Tampilkan postingan dengan label Sejarah Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Islam. Tampilkan semua postingan

KISAH NABI MUHAMMAD SAW MEMBELAH BULAN



Di zaman Jahilliyah hiduplah raja bernama Habib bin Malik di Syam, dia penyembah berhala yang fanatik dan menentang serta membenci agama yang didakwahkan Rasulullah Saw.
Suatu hari Abu Jahal menyurati Raja Habib bin Malik perihal Rasulullah Saw.
Surat itu membuatnya penasaran dan ingin bertemu dengan Rasulullah Saw, dan membalas surat itu Ia akan berkunjung ke Mekah.
Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah Ia dengan 10.000 orang ke Mekah.
Sampai di Desa Abtah, dekat Mekah, ia mengirim utusan untuk memberitahu Abu Jahal bahwa Dia telah tiba di perbatasan Mekah.
Maka disambutlah Raja Habib oleh Abu Jahal dan pembesar Quraisy.
"Seperti apa sih Muhammad itu......?" Tanya Raja Habib setelah bertemu dengan Abu Jahal.
"Sebaiknya Tuan tanyakan kepada Bani Haasyim," jawab Abu Jahal.
Lalu Raja Habib menanyakan kepada Bani Hasyim.
"Di masa kecilnya, Muhammad adalah anak yang bisa di percaya, jujur, dan baik budi.
Tapi, sejak berusia 40 tahun, Ia mulai menyebarkan agama baru, menghina dan menyepelekan tuhan-tuhan kami.
Ia menyebarkan agama yang bertentangan dengan agama warisan nenek moyang kami," jawab salah seorang keluarga Bani Hasyim.
Raja Habib memerintahkan untuk menjemput Rasulullah Saw, dan menyuruh untuk memaksa bila Ia tidak mau datang.
Dengan menggunakan jubah merah dan sorban hitam, Rasulullah Saw datang bersama Abu Bakar As Siddiq ra, dan Khadijah ra.
Sepanjang jalan Khadijah Ra, menangis karena khawatir akan keselamatan suaminya, demikian pula Abu Bakar ra.
"Kalian jangan takut, kita serahkan semua urusan kepada Allah ﷻ " Kata Rasulullah Saw.
Sampai di Desa Abthah, Rasulullah Saw di sambut dengan ramah dan dipersilahkan duduk di kursi yang terbuat dari emas.
Ketika Rasulullah Saw duduk di kursi tersebut, memancarlah cahaya kemilau dari wajahnya yang berwibawa, sehingga yang menyaksikannya tertegun dan kagum
Maka berkata Raja Habib:
"Wahai Muhammad setiap Nabi memiliki mukjizat, mukjizat apa yang Engkau miliki.................?"
Dengan tenang Rasulullah Saw balik bertanya:
"Mukjizat apa yang Tuan kehendaki................?"
Raja Habib bin Malik Menjawab:
"Aku menghendaki matahari yang tengah bersinar engkau tenggelamkan, kemudian munculkanlah bulan.
Lalu turunkanlah bulan ke tanganmu, belah menjadi dua bagian, dan masukkan masing-masing ke lengan bajumu sebelah kiri dan kanan.
Kemudian keluarkan lagi dan satukan lagi. Lalu suruhlah bulan mengakui engkau adalah Rasul.
Setelah itu kembalikan bulan itu ke tempatnya semula.
Jika engkau dapat melakukannya, aku akan beriman kepadamu dan mengakui kenabianmu,"....
Mendengar itu Abu Jahal sangat gembira, pasti Rasulullah Saw tidak dapat melakukannya.

Dengan tegas dan yakin Rasulullah Saw menjawab: "Aku penuhi permintaan Tuan."
Kemudian Rasulullah Saw berjalan ke arah Gunung Abi Qubaisy dan shalat dua rakaat.
Usai shalat, Beliau Saw berdoa dengan menengadahkan tangan tinggi-tinggi, agar permintaan Raja Habib terpenuhi.
Seketika itu juga tanpa diketahui oleh siapapun juga turunlah 12.000 malaikat.
Maka berkatalah malaikat:
"Wahai Rasulullah, Allah menyampaikan salam kepadamu.
Allah berfirman: 'Wahai kekasih-Ku, janganlah engkau takut dan ragu. Sesungguhnya Aku senantiasa bersamamu. Aku telah menetapkan keputusan-Ku sejak Zaman Azali.'
Tentang permintaan Habib bin Malik, pergilah engkau kepadanya untuk membuktikan kerasulanmu. Sesungguhnya Allah yang menjalankan matahari dan bulan serta mengganti siang dengan malam.
Habib bin Malik mempunyai seorang putri cacat, tidak punya kaki dan tangan serta buta. Allah ﷻ telah menyembuhkan anak itu, sehingga ia bisa berjalan, meraba dan melihat."
Lalu bergegaslah Rasulullah Saw turun menjumpai orang kafir, sementara bias cahaya kenabian yang memantul dari wajahnya semakin bersinar.
Waktu itu matahari telah beranjak senja, matahari hampir tenggelam, sehingga suasananya remang-remang
Tak lama kemudian Rasulullah Saw berdoa agar bulan segera terbit.
Maka terbitlah bulan dengan sinar yang benderang.
Terbelahnya Bulan Lalu dengan dua jari Rasulullah Saw mengisyaratkan agar bulan itu turun ke pada nya
Tiba-tiba suasana jadi amat menegangkan ketika terdengar suara gemuruh yang dahsyat.
Segumpal awan mengiringi turunnya bulan ke tangan Rasulullah Saw.
Segera setelah itu Beliau rosulalloh membelahnya menjadi dua bagian, lalu Beliau masukkan ke lengan baju kanan dan kiri.
Tidak lama kemudian, Beliau rosulalloh mengeluarkan potongan bulan itu dan menyatukannya kembali.
Dengan sangat takjub orang-orang menyaksikan Rasulullah Saw menggengam bulan yang bersinar dengan indah dan cemerlang.
Bersamaan dengan itu bulan mengeluarkan suara:
"Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh."
Menyaksikan keajaiban itu, pikiran dan perasaan semua yang hadir terguncang.
Sungguh, ini bukan mimpi, melainkan sebuah kejadian yang nyata............!
Sebuah mukjizat luar biasa hebat yang disaksikan sendiri oleh Raja Habib bin Malik.
Ia menyadari, itu tak mungkin terjadi pada manusia biasa, meski ia lihai dalam ilmu sihir sekalipun.....!
Namun, hati Raja Habib masih beku.
Maka ia pun berkata, "Aku masih mempunyai syarat lagi untuk mengujimu."
Belum lagi Raja Habib sempat melanjutkan ucapannya, Rasulullah memotong pembicaraan,
"Engkau mempunyai putri yang cacat, bukan...............?
Sekarang, Allah ﷻ telah menyembuhkannya dan menjadikannya seorang putri yang sempurna."
Raja Habib pun terkejut karena tidak ada siapapun yang tahu penyakit anaknya itu yaitu lumpuh dan matanya buta kecuali orang-orang istana dan mereka yang dekat dengannya saja.
Mendengar itu, betapa gembiranya hati Raja Habib.
Spontan ia pun berdiri dan berseru,
"Hai penduduk Mekah.........!
Kalian yang telah beriman jangan kembali kafir, karena tidak ada lagi yang perlu diragukan.
Ketahuilah, sesungguhnya aku bersaksi: tiada Tuhan selain Allah dan tiada sekutu baginya;
dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah Utusan dan hamba-Nya...!"
Melihat semua itu Abu Jahal jengkel dan marah, dengan emosi berkata kepada Raja Habib:
"Wahai...! Raja Habib engkau beriman kepada tukang sihir ini, hanya karena menyaksikan kehebatan sihirnya?"
Namun Raja Habib tidak menghiraukannya dan berkemas untuk pulang.
Sampai di pintu gerbang istana, putrinya yang sudah sempurna, menyambutnya sambil mengucapkan dua kalimat sahadat.
Tentu saja Raja Habib terkejut.
"Wahai putriku, darimana kamu mengetahui ucapan itu?
Siapa yang mengajarimu?"
"Aku bermimpi didatangi seorang lelaki tampan rupawan yang memberi tahu ayah telah memeluk Islam.
Dia juga berkata, jika aku menjadi muslimah, anggota tubuhku akan lengkap. Tentu saja aku mau, kemudian aku mengucapkan dua kalimat sahadat," jawab sang putri.
Maka seketika itu juga Raja Habib pun bersujudlah sebagai tanda syukur kepada Allah ﷻ
Subhanalloh

INNADINNA INDALLOHIL ISLAM
ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺻﻠﻰ ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ
* Dikutip dari Kitab: Durrotun
Nashihin
Bab Mu'jizat Nabi ﷺ 

Perang Badar

Pertempuran Badar (bahasa Arab: غزوة بدر, ghazwāt badr), adalah pertempuran besar pertama antara umat Islam melawan musuh-musuhnya. Perang ini terjadi pada 17 Maret 624 Masehi atau 17 Ramadan 2 Hijriah. Pasukan kecil kaum Muslim yang berjumlah 313 orang bertempur menghadapi pasukan Quraisy dari Mekkah yang berjumlah 1.000 orang. Setelah bertempur habis-habisan sekitar dua jam, pasukan Muslim menghancurkan barisan pertahanan pasukan Quraisy, yang kemudian mundur dalam kekacauan.

Sebelum pertempuran ini, kaum Muslim dan penduduk Mekkah telah terlibat dalam beberapa kali konflik bersenjata skala kecil antara akhir 623 sampai dengan awal 624, dan konflik bersenjata tersebut semakin lama semakin sering terjadi. Meskipun demikian, Pertempuran Badar adalah pertempuran skala besar pertama yang terjadi antara kedua kekuatan itu. Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallamsaat itu sedang memimpin pasukan kecil dalam usahanya melakukan pencegatan terhadap kafilah Quraisy yang baru saja pulang dari Syam, ketika ia dikejutkan oleh keberadaan pasukan Quraisy yang jauh lebih besar. Pasukan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallamyang sangat berdisiplin bergerak maju terhadap posisi pertahanan lawan yang kuat, dan berhasil menghancurkan barisan pertahanan Mekkah sekaligus menewaskan beberapa pemimpin penting Quraisy, antara lain ialah Abu Jahal alias Amr bin Hisyam.

Bagi kaum Muslim awal, pertempuran ini sangatlah berarti karena merupakan bukti pertama bahwa mereka sesungguhnya berpeluang untuk mengalahkan musuh mereka di Mekkah. Mekkah saat itu merupakan salah satu kota terkaya dan terkuat di Arabia zaman jahiliyah. Kemenangan kaum Muslim juga memperlihatkan kepada suku-suku Arab lainnya bahwa suatu kekuatan baru telah bangkit di Arabia, serta memperkokoh otoritas Muhammad sebagai pemimpin atas berbagai golongan masyarakat Madinah yang sebelumnya sering bertikai. Berbagai suku Arab mulai memeluk agama Islam dan membangun persekutuan dengan kaum Muslim di Madinah; dengan demikian, ekspansi agama Islam pun dimulai.

Kekalahan Quraisy dalam Pertempuran Badar menyebabkan mereka bersumpah untuk membalas dendam, dan hal ini terjadi sekitar setahun kemudian dalam Pertempuran Uhud.

Latar Belakang

Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam

Pada awal peperangan, Jazirah Arab dihuni oleh suku-suku yang berbicara dalam bahasa Arab. Beberapa diantaranya adalah suku Badui; bangsa nomad penggembala yang terdiri dari berbagai macam suku; beberapa adalah suku petani yang tinggal di oasis daerah utara atau daerah yang lebih subur di bagian selatan (sekarang Yaman dan Oman). Mayoritas bangsa Arab menganut kepercayaan politeisme. Beberapa suku juga memeluk agama Yahudi, Kristen (termasuk paham Nestorian), dan Zoroastrianisme.

Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam lahir di Mekkah sekitar tahun 570 dari keluarga Bani Hasyim dari suku Quraisy. Ketika berumur 40 tahun, ia mengalami pengalaman spiritual yaitu menerima wahyu ketika sedang menyepi di suatu gua, yakni Gua Hira di luar kota Mekkah. Ia mulai berdakwah kepada keluarganya dan setelah itu baru berdakwah kepada umum. Dakwahnya ada yang diterima dengan baik tapi lebih banyak yang menentangnya. Pada periode ini, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam dilindungi oleh pamannya Abu Thalib. Ketika pamannya meninggal dunia sekitar tahun 619, kepemimpinan Bani Hasyim diteruskan kepada salah seorang musuh Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam, yaitu Amr bin Hisyam, yang menghilangkan perlindungan kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallamserta meningkatkan penganiayaan terhadap komunitas Muslim.

Pada tahun 622, dengan semakin meningkatnya kekerasan terbuka yang dilakukan kaum Quraisy kepada kaum Muslim di Mekkah, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam dan banyak pengikutnya hijrah ke Madinah. Hal ini menandai dimulainya kedudukan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam sebagai pemimpin suatu kelompok dan agama.
Ghazawāt

Setelah kejadian hijrah, ketegangan antara kelompok masyarakat di Mekkah dan Madinah semakin memuncak dan pertikaian terjadi pada tahun 623 ketika kaum Muslim memulai beberapa serangan (sering disebut ghazawāt dalam bahasa Arab) pada rombongan dagang kaum Quraisy Mekkah. Madinah terletak di antara rute utama perdagangan Mekkah. Meskipun kebanyakan kaum Muslim berasal dari kaum Quraisy juga, mereka yakin akan haknya untuk mengambil harta para pedagang Quraisy Mekkah tersebut; karena sebelumnya telah menjarah harta dan rumah kaum muslimin yang ditinggalkan di Mekkah (karena hijrah) dan telah mengeluarkan mereka dari suku dan kaumnya sendiri, sebuah penghinaan dalam kebudayaan Arab yang sangat menjunjung tinggi kehormatan. Kaum Quraisy Mekkah jelas-jelas mempunyai pandangan lain terhadap hal tersebut, karena mereka melihat kaum Muslim sebagai penjahat dan juga ancaman terhadap lingkungan dan kewibawaan mereka.

Pada akhir tahun 623 dan awal tahun 624, aksi ghazawāt semakin sering dan terjadi di mana-mana. Pada bulan September 623, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam memimpin sendiri 200 orang kaum Muslim melakukan serangan yang gagal terhadap rombongan besar kafilah Mekkah. Tak lama setelah itu, kaum Quraisy Mekkah melakukan "serangan balasan" ke Madinah, meskipun tujuan sebenarnya hanyalah untuk mencuri ternak kaum Muslim. Pada bulan January 624, kaum Muslim menyerang kafilah dagang Mekkah di dekat daerah Nakhlah, hanya 40 kilometer di luar kota Mekkah, membunuh seorang penjaga dan akhirnya benar-benar membangkitkan dendam di kalangan kaum Quraisy Mekkah. Terlebih lagi dari sudut pandang kaum Quraisy Mekkah, penyerangan itu terjadi pada bulan Rajab; bulan yang dianggap suci oleh penduduk Mekkah. Menurut tradisi mereka, dalam bulan ini peperangan dilarang dan gencatan senjata seharusnya dijalankan. Berdasarkan latar-belakang inilah akhirnya Pertempuran Badar terjadi.

Pertempuran
Pergerakan pasukan menuju Badar.

Di musim semi tahun 624, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam mendapatkan informasi dari mata-matanya bahwa salah satu kafilah dagang yang paling banyak membawa harta pada tahun itu, dipimpin oleh Abu Sufyan dan dijaga oleh tiga puluh sampai empat puluh pengawal, sedang dalam perjalanan dari Suriah menuju Mekkah. Mengingat besarnya kafilah tersebut, atau karena beberapa kegagalan dalam penghadangan kafilah sebelumnya, Nabi Muhammad Salallahu 'alaihi Wasallam mengumpulkan pasukan sejumlah lebih dari 300 orang, yang sampai saat itu merupakan jumlah terbesar pasukan Muslim yang pernah diterjunkan ke medan perang.
Pergerakan menuju Badar

Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam memimpin pasukannya sendiri dan membawa banyak panglima utamanya, termasuk pamannya Hamzah dan para calon Kalifah pada masa depan, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Ali bin Abi Thalib. Kaum Muslim juga membawa 70 unta dan 3 kuda, yang berarti bahwa mereka harus berjalan, atau tiga sampai empat orang duduk di atas satu unta Namun, banyak sumber-sumber kalangan Muslim pada awal masa itu, termasuk dalam Al-Qur'an sendiri, tidak mengindikasikan akan terjadinya suatu peperangan yang serius, dan calon khalifah ketiga Utsman bin Affan juga tidak ikut karena istrinya sakit.

Ketika kafilah dagang Quraisy Mekkah mendekati Madinah, Abu Sufyan mulai mendengar mengenai rencana Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam untuk menyerangnya. Ia mengirim utusan yang bernama Damdam ke Mekkah untuk memperingatkan kaumnya dan mendapatkan bala bantuan. Segera saja kaum Quraisy Mekkah mempersiapkan pasukan sejumlah 900-1.000 orang untuk melindungi kelompok dagang tersebut. Banyak bangsawan kaum Quraisy Mekkah yang turut bergabung, termasuk di antaranya Amr bin Hisyam, Walid bin Utbah, Syaibah bin Rabi'ah, dan Umayyah bin Khalaf. Alasan keikut-sertaan mereka masing-masing berbeda. Beberapa ikut karena mempunyai bagian dari barang-barang dagangan pada kafilah dagang tersebut, yang lain ikut untuk membalas dendam atas Ibnu al-Hadrami, penjaga yang tewas di Nakhlah, dan sebagian kecil ikut karena berharap untuk mendapatkan kemenangan yang mudah atas kaum Muslim. Amr bin Hisyam juga disebutkan menyindir setidak-tidaknya seorang bangsawan, yaitu Umayyah ibn Khalaf, agar ikut serta dalam penyerangan ini.

Di saat itu pasukan Nabi Muhammad Shlallahu 'alaihi Wasallam sudah mendekati tempat penyergapan yang telah direncanakannya, yaitu di sumur Badar, suatu lokasi yang biasanya menjadi tempat persinggahan bagi semua kafilah yang sedang dalam rute perdagangan dari Suriah. Akan tetapi, beberapa orang petugas pengintai kaum Muslim berhasil diketahui keberadaannya oleh para pengintai kafilah dagang Quraisy tersebut dan Abu Sufyan kemudian langsung membelokkan arah kafilah menuju Yanbu.
Rencana pasukan Muslim
Lukisan Iran (1314), menggambarkan pertemuan para pemimpin Muslim sebelum memulai Pertempuran Badar.

    "Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir". Al-Anfal: 7

Pada saat itu telah sampai kabar kepada pasukan Muslim mengenai keberangkatan pasukan dari Mekkah. Muhammad segera menggelar rapat dewan peperangan, disebabkan karena masih adanya kesempatan untuk mundur dan di antara para pejuang Muslim banyak yang baru saja masuk Islam (disebut kaum Anshar atau "Penolong", untuk membedakannya dengan kaum Muslim Quraisy), yang sebelumnya hanya berjanji untuk membela Madinah. Berdasarkan pasal-pasal dalam Piagam Madinah, mereka berhak untuk menolak berperang serta dapat meninggalkan pasukan. Meskipun demikian berdasarkan tradisi Islam (sirah), dinyatakan bahwa mereka pun berjanji untuk berperang. Sa'ad bin Ubadah, salah seorang kaum Anshar, bahkan berkata "Seandainya engkau (Muhammad) membawa kami ke laut itu, kemudian engkau benar-benar mengarunginya, niscaya kami pun akan mengikutimu."[16] Akan tetapi, kaum Muslim masih berharap dapat terhindar dari suatu pertempuran terbuka, dan terus melanjutkan pergerakannya menuju Badar.

Pada tanggal 15 Maret, kedua pasukan telah berada kira-kira satu hari perjalanan dari Badar. Beberapa pejuang Muslim (menurut beberapa sumber, termasuk Ali bin Abi Thalib) yang telah berkuda di depan barisan utama, berhasil menangkap dua orang pembawa persedian air dari pasukan Mekkah di sumur Badar. Pasukan Muslim sangat terkejut ketika mendengar para tawanan berkata bahwa mereka bukan berasal dari kafilah dagang, melainkan berasal dari pasukan utama Quraisy. Karena menduga bahwa mereka berbohong, para penyelidik memukuli kedua tawanan tersebut sampai mereka berkata bahwa mereka berasal dari kafilah dagang. Akan tetapi berdasarkan catatan tradisi, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam kemudian menghentikan tindakan tersebut.[16] Beberapa catatan tradisi juga menyatakan bahwa ketika mendengar nama-nama para bangsawan Quraisy yang menyertai pasukan tersebut, ia berkata "Itulah Mekkah. Ia telah melemparkan kepada kalian potongan-potongan hatinya."[17] Hari berikutnya Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam memerintahkan melanjutkan pergerakan pasukan ke wadi Badar dan tiba di sana sebelum pasukan Mekkah.

Sumur Badar terletak di lereng yang landai di bagian timur suatu lembah yang bernama "Yalyal". Bagian barat lembah dipagari oleh sebuah bukit besar bernama "'Aqanqal". Ketika pasukan Muslim tiba dari arah timur, Muhammad pertama-tama memilih menempatkan pasukannya pada sumur pertama yang dicapainya. Tetapi, ia kemudian tampaknya berhasil diyakinkan oleh salah seorang pejuangnya, al-Habâb bin Mundzir Radhiyallahu anhu, untuk memindahkan pasukan ke arah barat dan menduduki sumur yang terdekat dengan posisi pasukan Quraisy. Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam kemudian memerintahkan agar sumur-sumur yang lain ditimbuni, sehingga pasukan Mekkah terpaksa harus berperang melawan pasukan Muslim untuk dapat memperoleh satu-satunya sumber air yang tersisa.

    "Semua suku Arab akan mendengar bagaimana kita akan maju ke depan dengan segala kemegahan kita, dan mereka akan mengagumi kita untuk selama-lamanya." - Amr bin Hisyam

Di sisi lain, meskipun tidak banyak yang diketahui mengenai perjalanan pasukan Quraisy sejak saat mereka meninggalkan Mekkah sampai dengan kedatangannya di perbatasan Badar, beberapa hal penting dapat dicatat: adalah tradisi pada banyak suku Arab untuk membawa istri dan anak-anak mereka untuk memotivasi dan merawat mereka selama pertempuran, tetapi tidak dilakukan pasukan Mekkah pada perang ini. Selain itu, kaum Quraisy juga hanya sedikit atau sama sekali tidak menghubungi suku-suku Badui sekutu mereka yang banyak tersebar di seluruh Hijaz.[18] Kedua fakta itu memperlihatkan bahwa kaum Quraisy kekurangan waktu untuk mempersiapkan penyerangan tersebut, karena tergesa-gesa untuk melindungi kafilah dagang mereka.

Ketika pasukan Quraisy sampai di Juhfah, sedikit di arah selatan Badar, mereka menerima pesan dari Abu Sufyan bahwa kafilah dagang telah aman berada di belakang pasukan tersebut, sehingga mereka dapat kembali ke Mekkah.[19] Pada titik ini, menurut penelitian Karen Armstrong, muncul pertentangan kekuasaan di kalangan pasukan Mekkah. Amr bin Hisyam ingin melanjutkan perjalanan, tetapi beberapa suku termasuk Bani Zuhrah dan Bani 'Adi, segera kembali ke Mekkah. Armstrong memperkirakan suku-suku itu khawatir terhadap kekuasaan yang akan diraih oleh Amr bin Hisyam, dari penghancuran kaum Muslim. Sekelompok perwakilan Bani Hasyim yang juga enggan berperang melawan saudara sesukunya, turut pergi bersama kedua suku tersebut.[20] Di luar beberapa kemunduran itu, Amr bin Hisyam tetap teguh dengan keinginannya untuk bertempur, dan bersesumbar "Kita tidak akan kembali sampai kita berada di Badar". Pada masa inilah Abu Sufyan dan beberapa orang dari kafilah dagang turut bergabung dengan pasukan utama.[21]
Hari pertempuran
Peta pertempuran. Pasukan Mekkah (Hitam) mendekati dari arah barat, sedangkan pasukan Muslim (Merah) mengambil posisi-posisi di depan sumur-sumur Badar.

Di saat fajar tanggal 17 Maret, pasukan Quraisy membongkar kemahnya dan bergerak menuju lembah Badar. Telah turun hujan pada hari sebelumnya, sehingga mereka mereka harus berjuang ketika membawa kuda-kuda dan unta-unta mereka mendaki bukit 'Aqanqal (beberapa sumber menyatakan bahwa matahari telah tinggi ketika mereka berhasil mencapai puncak bukit).[22] Setelah menuruni bukit 'Aqanqal, pasukan Mekkah mendirikan kemah baru di dalam lembah. Saat beristirahat, mereka mengirimkan seorang pengintai, yaitu Umair bin Wahab, untuk mengetahui letak barisan-barisan Muslim. Umair melaporkan bahwa pasukan Muhammad berjumlah kecil, dan tidak ada pasukan pendukung Muslim lainnya yang akan bergabung dalam peperangan.[23] Akan tetapi ia juga memperkirakan akan ada banyak korban dari kaum Quraisy bila terjadi penyerangan (salah satu hadits menyampaikan bahwa ia melihat "unta-unta (Madinah) yang penuh dengan hawa kematian").[24] Hal tersebut semakin menurunkan moral kaum Quraisy, karena adanya kebiasaan peperangan suku-suku Arab yang umumnya sedikit memakan korban, dan menimbulkan perdebatan baru di antara para pemimpin Quraisy. Meskipun demikian, menurut catatan tradisi Islam, Amr bin Hisyam membungkam semua ketidak-puasan dengan membangkitkan rasa harga diri kaum Quraisy dan menuntut mereka agar menuntaskan hutang darah mereka.

Pertempuran diawali dengan majunya pemimpin-pemimpin kedua pasukan untuk berperang tanding. Tiga orang Anshar maju dari barisan Muslim, akan tetapi diteriaki agar mundur oleh pasukan Mekkah, yang tidak ingin menciptakan dendam yang tidak perlu dan menyatakan bahwa mereka hanya ingin bertarung melawan Muslim Quraisy. Karena itu, kaum Muslim kemudian mengirimkan Ali, Ubaidah bin al-Harits, dan Hamzah. Para pemimpin Muslim berhasil menewaskan pemimpin-pemimpin Mekkah dalam pertarungan tiga lawan tiga, meskipun Ubaidah mendapat luka parah yang menyebabkan ia wafat.

Selanjutnya kedua pasukan mulai melepaskan anak panah ke arah lawannya. Dua orang Muslim dan beberapa orang Quraisy yang tidak jelas jumlahnya tewas. Sebelum pertempuran berlangsung, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam telah memberikan perintah kepada kaum Muslim agar menyerang dengan senjata-senjata jarak jauh mereka, dan bertarung melawan kaum Quraisy dengan senjata-senjata jarak pendek hanya setelah mereka mendekat. Segera setelah itu ia memberikan perintah untuk maju menyerbu, sambil melemparkan segenggam kerikil ke arah pasukan Mekkah; suatu tindakan yang mungkin merupakan suatu kebiasaan masyarakat Arab, dan berseru "Kebingungan melanda mereka!"
Pasukan Muslim berseru "Ya manshur, amit!!" ( "Untuk kemenangan, matilah!") dan mendesak barisan-barisan pasukan Quraisy. Besarnya kekuatan serbuan kaum Muslim dapat dilihat pada beberapa ayat-ayat al-Qur'an, yang menyebutkan bahwa ribuan malaikat turun dari Surga pada Pertempuran Badar untuk membinasakan kaum Quraisy.
Haruslah dicatat bahwa sumber-sumber Muslim awal memahami kejadian ini secara harafiah, dan terdapat beberapa hadits mengenai Muhammad yang membahas mengenai Malaikat Jibril dan peranannya di dalam pertempuran tersebut. Apapun penyebabnya, pasukan Mekkah yang kalah kekuatan dan tidak bersemangat dalam berperang segera saja tercerai-berai dan melarikan diri. Pertempuran itu sendiri berlangsung hanya beberapa jam dan selesai sedikit lewat tengah hari.

Korban dan tawanan
Imam Bukhari memberikan keterangan bahwa dari pihak Mekkah tujuh puluh orang tewas dan tujuh puluh orang tertawan.[33] Hal ini berarti 15%-16% pasukan Quraisy telah menjadi korban. Kecuali bila ternyata jumlah pasukan Mekkah yang terlibat di Badr jauh lebih sedikit, maka persentase pasukan yang tewas akan lebih tinggi lagi. Korban pasukan Muslim umumnya dinyatakan sebanyak empat belas orang tewas, yaitu sekitar 4% dari jumlah mereka yang terlibat peperangan.

Sumber-sumber tidak menceritakan mengenai jumlah korban luka-luka dari kedua belah pihak, dan besarnya selisih jumlah korban keseluruhan antara kedua belah pihak menimbulkan dugaan bahwa pertempuran berlangsung dengan sangat singkat dan sebagian besar pasukan Mekkah terbunuh ketika sedang bergerak mundur.

Selama terjadinya pertempuran, pasukan Muslim berhasil menawan beberapa orang Quraisy Mekkah. Perbedaan pendapat segera terjadi di antara pasukan Muslim mengenai nasib bagi para tawanan tersebut. Kekhawatiran awal ialah pasukan Mekkah akan menyerbu kembali dan kaum Muslim tidak memiliki orang-orang untuk menjaga para tawanan. Sa'ad dan Umar berpendapat agar tawanan dibunuh, sedangkan Abu Bakar mengusulkan pengampunan. Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam akhirnya menyetujui usulan Abu Bakar, dan sebagian besar tawanan dibiarkan hidup, sebagian karena alasan hubungan kekerabatan (salah seorang adalah menantu Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam), keinginan untuk menerima tebusan, atau dengan harapan bahwa suatu saat mereka akan masuk Islam (dan memang kemudian sebagian melakukannya).
Setidak-tidaknya dua orang penting Mekkah, Amr bin Hisyam dan Umayyah, tewas pada saat atau setelah Pertempuran Badar. Demikian pula dua orang Quraisy lainnya yang pernah menumpahkan keranjang kotoran kambing kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam saat ia masih berdakwah di Mekkah, dibunuh dalam perjalanan kembali ke Madinah.
Bilal, bekas budak Umayyah, begitu berkeinginan membunuhnya sehingga bersama sekumpulan orang yang membantunya bahkan sampai melukai seorang Muslim yang ketika itu sedang mengawal Umayyah.

Beberapa saat sebelum meninggalkan Badar, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam memberikan perintah agar mengubur sekitar dua puluh orang Quraisy yang tewas ke dalam sumur Badar.
Beberapa hadits menyatakan kejadian ini, yang tampaknya menjadi penyebabkan kemarahan besar pada kaum Quraisy Mekkah. Segera setelah itu, beberapa orang Muslim yang baru saja ditangkap sekutu-sekutu Mekkah dibawa ke kota itu dan dibunuh sebagai pembalasan atas kekalahan yang terjadi.

Berdasarkan tradisi Mekkah mengenai hutang darah, siapa saja yang memiliki hubungan darah dengan mereka yang tewas di Badar, haruslah merasa terpanggil untuk melakukan pembalasan terhadap orang-orang dari suku-suku yang telah membunuh kerabat mereka tersebut. Pihak Muslim juga mempunyai keinginan yang besar untuk melakukan pembalasan, karena telah mengalami penyiksaan dan penganiayaan oleh kaum Quraisy Mekkah selama bertahun-tahun. Akan tetapi selain pembunuhan awal yang telah terjadi, para tawanan lainnya yang masih hidup kemudian ditempatkan pada beberapa keluarga Muslim di Madinah dan mendapat perlakuan yang baik; yaitu sebagai kerabat atau sebagai sumber potensial untuk mendapatkan uang tebusan.

Dampak selanjutnya
Pertempuran Badar sangatlah berpengaruh atas munculnya dua orang tokoh yang akan menentukan arah masa depan Jazirah Arabia pada abad selanjutnya. Tokoh pertama adalah Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam, yang dalam semalam statusnya berubah dari seorang buangan dari Mekkah, menjadi salah seorang pemimpin utama. Menurut Karen Armstrong, "selama bertahun-tahun Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam telah menjadi sasaran pencemoohan dan penghinaan; tetapi setelah keberhasilan yang hebat dan tak terduga itu, semua orang di Arabia mau tak mau harus menanggapinya secara serius."

Kemenangan di Badar juga membuat Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam dapat memperkuat posisinya sendiri di Madinah. Segera setelah itu, ia mengeluarkan Bani Qainuqa' dari Madinah, yaitu salah satu suku Yahudi yang sering mengancam kedudukan politiknya. Pada saat yang sama, Abdullah bin Ubay, seorang Muslim pemimpin Bani Khazraj dan penentang Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam, menemukan bahwa posisi politiknya di Madinah benar-benar melemah. Selanjutnya, ia hanya mampu memberikan penentangan dengan pengaruh terbatas kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam.

Tokoh lain yang mendapat keberuntungan besar atas terjadinya Pertempuran Badar adalah Abu Sufyan. Kematian Amr bin Hisyam, serta banyak bangsawan Quraisy lainnya[42] telah memberikan Abu Sufyan peluang, yang hampir seperti direncanakan, untuk menjadi pemimpin bagi kaum Quraisy. Sebagai akibatnya, saat pasukan Muhammad bergerak memasuki Mekkah enam tahun kemudian, Abu Sufyan menjadi tokoh yang membantu merundingkan penyerahannya secara damai. Abu Sufyan pada akhirnya menjadi pejabat berpangkat tinggi dalam Kekhalifahan Islam, dan anaknya Muawiyah kemudian melanjutkannya dengan mendirikan Kekhalifahan Umayyah.

Keikutsertaan dalam pertempuran di Badar pada masa-masa kemudian menjadi amat dihargai, sehingga Ibnu Ishaq memasukkan secara lengkap nama-nama pasukan Muslim tersebut dalam biografi Muhammad yang dibuatnya. Pada banyak hadits, orang-orang yang bertempur di Badar dinyatakan dengan jelas sebagai sebentuk penghormatan, bahkan kemungkinan mereka juga menerima semacam santunan pada tahun-tahun belakangan. Meninggalnya veteran Pertempuran Badar yang terakhir, diperkirakan terjadi saat perang saudara Islam pertama. Menurut Karen Armstrong, salah satu dampak Badar yang paling berkelanjutan kemungkinan adalah kegiatan berpuasa selama Ramadan, yang menurutnya pada awalnya dikerjakan umat Muslim untuk mengenang kemenangan pada Pertempuran Badar. Meskipun demikian pandangan ini diragukan, karena menurut catatan tradisi Islam, pasukan Muslim saat itu sedang berpuasa ketika mereka bergerak maju ke medan pertempuran.

Sumber sejarah
Badar dalam al-Qur'an
Keadaan jalan raya menuju Badar saat ini.

Pertempuran Badar adalah salah satu dari sedikit pertempuran yang secara eksplisit dibicarakan dalam al-Qur'an. Nama pertempuran ini bahkan disebutkan pada Surah Ali 'Imran: 123, sebagai bagian dari perbandingan terhadap Pertempuran Uhud.

    Sungguh Allah telah menolong kamu dalam Peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertawakallah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang Mukmin, "Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?" Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. Ali 'Imran: 123-125

Menurut Yusuf Ali, istilah "syukur" dapat merujuk kepada disiplin. Di Badar, barisan-barisan Muslim diperkirakan telah menjaga disiplin secara ketat; sementara di Uhud mereka keluar barisan untuk memburu orang-orang Mekkah, sehingga membuat pasukan berkuda Mekkah dapat menyerang dari samping dan menghancurkan pasukan Muslim. Gagasan bahwa Badar merupakan "pembeda" (furqan), yaitu menjadi kejadian mukjizat dalam Islam, disebutkan lagi dalam surah yang sama ayat 13.

    "Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang Muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati." Ali 'Imran:13

Badar juga merupakan pokok pembahasan Surah kedelapan Al-Anfal, yang membahas mengenai berbagai tingkah laku dan kegiatan militer. "Al-Anfal" berarti "rampasan perang" dan merujuk pada pembahasan pasca pertempuran dalam pasukan Muslim mengenai bagaimana membagi barang rampasan dari pasukan Quraisy. Meskipun surah tersebut tidak menyebut Badar, isinya menggambarkan pertempuran tersebut, serta beberapa ayat yang umumnya dianggap diturunkan pada saat atau segera setelah pertempuran tersebut terjadi.


Dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Badar

Perang Uhud

Pertempuran Uhud adalah pertempuran yang pecah antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy pada
Pendahuluan

Rasulullah menempatkan pasukan Islam di kaki bukit Uhud di bagian barat. Tentara Islam berada dalam formasi yang kompak dengan panjang front kurang lebih 1.000 yard. Sayap kanan berada di kaki bukit Uhud sedangkan sayap kiri berada di kaki bukit Ainain (tinggi 40 kaki, panjang 500 kaki). Sayap kanan Muslim aman karena terlindungi oleh bukit Uhud, sedangkan sayap kiri berada dalam bahaya karena musuh bisa memutari bukit Ainain dan menyerang dari belakang, untuk mengatasi hal ini Rasulullah menempatkan 50 pemanah di Ainain dibawah pimpinan Abdullah bin Zubair dengan perintah yang sangat tegas dan jelas yaitu "Gunakan panahmu terhadap kavaleri musuh. Jauhkan kavaleri dari belakang kita. Selama kalian tetap di tempat, bagian belakang kita aman. jangan sekali-sekali kalian meninggalkan posisi ini. Jika kalian melihat kami menang, jangan bergabung; jika kalian melihat kami kalah, jangan datang untuk menolong kami."

Di belakang pasukan Islam terdapat 14 wanita yang bertugas memberi air bagi yang haus, membawa yang terluka keluar dari pertempuran, dan mengobati luka tersebut. Di antara wanita ini adalah Fatimah, putri rasulullah yang juga istri Ali, sedangkan rasulullah sendiri berada di sayap kiri.

Posisi pasukan Islam bertujuan untuk mengeksploitasi kelebihan pasukan Islam yaitu keberanian dan keahlian bertempur. Selain itu juga meniadakan keuntungan musuh yaitu jumlah dan kavaleri (kuda pasukan Islam hanya 2, salah satunya milik rasulullah). Abu Sufyan tentu lebih memilih pertempuran terbuka di mana dia bisa bermanuver ke bagian samping dan belakang tentara Islam dan mengerahkan seluruh tentaranya untuk mengepung pasukan tersebut. Tetapi rasulullah menetralisir hal ini dan memaksa Abu Sufyan bertempur di front yang terbatas di mana infantri dan kavalerinya tidak terlalu berguna. Juga patut dicatat bahwa tentara Islam sebetulnya menghadap Madinah dan bagian belakangnya menghadap bukit Uhud, jalan ke Madinah terbuka bagi tentara kafir.

Tentara Quraish berkemah satu mil di selatan bukit Uhud. Abu Sufyan mengelompokkan pasukan ini menjadi infantri di bagian tengah dan dua sayap kavaleri di samping. Sayap kanan dipimpin oleh Khalid bin Walid dan sayap kiri dipimpin oleh Ikrimah bin Abu Jahal, masing-masing berkekuatan 100 orang. Amr bin Al Aas ditunjuk sebagai panglima bagi kedua sayap tapi tugasnya terutama untuk koordinasi. Abu Sufyan juga menempatkan 100 pemanah di barisan terdepan. Bendera Quraish dibawa oleh Talha bin Abu Talha.
Sebab kemenangan dalam Perang Uhud
Peta pertempuran uhud

Kisah ini ditulis di Surat Ali ‘Imran ayat 140-179.

إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهُ ۚ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّـهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَاءَ ۗ وَاللَّـهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ . ١٤٠

"Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim,"
[QS. Ali Imran 3:140]

Dalam Surat Ali ‘Imran, Allah menjelaskan kekalahan di Uhud adalah suatu ujian (ayat 141) – ujian bagi Muslim mu’min dan munafik (ayat 166-167).

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar (ayat 142)?
Bahkan jika Muhammad sendiri mati terbunuh, Muslim harus terus berperang (ayat 144),
Karena tiada seorang pun yang mati tanpa izin Allah (ayat 145).
Lihatlah para nabi yang tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah (ayat 146).
Para Muslim tidak boleh taat pada kafir (ayat 149),
Karena Allah Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut (ayat 151)."

Ayat2 di atas tidak menunjukkan sebab yang sebenarnya mengapa Muhammad dan Muslim kalah perang di Uhud. Penjelasan yang lebih lengkap bisa dibaca di Hadis Sahih Bukhari, Volume 4, Book 52, Number 276

Sebagaimana manusia biasa, wajar bila seseorang terlupa akan sesuatu. Begitu juga pasukan yang berjaga di atas bukit Uhud. Mereka terlupa dan akhirnya turun ke lembah untuk mengambil hak pemenang perang. Melihat banyak pasukan dari pihak islam yang meninggalkan pos di atas bukit, Khalid bin Walid memerintahkan pasukan kafir yang tersisa untuk berbalik kembali dan menyerang pasukan islam. Pos di atas bukit direbut oleh kafirin dan pasukan islam yang tersisa di sana dibunuh, termasuk Hamzah paman rasulullah
tanggal 22 Maret 625 M (7 Syawal 3 H). Pertempuran ini terjadi kurang lebih setahun lebih seminggu setelah Pertempuran Badr. Tentara Islam berjumlah 700 orang sedangkan tentara kafir berjumlah 3.000 orang. Tentara Islam dipimpin langsung oleh rasulullah sedangkan tentara kafir dipimpin oleh Abu Sufyan. Disebut Pertempuran Uhud karena terjadi di dekat bukit Uhud yang terletak 4 mil dari Masjid Nabawi dan mempunyai ketinggian 1000 kaki dari permukaan tanah dengan panjang 5 mil.

Nama-Nama Para Pejuang Perang Badar

Nama-Nama Para Pejuang Perang Badar adalah Sebagai berikut :
1. Sayyiduna Muhammad Rasulullah s.a.w.
2. Abu Bakar as-Shiddiq r.a.
3. Umar bin Khattab r.a.
4. Usman bin Affan r.a.
5. Ali bin Abi Talib r.a.
6. Thalhah bin Ubaidillah r.a.
7. Bilal bin Rabah r.a.
8. Hamzah bin Abdul Muthalib r.a.
9. Abdullah bin Jahsyi r.a.
10. Al-Zubair bin Awwam r.a.
11. Mus'ab bin Umair bin Hasyim r.a.
12. Abdurrahman bin Auf r.a.
13. Abdullah bin Mas'ud r.a.
14. Sa'ad bin Abi Waqqas r.a.
15. Abu Kabsyah al-Faris r.a.
16. Anasah al-Habsyi r.a.
17. Zaid bin Haritsah al-Kalbi r.a.
18. Marthad bin Abi Marthad al-Ghanawi r.a.
19. Abu Marthad al-Ghanawi r.a.
20. Al-Husain bin al-Harith bin Abdul Muttolib r.a.
21. ‘Ubaidah bin al-Harith bin Abdul Muttolib r.a.
22. Al-Tufail bin al-Harith bin Abdul Muttolib r.a.
23. Mistah bin Usasah bin ‘Ubbad bin Abdul Muttolib r.a.
24. Abu Huzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah r.a.
25. Subaih (maula Abi ‘Asi bin Umaiyyah) r.a.
26. Salim (maula Abu Huzaifah) r.a.
27. Sinan bin Muhsin r.a.
28. ‘Ukasyah bin Muhsin r.a.
29. Sinan bin Abi Sinan r.a.
30. Abu Sinan bin Muhsin r.a.
31. Syuja’ bin Wahab r.a.
32. ‘Utbah bin Wahab r.a.
33. Yazid bin Ruqais r.a.
34. Muhriz bin Nadhlah r.a.
35. Rabi’ah bin Aksam r.a.
36. Thaqfu bin Amir r.a.
37. Malik bin Amir r.a.
38. Mudlij bin Amir r.a.
39. Abu Makhsyi Suwaid bin Makhsyi al-To’i r.a.
40. ‘Utbah bin Ghazwan r.a.
41. Khabbab (maula ‘Utbah bin Ghazwan) r.a.
42. Hathib bin Abi Balta’ah al-Lakhmi r.a.
43. Sa’ad al-Kalbi (maula Hathib) r.a.
44. Suwaibit bin Sa’ad bin Harmalah r.a.
45. Umair bin Abi Waqqas r.a.
46. Al-Miqdad bin ‘Amru r.a.
47. Mas’ud bin Rabi’ah r.a.
48. Zus Syimalain Amru bin Amru r.a.
49. Khabbab bin al-Arat al-Tamimi r.a.
50. Amir bin Fuhairah r.a.
51. Suhaib bin Sinan r.a.
52. Abu Salamah bin Abdul Asad r.a.
53. Syammas bin Uthman r.a.
54. Al-Arqam bin Abi al-Arqam r.a.
55. Ammar bi Yasir r.a.
56. Mu’attib bin ‘Auf al-Khuza’i r.a.
57. Zaid Bin al-Khaththab r.a.
58. Amru bin Suraqah r.a.
59. Abdullah bin Suraqah r.a.
60. Sa'id bin Zaid bin `Amru r.a.
61. Mihja bin Akk (maula Umar bin al-Khattab) r.a.
62. Waqid bin Abdullah al-Tamimi r.a.
63. Khauli bin Abi Khauli al-Ijli r.a.
64. Malik bin Abi Khauli al-Ijli r.a.
65. Amir bin Rabi’ah r.a.
66. Amir bin al-Bukair r.a.
67. Aqil bin al-Bukair r.a.
68. Khalid bin al-Bukair r.a.
69. Iyas bin al-Bukair r.a.
70. Uthman bin Maz’un r.a.
71. Qudamah bin Maz’un r.a.
72. Abdullah bin Maz’un r.a.
73. Al-Saib bin Uthman bin Maz’un r.a.
74. Ma’mar bin al-Harith r.a.
75. Khunais bin Huzafah r.a.
76. Abu Sabrah bin Abi Ruhm r.a.
77. Abdullah bin Makhramah r.a.
78. Abdullah bin Suhail bin Amru r.a.
79. Wahab bin Sa’ad bin Abi Sarah r.a.
80. Hatib bin Amru r.a.
81. Umair bin Auf r.a.
82. Sa’ad bin Khaulah r.a.
83. Abu Ubaidah Amir al-Jarah r.a.
84. Amru bin al-Harith r.a.
85. Suhail bin Wahab bin Rabi’ah r.a.
86. Safwan bin Wahab r.a.
87. Amru bin Abi Sarah bin Rabi’ah r.a.
88. Sa’ad bin Muaz r.a.
89. Amru bin Muaz r.a.
90. Al-Harith bin Aus r.a.
91. Al-Harith bin Anas r.a.
92. Sa’ad bin Zaid bin Malik r.a.
93. Salamah bin Salamah bin Waqsyi r.a.
94. ‘Ubbad bin Waqsyi r.a.
95. Salamah bin Thabit bin Waqsyi r.a.
96. Rafi’ bin Yazid bin Kurz r.a.
97. Al-Harith bin Khazamah bin ‘Adi r.a.
98. Muhammad bin Maslamah al-Khazraj r.a.
99. Salamah bin Aslam bin Harisy r.a.
100. Abul Haitham bin al-Tayyihan r.a.
101. ‘Ubaid bin Tayyihan r.a.
102. Abdullah bin Sahl r.a.
103. Qatadah bin Nu’man bin Zaid r.a.
104. Ubaid bin Aus r.a.
105. Nasr bin al-Harith bin ‘Abd r.a.
106. Mu’attib bin ‘Ubaid r.a.
107. Abdullah bin Tariq al-Ba’lawi r.a.
108. Mas’ud bin Sa’ad r.a.
109. Abu Absi Jabr bin Amru r.a.
110. Abu Burdah Hani’ bin Niyyar al-Ba’lawi r.a.
111. Asim bin Thabit bin Abi al-Aqlah r.a.
112. Mu’attib bin Qusyair bin Mulail r.a.
113. Abu Mulail bin al-Az’ar bin Zaid r.a.
114. Umair bin Mab’ad bin al-Az’ar r.a.
115. Sahl bin Hunaif bin Wahib r.a.
116. Abu Lubabah Basyir bin Abdul Munzir r.a.
117. Mubasyir bin Abdul Munzir r.a.
118. Rifa’ah bin Abdul Munzir r.a.
119. Sa’ad bin ‘Ubaid bin al-Nu’man r.a.
120. ‘Uwaim bin Sa’dah bin ‘Aisy r.a.
121. Rafi’ bin Anjadah r.a.
122. ‘Ubaidah bin Abi ‘Ubaid r.a.
123. Tha’labah bin Hatib r.a.
124. Unais bin Qatadah bin Rabi’ah r.a.
125. Ma’ni bin Adi al-Ba’lawi r.a.
126. Thabit bin Akhram al-Ba’lawi r.a.
127. Zaid bin Aslam bin Tha’labah al-Ba’lawi r.a.
128. Rib’ie bin Rafi’ al-Ba’lawi r.a.
129. Asim bin Adi al-Ba’lawi r.a.
130. Jubr bin ‘Atik r.a.
131. Malik bin Numailah al-Muzani r.a.
132. Al-Nu’man bin ‘Asr al-Ba’lawi r.a.
133. Abdullah bin Zubair r.a.
134. Asim bin Qais bin Thabit r.a.
135. Abu Dhayyah bin Thabit bin al-Nu’man r.a.
136. Abu Hayyah bin Thabit bin al-Nu’man r.a.
137. Salim bin Amir bin Thabit r.a.
138. Al-Harits bin al-Nu’man bin Umayyah r.a.
139. Khawwat bin Jubair bin al-Nu’man r.a.
140. Al-Munzir bin Muhammad bin ‘Uqbah r.a.
141. Abu ‘Uqail bin Abdullah bin Tha’labah r.a.
142. Sa’ad bin Khaithamah r.a.
143. Munzir bin Qudamah bin Arfajah r.a.
144. Tamim (maula Sa’ad bin Khaithamah) r.a.
145. Al-Harith bin Arfajah r.a.
146. Kharijah bin Zaid bin Abi Zuhair r.a.
147. Sa’ad bin al-Rabi’ bin Amru r.a.
148. Abdullah bin Rawahah r.a.
149. Khallad bin Suwaid bin Tha’labah r.a.
150. Basyir bin Sa’ad bin Tha’labah r.a.
151. Sima’ bin Sa’ad bin Tha’labah r.a.
152. Subai bin Qais bin ‘Isyah r.a.
153. ‘Ubbad bin Qais bin ‘Isyah r.a.
154. Abdullah bin Abbas r.a.
155. Yazid bin al-Harith bin Qais r.a.
156. Khubaib bin Isaf bin ‘Atabah r.a.
157. Abdullah bin Zaid bin Tha’labah r.a.
158. Huraith bin Zaid bin Tha’labah r.a.
159. Sufyan bin Bisyr bin Amru r.a.
160. Tamim bin Ya’ar bin Qais r.a.
161. Abdullah bin Umair r.a.
162. Zaid bin al-Marini bin Qais r.a.
163. Abdullah bin ‘Urfutah r.a.
164. Abdullah bin Rabi’ bin Qais r.a.
165. Abdullah bin Abdullah bin Ubai r.a.
166. Aus bin Khauli bin Abdullah r.a.
167. Zaid bin Wadi’ah bin Amru r.a.
168. ‘Uqbah bin Wahab bin Kaladah r.a.
169. Rifa’ah bin Amru bin Amru bin Zaid r.a.
170. Amir bin Salamah r.a.
171. Abu Khamishah Ma’bad bin Ubbad r.a.
172. Amir bin al-Bukair r.a.
173. Naufal bin Abdullah bin Nadhlah r.a.
174. ‘Utban bin Malik bin Amru bin al-Ajlan r.a.
175. ‘Ubadah bin al-Somit r.a.
176. Aus bin al-Somit r.a.
177. Al-Nu’man bin Malik bin Tha’labah r.a.
178. Thabit bin Huzal bin Amru bin Qarbus r.a.
179. Malik bin Dukhsyum bin Mirdhakhah r.a.
180. Al-Rabi’ bin Iyas bin Amru bin Ghanam r.a.
181. Waraqah bin Iyas bin Ghanam r.a.
182. Amru bin Iyas r.a.
183. Al-Mujazzar bin Ziyad bin Amru r.a.
184. ‘Ubadah bin al-Khasykhasy r.a.
185. Nahhab bin Tha’labah bin Khazamah r.a.
186. Abdullah bin Tha’labah bin Khazamah r.a.
187. Utbah bin Rabi’ah bin Khalid r.a.
188. Abu Dujanah Sima’ bin Kharasyah r.a.
189. Al-Munzir bin Amru bin Khunais r.a.
190. Abu Usaid bin Malik bin Rabi’ah r.a.
191. Malik bin Mas’ud bin al-Badan r.a.
192. Abu Rabbihi bin Haqqi bin Aus r.a.
193. Ka’ab bin Humar al-Juhani r.a.
194. Dhamrah bin Amru r.a.
195. Ziyad bin Amru r.a.
196. Basbas bin Amru r.a.
197. Abdullah bin Amir al-Ba’lawi r.a.
198. Khirasy bin al-Shimmah bin Amru r.a.
199. Al-Hubab bin al-Munzir bin al-Jamuh r.a.
200. Umair bin al-Humam bin al-Jamuh r.a.
201. Tamim (maula Khirasy bin al-Shimmah) r.a.
202. Abdullah bin Amru bin Haram r.a.
203. Muaz bin Amru bin al-Jamuh r.a.
204. Mu’awwiz bin Amru bin al-Jamuh r.a.
205. Khallad bin Amru bin al-Jamuh r.a.
206. ‘Uqbah bin Amir bin Nabi bin Zaid r.a.
207. Hubaib bin Aswad r.a.
208. Thabit bin al-Jiz’i r.a.
209. Umair bin al-Harith bin Labdah r.a.
210. Basyir bin al-Barra’ bin Ma’mur r.a.
211. Al-Tufail bin al-Nu’man bin Khansa’ r.a.
212. Sinan bin Saifi bin Sakhr bin Khansa’ r.a.
213. Abdullah bin al-Jaddi bin Qais r.a.
214. Atabah bin Abdullah bin Sakhr r.a.
215. Jabbar bin Umaiyah bin Sakhr r.a.
216. Kharijah bin Humayyir al-Asyja’i r.a.
217. Abdullah bin Humayyir al-Asyja’i r.a.
218. Yazid bin al-Munzir bin Sahr r.a.
219. Ma’qil bin al-Munzir bin Sahr r.a.
220. Abdullah bin al-Nu’man bin Baldumah r.a.
221. Al-Dhahlak bin Harithah bin Zaid r.a.
222. Sawad bin Razni bin Zaid r.a.
223. Ma’bad bin Qais bin Sakhr bin Haram r.a.
224. Abdullah bin Qais bin Sakhr bin Haram r.a.
225. Abdullah bin Abdi Manaf r.a.
226. Jabir bin Abdullah bin Riab r.a.
227. Khulaidah bin Qais bin al-Nu’man r.a.
228. An-Nu’man bin Yasar r.a.
229. Abu al-Munzir Yazid bin Amir r.a.
230. Qutbah bin Amir bin Hadidah r.a.
231. Sulaim bin Amru bin Hadidah r.a.
232. Antarah (maula Qutbah bin Amir) r.a.
233. Abbas bin Amir bin Adi r.a.
234. Abul Yasar Ka’ab bin Amru bin Abbad r.a.
235. Sahl bin Qais bin Abi Ka’ab bin al-Qais r.a.
236. Amru bin Talqi bin Zaid bin Umaiyah r.a.
237. Muaz bin Jabal bin Amru bin Aus r.a.
238. Qais bin Mihshan bin Khalid r.a.
239. Abu Khalid al-Harith bin Qais bin Khalid r.a.
240. Jubair bin Iyas bin Khalid r.a.
241. Abu Ubadah Sa’ad bin Uthman r.a.
242. ‘Uqbah bin Uthman bin Khaladah r.a.
243. Ubadah bin Qais bin Amir bin Khalid r.a.
244. As’ad bin Yazid bin al-Fakih r.a.
245. Al-Fakih bin Bisyr r.a.
246. Zakwan bin Abdu Qais bin Khaladah r.a.
247. Muaz bin Ma’ish bin Qais bin Khaladah r.a.
248. Aiz bin Ma’ish bin Qais bin Khaladah r.a.
249. Mas’ud bin Qais bin Khaladah r.a.
250. Rifa’ah bin Rafi’ bin al-Ajalan r.a.
251. Khallad bin Rafi’ bin al-Ajalan r.a.
252. Ubaid bin Yazid bin Amir bin al-Ajalan r.a.
253. Ziyad bin Lubaid bin Tha’labah r.a.
254. Khalid bin Qais bin al-Ajalan r.a.
255. Rujailah bin Tha’labah bin Khalid r.a.
256. Atiyyah bin Nuwairah bin Amir r.a.
257. Khalifah bin Adi bin Amru r.a.
258. Rafi’ bin al-Mu’alla bin Luzan r.a.
259. Abu Ayyub bin Khalid al-Ansari r.a.
260. Thabit bin Khalid bin al-Nu’man r.a.
261. ‘Umarah bin Hazmi bin Zaid r.a.
262. Suraqah bin Ka’ab bin Abdul Uzza r.a.
263. Suhail bin Rafi’ bin Abi Amru r.a.
264. Adi bin Abi al-Zaghba’ al-Juhani r.a.
265. Mas’ud bin Aus bin Zaid r.a.
266. Abu Khuzaimah bin Aus bin Zaid r.a.
267. Rafi’ bin al-Harith bin Sawad bin Zaid r.a.
268. Auf bin al-Harith bin Rifa’ah r.a.
269. Mu’awwaz bin al-Harith bin Rifa’ah r.a.
270. Muaz bin al-Harith bin Rifa’ah r.a.
271. An-Nu’man bin Amru bin Rifa’ah r.a.
272. Abdullah bin Qais bin Khalid r.a.
273. Wadi’ah bin Amru al-Juhani r.a.
274. Ishmah al-Asyja’i r.a.
275. Thabit bin Amru bin Zaid bin Adi r.a.
276. Sahl bin ‘Atik bin al-Nu’man r.a.
277. Tha’labah bin Amru bin Mihshan r.a.
278. Al-Harith bin al-Shimmah bin Amru r.a.
279. Ubai bin Ka’ab bin Qais r.a.
280. Anas bin Muaz bin Anas bin Qais r.a.
281. Aus bin Thabit bin al-Munzir bin Haram r.a.
282. Abu Syeikh bin Ubai bin Thabit r.a.
283. Abu Tolhah bin Zaid bin Sahl r.a.
284. Abu Syeikh Ubai bin Thabit r.a.
285. Harithah bin Suraqah bin al-Harith r.a.
286. Amru bin Tha’labah bin Wahb bin Adi r.a.
287. Salit bin Qais bin Amru bin ‘Atik r.a.
288. Abu Salit bin Usairah bin Amru r.a.
289. Thabit bin Khansa’ bin Amru bin Malik r.a.
290. Amir bin Umaiyyah bin Zaid r.a.
291. Muhriz bin Amir bin Malik r.a.
292. Sawad bin Ghaziyyah r.a.
293. Abu Zaid Qais bin Sakan r.a.
294. Abul A’war bin al-Harith bin Zalim r.a.
295. Sulaim bin Milhan r.a.
296. Haram bin Milhan r.a.
297. Qais bin Abi Sha’sha’ah r.a.
298. Abdullah bin Ka’ab bin Amru r.a.
299. ‘Ishmah al-Asadi r.a.
300. Abu Daud Umair bin Amir bin Malik r.a.
301. Suraqah bin Amru bin ‘Atiyyah r.a.
302. Qais bin Mukhallad bin Tha’labah r.a.
303. Al-Nu’man bin Abdi Amru bin Mas’ud r.a.
304. Al-Dhahhak bin Abdi Amru r.a.
305. Sulaim bin al-Harith bin Tha’labah r.a.
306. Jabir bin Khalid bin Mas’ud r.a.
307. Sa’ad bin Suhail bin Abdul Asyhal r.a.
308. Ka’ab bin Zaid bin Qais r.a.
309. Bujir bin Abi Bujir al-Abbasi r.a.
310. ‘Itban bin Malik bin Amru al-Ajalan r.a.
311. ‘Ismah bin al-Hushain bin Wabarah r.a.
312. Hilal bin al-Mu’alla al-Khazraj r.a.
313. Oleh bin Syuqrat r.a. (khadam Nabi s.a.w.)

Allahuma sholii ala sayyidina muhammad wa ala aalihi wa shohbihi wa salim ~

Silahkan Tag dan Share ~

Bani Hasyim

Bani Hasyim (Bahasa Arab: بنو هاشم, Hasyimiyah; (bahasa Inggris: Hashemites)) adalah salah satu marga/klan dalam suku Quraisy yang merujuk kepada Hasyim bin Abdul Manaf. Hasyim adalah ayah dari kakek Nabi Muhammad S.A.W. Anggota dari marga ini disebut Hasyimiyah.

Sejarah

Silsilah
Bani Hasyim merupakan anggota dari marga Bani Abdul Manaf, marga yang paling terhormat dalam suku Quraish. Selain Bani Hasyim, cabang lainnya dari marga Bani Abdul Manaf adalah Bani Muththalib dan Bani Abdus Syams yang menurunkan Bani Umayyah. Selain itu Bani Hasyim juga menurunkan Bani Abbasiyah yang kemudian menjalankan kekhalifahan setelah mengalahkan Bani Umayyah.

Abdul Manaf sendiri sebenarnya berarti "abdi (hamba) dari Manaf". Sedangkan Manaf adalah salah satu dewa yang dipuja-puja oleh bangsa Arab suku Quraish dan sekitarnya pada masa pra-Islam.

Abu Thalib
Setelah meninggalnya kakek Nabi Muhammad yang bernama Abdul Muthalib, Abu Thalib, paman Muhammad menjadi kepala marga. Bani Hasyim merupakan salah satu marga penting di suku Quraish pada saat kelahiran Muhammad. Hal ini dikarenakan tugas Bani Hasyim untuk menjaga Ka'bah.

Pada masa awal kenabian dari Muhammad, pamannya Abu Thalib merupakan kepala marga, dan dia mendapat tekanan keras dari seluruh suku Quraish karena penyebaran agama yang dilakukan Muhammad. Walaupun begitu, Abu Thalib tidak pernah berhenti mendukung Muhammad. Anak Abu Thalib, Ali merupakan laki-laki pemeluk Islam pertama dan suami dari puteri Muhammad, Fatimah az-Zahra.

Peranan Bani Hasyim
Abu Thalib dan saudara-saudaranya berperan atas memberikan makan dan minum bagi peziarah yang datang ke Makkah setiap tahun untuk mengunjungi Ka'bah, yang dibangun oleh Ibrahim. Saat itu, berhala dari berbagai suku diletakkan di dalam Ka'bah, lebih dari 300.

Boikot terhadap Bani Hasyim
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Boikot Quraish terhadap Bani Hasyim dan Muhammad
Tahun 617-619, terjadi Boikot Quraish terhadap Bani Hasyim dan Muhammad.

Pendudukan kota Makkah
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pendudukan kota Makkah
Ketika Nabi Muhammad mengambil alih kota Makkah, Dia membuang semua berhala dari dalam Ka'bah dan menghancurkannya, dan hanya boleh dibantu oleh Ali.

Daftar anggota Bani Hasyim

Anggota Bani Hasyim yang merupakan Sahabat Nabi
Laki-Laki
Abu Thalib bin Abdul-Muththalib – Salah seorang paman dari Nabi Muhammad. Abu Thalib mengangkat dia menjadi anak, setelah meninggalnya ayah dia, Abdullah.
Thalib bin Abu Thalib
Aqil bin Abu Thalib
Ja'far bin Abu Thalib – Salah seorang sepupu Muhammad dan syahid di Pertempuran Mu'tah.
Abdullah bin Ja'far
Ali bin Abu Thalib – Salah seorang sepupu Muhammad, Khalifah keempat.
Hasan bin Ali
Husain bin Aliketiga dan syahid di Pertempuran Karbala.
Ali bin Husain, satu-satunya anak laki-laki Husain bin Ali yang selamat dari Pertempuran Karbala.
Abbas bin Abdul-Muththalib – Salah seorang paman Nabi Muhammad.
Abdullah bin Abbas – Salah seorang sepupu Nabi Muhammad, ia menurunkan Bani Abbasiyah
Abdullah bin Abdul-Muththalib - Ayah dari Nabi Muhammad
Harits bin Abdul-Muththalib – Salah seorang paman Nabi Muhammad.
Hamzah bin Abdul-Muththalib – Salah seorang paman Nabi Muhammad dan syahid pada Pertempuran Uhud.

Perempuan
Fatimah binti Asad – Ibu dari Ali bin Abu Thalib.
Fatimah binti Muhammad - Istri pertama Ali
Aminah binti Wahab - Ibu Nabi Muhammad
Ummu Kulsum binti Ali – Salah seorang anak perempuan Ali bin Abu Thalib.
Zainab binti Ali - Salah seorang anak perempuan Ali bin Abu Thalib.
Mereka yang syahid pada Pertempuran Karbala, adalah:Sunting
Husain bin Ali
Ali Akbar bin Husain
Ali Asghar bin Husain
Abbas bin Ali – Anak dari Ali bin Abu Thalib dan saudara tiri dari Husain bin Ali
Abdullah bin Ali
Jafar bin Ali
Utsman bin Ali
Abdullah bin Hasan - Anak tertua dari Hasan bin Ali.
Qasim bin Hasan - Anak bungsu dari Hasan bin Ali.
Aun bin Abdullah
Ubaidah bin al-Harith
Ibrahim bin Ali
Ibrahim bin Muslim bin Aqil
Abu Bakar bin Ali
Ahmad bin Hasan bin Ali
Bakar bin Hasan bin Ali
Ja’far bin Aqil
Abdul Rahman bin Aqil
Abdul Rahman bin Muslim bin Aqil
Abdullah bin Hassan bin Ali
Abdullah bin Hussain bin Ali
Abdullah bin Aqil
Abdullah bin Muslim bin Aqil
Ubayd-Allah bin Abdullah bin Ja'far
Amru bin Ali
Muhammad bin Abu Said bin Aqil
Muhammad bin Ali
Muhammad bin Aqil
Muhammad bin Muslim bin Aqil
Bani Hasyim yang bukan MuslimSunting
Abu Lahab — Paman Muhammad yang tewas beberapa waktu setelah Pertempuran Badar.

Abdul Malik bin Marwan

Abdul Malik bin Marwan, bernama lengkap Abdul Malik bin Marwan bin Hakam bin Abul Aas bin Umayya bun Abd Shams bi Abdi Manaf bin Qussai bin Kilab, adalah seorang khalifah pertama yang mencentak uang dinar dalam Islam. Wikipedia
Lahir: 646 M, Madinah, Arab Saudi
Meninggal: 8 Oktober 705 M, Damaskus, Suriah
Anak: Al-Walid bin Abdul-Malik, Hisyam bin Abdul-Malik, lainnya
Orang tua: Marwan bin al-Hakam, 'Aisha bint Mu'awiyah
Cucu: Al-Walid bin Yazid, Yazid bin Walid, Ibrahim bin Walid, lainnya
Pasangan: Walida bint Alabbas, Fatima bint Hisham, Atikah bint Yazid


Abdul Malik bin Marwan menjabat khalifah kelima Dinasti Umayyah pada usia 39 tahun. Ia menjadi khalifah atas wasiat ayahnya, Marwan bin Hakam. Selama 21 tahun memerintah ia dianggap khalifah perkasa, negarawan berwibawa yang mampu memulihkan kesatuan kaum Muslimin.

Setelah selesai pengangkatan baiat di Masjid Damaskus pada 65 Hijriyah, Khalifah Abdul Malik bin Marwan naik mimbar dan menyampaikan pidato singkat namun tegas yang dicatat sejraah. Di antara isi pidato itu adalah, “Aku bukan khalifah yang suka menyerah dan lemah, bukan juga seorang khalifah yang suka berunding, bukan juga seorang khalifah yang berakhlak rendah. Siapa yang nanti berkata begini dengan kepalanya, akan kujawab begini dengan pedangku.”

Setelah ia turun dari mimbar, sejak saat itu wibawanya dirasakan oleh segenap hadirin. Mereka mendengarkan ucapannya dengan rasa hormat dan kepatuhan.

Sementara itu, posisi Khalifah Abdullah bin Zubair yang berkedudukan di wilayah Hijaz yang meliputi Makkah dan Madinah, semakin kuat. Ia berhasil mengamankan wilayah Irak dan Iran yang sempat dicemari aliran Syiah yang menyesatkan. Ia menempatkan saudaranya, Mush’ab bin Zubair untuk menjadi gubernur di wilayah itu. Di mata masyarakat, posisi Abdullah bin Zubair semakin kuat. Para jamaah haji yang datang dari berbagai penjuru, “terpaksa” berbaiat kepadanya saat mereka datang ke Makkah.

Khalifah Abdul Malik tak bisa membiarkan hal itu. Ia pun mempersiapkan segalanya untuk menundukkan kekuasaan Abdullah bin Zubair.

Mengawali rencananya, Abdul Malik tak langsung menyerang pusat kekuasaan Abdullah bin Zubair di Makkah dan Madinah. Pasukan besarnya bergerak menaklukkan wilayah Irak, Iran, Khurasan dan Bukhara, yang merupakan sumber dana Abdullah bin Zubair.

Mush'ab bin Zubair wafat dan jabatan gubernurnya diambil oleh Bashir bin Marwan, saudara Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Usia gubernur ini memang masih muda. Ia didampingi oleh penasihat terpandang yang dikenal sejarah; Musa bin Nushair.

Setelah berhasil merebut wilayah Irak dan sekitarnya, Khalifah Abdul Malik mengerahkan 3.000 tentara di bawah pimpinan Hajjaj bin Yusuf. Pasukan besar itu pun berangkat dan akhirnya tiba di Thaif, sekitar 120 kilometer dari Makkah. Pasukan Abdullah bin Zubair yang semula ditempatkan di bagian utara Madinah, dikerahkan ke Thaif.

Pertempuran pun berlangsung. Pasukan Abdullah bin Zubair porak-poranda. Abdullah bin Zubair gugur tertusuk pedang. Nyawa putra sahabat Nabi dari kalangan Muhajirin yang pertama kali lahir di Madinah itu, menemui Rabb-nya setelah sekitar 9 tahun memerintah. Ia wafat pada Jumadil Awal 73 Hijriyah.

Pada tahun 77 Hijriyah, Abdul Malik bin Marwan menyerang Romawi untuk merebut Asia Kecil dan Armenia. Pertempuran cukup dahsyat terjadi sehingga menyebabkan 200.000 kaum Muslimin gugur. Pihak Romawi menderita kekalahan lebih dari itu. Namun pasukan Islam berhasil menguasai Mashaisha di bawah pimpinan Panglima Abdullah bin Abdul Malik.

Bersamaan dengan itu, Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga mengirim 40.000 pasukan berkuda menuju Afrika Utara di bawah pimpinan Hasan bin Nu’man yang dibantu oleh pasukan dari Mesir dan Libya. Melalui perjuangan cukup panjang, akhirnya pasukan itu bisa mengalahkan pasukan Romawi dan menduduki benteng Kartago. Pasukan Hasan bin Nu’man juga berhasil menghalau serangan suku Barbar di bawah pimpinan Ratu Kahina di wilayah Aljazair. Ratu Kahina selanjutnya dijatuhi hukuman mati.

Pada tahun 81 Hijriyah, sebuah armada laut siap berangkat dari pelabuhan Tunisia. Perjalanan pun dimulai. Daerah demi daerah berhasil dibebaskan. Ketika pasukan kaum Muslimin sedang merangkai kemenangan demi kemenangan itulah, Abdul Malik bin Marwan wafat.

Ia mewariskan banyak hal dalam sejarah keemasan Islam. Pada masa pemerintahannya dibentuk Mahkamah Tinggi untuk mengadili para pejabat yang menyeleweng atau bertindak semena-mena terhadap rakyat. Selain itu, Abdul Malik juga mengganti bahasa resmi negara dengan bahasa Arab yang sebelumnya menggunakan bahasa Persia atau Romawi. Abdul Malik juga mendirikan bangunan seperti pabrik senjata dan kapal perang di Tunisia. Ia juga membangun Masjid Umar atau Qubbatush Shakra’ di Yerusalem dan memperluas Masjidil Haram di Makkah.

Dalam sejarah, Abdul Malik dikenal dengan “Abdul Muluk” atau ayah para raja atau khalifah. Dijuluki demikian karena keempat anaknya sempat menjadi khalifah Bani Umayyah menggantikannya. Mereka itu adalah Walid, Sulaiman, Yazid, dan Hisyam. Abdul Malik bin Marwan meninggal dunia pada pertengahan bulan Syawwal tahun 86 Hijriyah dalam usia 60 tahun. Ia meninggalkan karya besar bagi sejarah Islam.


Red: cr01
Source: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

© all rights reserved
made with by templateszoo