara agak parau.
" hah... jam tujuh ?, jangan-jangan mamahnya si Roji sudah berangkat duluan ?" Aku tersentak kaget.
"Kalau begitu, coba ayah susul si Rhey, takutnya dia naik angkot sendiri ke sekolah" suruh istriku ikut kaget.

Aku kemudian bergegas pergi ke rumahnya Roji untuk memastikan.
Di depan rumahnya Roji tampak sepi sepertinya sudah berangkat ke sekolah. Namun si Rhey anakku tak kelihatan disitu. Aku mulai merasa khawatir, jangan-jangan anakku pergi sendiri ke sekolah,...  apakah dia bisa menyebrang jalan sendiri ?,... gimana kalau ketabrak motor ?. Gimana kalau dia salah naik angkot,...  jangan-jangan ada penjahat didalam angkot,...  jangan-jangan dia kesasar ke tempat jauh... ini Jakarta, sekali anak kesasar kemana aku harus mencari ???
Aku terus dihantui rasa was-was, ketakutan dan pikiran negatif.
kemudian aku menyusulnya ke jalan raya, siapa tau anakku masih ada. Namun di jalan raya anakkupun tak kelihatan.
Rasanya tubuhku tiba-tiba lemas, dan timbul penyesalan kenapa tadi aku tak mengantarkannya langsung ke sekolah ???

Ayah mana yang tega membiarkan anaknya yang masih kecil, berjuang sendiri untuk menimba ilmu. Tapi dengan apa aku harus mengantarkannya ?, motor sudah dijual, mobil baru kemarin ditarik oleh Bank karena tak sanggup bayar cicilan.

Aku sedang bangkrut, Aku jauh dari sanak sodara, aku sedang susah, aku tak punya pekerjaan, aku tak punya uang, istriku yang sedang hamil dalam keadaan sakit, dirumah tak ada beras untuk dimasak, bagaimana aku harus memberi makan anak dan istriku, tak ada tempat untuk meminta tolong.
Ya Allah....
Aku benar-benar ingin sekali menangis dan menjerit, tapi dimana aku harus menangis agar tak ada orang
yang melihat ?,
aku kemudian berjalan dengan keadaan setengah tidak sadar. dengan hati yang goncang, melangkahkan kaki tanpa tujuan, mengikuti arah kaki kemana dia ingin melangkah. 

Kemiskinan ini membuat imanku terkoyak dan hancur.
Tanpa disadari aku sudah jauh sekali dari rumah, hingga tau-tau aku sudah berada ditengah-tengah komplek sebuah perumahan elit Kebon Jeruk.
Dalam keadaan suasana perumahan yang begitu lengang dan sepi, kutemukan sebuah pos kamling yang posisinya terpojok.
Sejenak aku memutarkan pandangan disekitar, dan memang keadaan disitu begitu sepi, lalu masuklah aku kedalam pos kamling tersebut. 
Baru sampai di pintu pos, rasanya air mata yang sedari tadi aku tahan sudah tak dapat ku bendung lagi, maka aku menyungkurkan tubuhku di bale-bale dan menangis sejadi-jadinya didalam pos kamling hingga lama sekali.
Yang aku panggil disitu hanya satu " ya Allah,... ya Allah..... ya Allah...." entah berapa ratus kali aku memanggil-Nya.

Disitu aku tak ingin mengadu sedikitpun tentang kesusahanku karena aku tau kalau Allah lebih mengetahui keadaanku dan Dia sedang menyaksikan.
Disitu aku menangis dengan senang hati jika Allah merasa puas menyiksaku.
Disitu aku tak ingin meminta apapun karena rasanya aku sudah terlalu banyak meminta tapi tak juga diberi.
Disitu rasanya aku ingin sekali mati jika tak ingat anak dan istriku yang dalam keadaan lemah dan susah. jauh dari keluarga, tak ada uang, dalam keadaan sakit, dan sedang hamil, Aku berkata " Ya Allah... Silahkan ya Allah... Silahkan.... Apa lagi yang akan Engkau timpakan kepadaku, Demi Engkau aku siap menerima bahkan sekalipun Kau ingin ambil nyawaku saat ini disini... Hanya dua hal yang ingin aku minta,  jika Kau ambil hidupku hari ini, aku mohon ampunilah semua dosa-dosaku, dan antarkanlah anak dan istriku pulang kampung"
Disitu aku pasrahkan hidupku dan matiku sepenuhnya kepada Allah,


Tidak ada komentar

Posting Komentar

© all rights reserved
made with by templateszoo