Tampilkan postingan dengan label Sahabat Nabi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sahabat Nabi. Tampilkan semua postingan

Thufail Bin Amr Ad Dausi

Thufail bin Amr ad-Dausi

Seorang bangsawan yang mulia dan bijaksana sekaligus penyair cendekiawan dari bani Daus di Yaman.
Ketika ia datang di Mekah, segera saja orang-orang Quraisy menemuinya dan memperingatkannya dari Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, dari kata-kata beliau yang mempesonakan, yang dianggapnya sebagai sihir yang hendak memecah-belah seseorang dengan keluarganya. Memisahkan seorang ayah dari anaknya, seorang istri dari suaminya, bahkan dirinya sendiri dari kaumnya.
Mereka menyarankan agar Thufail tidak berbicara dan mendengarkan ucapan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam
. Mereka khawatir kalau peristiwa yang terjadi di Mekah itu akan menimpa Bani Daus, kaumnya Thufail.

Orang-orang Quraisy begitu gencar mengingatkannya sehingga ia menetapkan diri untuk tidak menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Tetapi ternyata takdir menentukan nasibnya, suatu hari Thufail pergi ke Ka'bah, dan pada saat yang sama, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sedang berada di sana. Tanpa sengaja ia mendengarkan kata-kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, dan itu amat berkesan di hatinya.

Hati kecilnya terusik, "Bagaimanapun aku seorang cendekiawan dan penyair, aku dapat mengenal mana yang baik dan mana pula yang buruk. Apa salahnya kalau aku mendengarkan sendiri apa yang akan dikatakan orang itu! Jika ternyata baik akan kuterima, kalau buruk akan kutinggalkan."

Ia mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sampai ke rumah beliau dan bertamu, kemudian menceritakan tentang apa dikatakan kaum Quraisy kepadanya dan apa yang terlintas dalam hatinya itu. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memaklumi sikap orang-orang Quraisy tersebut, dan menjelaskan tentang risalah Islam kepadanya. Beliau juga membacakan beberapa ayat-ayat Quran. Akal sehatnya tidak bisa lagi tertutup dari kebenaran, Thufail langsung memeluk Islam saat itu juga.

Thufail adalah seorang tokoh yang ditaati oleh kaumnya, Bani Daus, ia meminta ijin Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam untuk mendakwahkan Islam kepada kaumnya, dan beliau menyetujuinya. Ia juga meminta Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mendoakannya agar Allah SWT memberikan suatu tanda sebagai penolong dalam usaha dakwahnya, dan beliau juga mendoakannya.

Dalam perjalanan pulang ke kaumnya, ia kemalaman di suatu tempat di antara dua gunung. Dalam kegelapan malam itu, tiba-tiba muncul sinar di antara dua matanya. Thufail merasa ini adalah pengabulan doa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam atas tanda yang dimintanya. Tetapi ia khawatir kalau adanya sinar di wajahnya justru dianggap kaumnya sebagai hukuman karena ia memecah belah kaumnya dengan dakwah islamnya itu, karena itu ia berdoa kepada Allah agar sinar itu dipindahkan dari wajahnya. Allah mengabulkan doanya, dan sinar itu berpindah ke ujung cambuknya.

Ketika sampai di kalangan kaumnya, pertama kali ia mendakwahi keluarganya. Ayah dan istrinya menyambut ajakannya memeluk Islam, sedang ibunya menundanya. Tidak mudah bagi Thufail mengajak kaumnya memeluk Islam, beberapa orang bahkan mendustakan dan memusuhinya karena dakwahnya tersebut.

Setelah beberapa waktu lamanya berdakwah hanya beberapa orang saja menyambut ajakannya memeluk Islam, sebagian besar malah memusuhinya. Ia kembali menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam di Makkah, dan berkata, “Ya Rasulullah, doakanlah kebinasaan untuk Bani Daus, karena kebanyakan dari mereka mendustakanmu…!!”

Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam tersenyum mendengar permintaan Thufail tersebut, kemudian mengangkat tangan beliau dan berdoa, "Ya Allah, berilah hidayah kepada Daus.."

Setelah itu beliau berpaling kepada Thufail dan bersabda, "Kembalilah engkau kepada kaummu, serulah mereka kepada Islam dengan lemah lembut."

Thufail sangat terkesan dengan sikap beliau tersebut. Ia segera kembali ke kampungnya, dan mendakwahi kaumnya dengan sabar dan lemah lembut.

Pada tahun 7 hijriah, ia berhijrah ke Madinah dengan tujuhpuluh atau delapanpuluh keluarga yang semuanya telah memeluk Islam, termasuk di antaranya Abu Hurairah. Saat itu Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan sahabat-sahabat beliau sedang dalam peperangan Khaibar, maka mereka, kecuali wanita dan anak-anak, segera menyusul dan ikut terjun dalam pertempuran melawan kaum Yahudi tersebut. Thufail meninggal pada masa kekhalifahan Abu Bakar ash Shididiq, ia syahid dalam perang Yamamah, peperangan dalam rangka menumpas nabi palsu, Musailamah al Kadzdzab.

Abdullah Bin Zaid Al Anshari

Abdullah bin Zaid adalah salah satu sahabat yang mengikuti perang Badar (Ahlu Badar).
Pada masa Khalifah Umar, ketika sekelompok pasukan kembali dari medan pertempuran, Abdullah bin Zaid masuk ke masjid, kemudian Umar memanggilnya dan bertanya tentang kabar yang dibawanya, ia berkata, "Sesungguhnya aku membawa berita, ya Amirul Mukmimin…"
Abdullah bin Zaid menceritakan bahwa dalam suatu pertempuran tengah berlangsung, ada sekelompok sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang sempat melarikan diri dari perang, dan mereka jadi sedih ketika melihat Umar. Mendengar ceritanya itu, Umar berkata, "Janganlah kalian bersedih hati, wahai kaum muslimin. Sesungguhnya kalian adalah dalam kumpulanku."
Umar menghibur mereka yang bersedih, antara lain adalah Mu'az al Qary. Umar juga menjelaskan kepada sahabat Sa'ad bin Ubaid, bahwa pada jaman Nabi SAW pernah terjadi seorang sahabat mundur dari pertempuran dan beliau memakluminya. Dan setelah berlalu beberapa waktu lamanya, Nabi SAW menggelari sahabat tersebut al Qari, karena prestasi dan kemampuannya dalam hal Al Qur’an.
Ketika terjadi penyerbuan kota Madinah oleh pasukan Yazid bin Muawiyah pada Bulan Dzulhijjah tahun 36 hijriah, Amir para sahabat Anshar, yaitu Abdullah bin Hanzhalah memba'iat orang-orang Madinah atas maut. Ketika hal ini dilaporkan kepada Abdullah bin Zaid, ia berkata, "Aku tidak berba'iat kepada siapapun untuk mati, sepeninggal Rasulullah SAW."
Walau penyerangan kotaMadinah sangatlah dilaknat, tetapi bagi Abdullah bin Zaid, ia tidak ingin ‘berjuang’ mati-matian karena yang mereka hadapi adalah masih sesama saudara muslim. Ia lebih mengedepankan ishlah, perbaikan hubungan dengan mereka itu. Hanya saja, ternyata kemudian pasukan Yazid bin Muawiyah tersebut sangatlah dzalim dan kejamnya. Banyak sekali penduduk Madinah, bahkan termasuk ratusan atau mungkin ribuan sahabat Nabi SAW ikut dibantai oleh pasukan dari Syam tersebut.

Abu Arzah Al Aslami

Dalam suatu pertempuran, Abu Arzah al Aslami shalat sambil memegang kendali hewan kendaraannya (unta atau kudanya). Tiba-tiba saja hewan tunggangannya tersebut bergerak/berjalan lambat, mungkin sambil mencari makan, dan Abu Arzah mengikutinya dengan tetap mempertahankan shalatnya. Artinya ia tetap shalat dalam keadaan berjalan, seperti halnya shalatnya orang musafir di dalam kendaraan saat ini. Ia menjadi bahan pembicaraan dari orang-orang di sekitarnya karena shalatnya dengan berjalan/bergerak tersebut.
Setelah Abu Arzah menyelesaikan shalatnya dan kembali di antara anggota pasukannya, ia menanggapi pembicaraan mereka dengan berkata, "Sesungguhnya saya telah berperang bersama Nabi SAW sebanyak enam, tujuh atau delapan kali, dan sayamelihat beliau mempermudahnya (ketika terjadi peristiwa seperti itu). Dan saya lebih senang mengikuti kemana hewan tersebut bergerak, daripada saya membiarkannya kembali ke tempat yang disukainya, dan itu akan menyulitkan saya (mencarinya dalam pertempuran tersebut)."

Rubayyi binti Mu'awwidz

Rubayyi binti Mu'awwidz RA adalah salah seorang Anshar, yang telah memeluk Islam sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah, ketika Islam didakwahkan oleh utusan Nabi SAW, Mush'ab bin Umair. Ia sering ikut dalam berbagai pertempuran, tugasnya adalah membantu mengobati mujahid yang terluka dan pingsan. 

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ عَنْ خَالِدِ بْنِ ذَكْوَانَ عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ
كُنَّا نَغْزُو مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَسْقِي الْقَوْمَ وَنَخْدُمُهُمْ وَنَرُدُّ الْجَرْحَى وَالْقَتْلَى إِلَى الْمَدِينَةِ

Telah bercerita kepada kami Musaddad telah bercerita kepada kami Bisyir bin Al Mufadhdhal dari Khalid bin Dzakwan dari Ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz berkata:
"Kami ikut berperang bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dimana kami memberi minum pasukan, melayani mereka dan membawa pulang yang terluka dan yang gugur ke Madinah".
(HR. Bukhari: 2670)
Ayahnya, Mu'awidz bin Afra berperan aktif atas terbunuhnya Abu Jahal di perang Badar, tetapi akhirnya menjadi syahid di perang tersebut. Pernikahannya sendiri dihadiri oleh Rasulullah SAW.
Suatu ketika beberapa orang wanita berkumpul di rumahnya, dan seperti biasanya, mereka saling menceritakan nasab dan keadaan mereka. Ketika mereka tahu, Rubayyi adalah putri dari Mu'awwidz bin Afra, pahlawan Badar yang menewaskan Abu Jahal, Asma binti Abu Bakar berkata, "Oh, jadi engkau adalah putri dari seseorang yang membunuh pemimpinnya..!"
Maksud Asma mungkin adalah suatu kekaguman, karena Abu Jahal adalah pemimpin Quraisy yang sangat ditakuti, dan ayah Rubayyi mampu membunuhnya. Tetapi menurut Rubayyi, tidaklah patut untuk menganggap pemimpin, orang-orang yang memusuhi Islam dan menyakiti pemeluk-pemeluk Islam. Karena itu, ia berkata, "Saya bukanlah anak pembunuh pemimpinnya, tetapi saya adalah anak dari seorang yang membunuh hamba sahaya."
Ternyata Asma tidak terima dengan pernyataan Rubayyi, bahwa Abu Jahal seorang hamba. Sebagai orang Quraisy, ia tetap menghargai kebangsawanan dan tidak menyamakannya dengan hamba. Didasari oleh rasa tersinggung, ia berkata, "Aku haramkan menjual minyak wangi kepadamu…!"
"Sayapun haram membeli minyak wangi darimu," Kata Rubayyi membalas ucapan Asma.
Memang, kebanggaan akan sesuatu tidaklah baik, bahkan ‘membanggakan’ keislaman dan keimanan. Bukan kebanggaan yang harus dilakukan, tetapi rasa syukur dengan jalan terus meningkatkan amalan-amalan shalihah.
Ketika Rasulullah SAW menganjurkan para sahabatnya untuk berpuasa (sunnah) pada tanggal 10 Muharam atau hari Asyura, Rubayyi selalu berpuasa pada hari tersebut dan mengajak anak-anaknya untuk berpuasa walaupun mereka masih kecil. Apabila mereka menangis karena lapar, ia menghiburnya dan mengajaknya bermain sehingga mereka terdiam, dan bersabar hingga menunggu waktu berbuka.

Shafiyyah binti Abdul Muthalib

Shafiyyah binti Abdul Muthalib RA adalah bibi Nabi SAW, saudara kandung Hamzah RA. Walau tergolong wanita yang berusia lanjut, ia tak ingin tertinggal dalam jihad ketika ada kesempatan. Ketika kaum muslimin mengalami kekalahan dalam perang Uhud, beberapa orang yang akan melarikan diri dari medanpertempuran diancamnyadengan mengacungkan dan melemparkan tombaknya, sehingga mereka kembali ke medan pertempuran.
Dalam perang Khandaq, Nabi SAW mengumpulkan seluruh kaum wanita dalam suatu benteng, dan menunjuk Hassan bin Tsabit, yang masih sangat muda (dalam riwayat lain, urat tangannya putus hingga tak mampu mengayun senjata) untuk menjaga mereka. Hal ini diketahui oleh orang-orang Yahudi yang menjadi musuh dalam selimut di peperangan ini. Mereka berniat menyerang wanita-wanita muslim ini, saat para kaum lelaki mengalami serangan musuh dari luar, kaum kafir Quraisy dan sekutu-sekutunya.
Mereka mengirim seorang mata-mata untuk menyelidiki keadaan dalam benteng. Shafiyah melihat kehadiran mata-mata ini dan berkata kepada Hassan, "Hai Hassan, ada seorang mata-mata Yahudi akan memasuki benteng kita, keluarlah kamu dan bunuhlah dia, agar ia tidak mengetahui keadaan kita."
Hasan bin Tsabit tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya. Demi keselamatan kaum muslimat, Shafiyah memutuskan untuk melakukannya sendiri. Ia mengambil patok (pasak) kemah, dan mendekati mata-mata Yahudi itu, lalu memukul kepalanya hingga tewas. Setelah itu ia menemui Hassan dan berkata, "Hai Hassan, aku telah membunuhnya, karena ia bukan muhrim saya, pergilah engkau mengambil hartanya, lepaskan pakaiannya dan penggallah lehernya!"
Sekali lagi Hassan tidak bersedia karena keadaannya, sehingga Shafiyyah sendiri melucuti sendiri barang-barang dan pakaian orang Yahudi tersebut. Ia memotong kepalanya dan menggelindingkannya ke luar benteng, sehingga orang-orang Yahudi yang bersiap menyerang benteng, berkesimpulan, "Kita sudah menduga, Muhammad tidak akan meninggalkan wanita-wanita itu sendirian. Di sana pasti ada lelaki yang ditugaskan menjaganya."
Demikianlah, karena keberanian Shafiyyah, benteng itu selamat dari serangan kaum Yahudi, padahal ketika itu usia Shafiyyah telah mencapai 58 tahun.

Mu'awiyah bin Haidah Al Qusyairi

Muawiyah bin Haidah telah bersumpah berkali-kali bahwa ia tidak akan mendatangi Rasulullah SAWdan tidak akan memeluk Islam. Tetapi memang kehendak Allah berbicara lain, percik-percik hidayah menyentuh kalbunya, yang kemudian memaksa langkahnya untuk menemui Nabi SAW. Ia berkata, "Wahai Rasullullah, aku tidak datang kepadamu sampai aku bersumpah dengan sumpah yang lebih banyak daripada jumlah jari tangan, bahwa aku tidak akan mendatangimu dan agamamu. Tetapi kini aku datang juga kepadamu sebagai seseorang yang tidak faham apapun, kecuali apa yang diajarkan Allah kepadaku. Maka aku bertanya kepadamu demi wajah Allah Yang Maha Besar, dengan apakah Tuhan mengutusmu kepada kami?"
Nabi SAW bersabda, “Benar!!”
Kemudian beliau menjelaskan dengan gamblang tentang Islam, kewajiban-kewajibannya, keimanan akan alam akhirat, dan lain-lainnya sehingga akhirnya Muawiyah memeluk Islam pada saat itu juga.

Mundzir Bin Uqbah Bin Amr

Mundzir bin Uqbah bin Amr termasuk dari tujuhpuluh sahabat huffadz Qur’an yang dikirimkan Rasulullah SAW untuk mendakwahkan Islam kepada Penduduk Najd dan sekitarnya. Ketika pimpinan rombongan, Mundzir bin Amr menetapkan untuk berhenti di Bi’r Ma’unah, ia ditugaskan menggembalakan unta-unta bersama Amr bin Umayyah adh Dhamry, hingga mereka berdua sebenarnya lolos dari pembantaian yang dilakukan oleh Amir bin Thufail terhadap sahabat-sahabat yang hafal Al Qur'an tersebut.
Dari tempat penggembalaannya, mereka berdua melihat burung pemakan bangkai melayang di udara di atas perkemahannya, salah seorang berkata, "Sesuatu yang buruk telah terjadi, mari kita kembali ke perkemahan menemui teman-teman kita…"
Mereka bergegas kembali, dan dari kejauhan tampak para sahabat telah terkapar tak bernyawa dikelilingi para pembunuh yang pedangnya masih meneteskan darah. Langkah mereka terhenti, Amr mengajak kembali ke Madinah untuk mengabarkan peristiwa tersebut, tetapi Mundzir tidak setuju, ia berkata, "Cepat atau lambat, berita ini akan sampai juga kepada Nabi SAW, aku tidak rela meninggalkan sahabat kita terbaring nyenyak dalam keadaan ‘nyaman’, tanpa kita berjuang dan syahid bersama mereka, ayolah Amr! Kita maju dan berjuang menyusul mereka yang telah syahid.."
Amr menyambut ajakan Mundzir, mereka berdua menyerang para pembunuh kejam tersebut sehingga terjadi pertempuran hebat yang tidak berimbang. Mundzir akhirnya gugur sebagai syahid, sedangkan Amr ditawan.

Muhayyishah Dan Huwayyishah R.huma

Muhayyishah dan Huwayyishah dua orang sahabat yang masih bersaudara, Keduanya adalah putra Mas'ud bin Zaid. Muhayyishah memeluk Islam terlebih dahulu daripada saudaranya yang lebih tua itu.. Suatu ketika ia mendengar Nabi SAW bersabda, "Siapa saja orang Yahudi yang dapat kalian kalahkan, maka bunuhlah dia!"
Suatu ketika Muhayyishah bertemu dengan Ibnu Syaibah, seorang pedagang Yahudi yang bergaul dan berjual beli dengan keluarganya. Teringat akan sabda Nabi SAW, iapun menyerang Ibnu Syaibah dan berhasil membunuhnya. Huwayyishah yang saat itu belum memeluk Islam, langsung memukul saudaranya dan berkata, "Wahai musuh Allah, engkau telah membunuhnya! Ketahuilah, demi Allah, lemak yang ada dalam perutmu bisa jadi berasal dari hartanya."
Mendengar penuturan saudaranya ini, Muhayyishah dengan tegas berkata, "Demi Allah! Jika Muhammad (SAW) menyuruhku untuk membunuhmu, pasti aku akan memancung kepalamu dengan pedangku ini!"
Sungguh suatu kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya yang tidak perlu diragukan lagi. Tetapi sebaliknya merupakan suatu sikap yang sangat tidak diduga oleh Huwayyishah, ia bertanya dengan bimbang, "Engkau akan membunuhku, jika saja Muhammad menyuruhmu melakukan itu?"
"Tentu saja! Demi Allah, aku akan melakukannya!!" Kata Muhayyishah tanpa ragu-ragu.
Ketegasan sikapnya ini ternyata menjadi jalan hidayah bagi Huwayyishah, ia berkata, "Demi Allah! Agama yang bisa membuat umatnya mencapai taraf seperti itu adalah agama yang mengagumkan!"
Dan iapun memeluk Islam mengikuti jejak saudaranya.

Farwah bin Musaik Al Ghuthaifi

Farwah bin Musaik al Ghuthaifi RA seorang sahabat yang berasal dan tinggal di Saba, termasuk wilayah Yaman. Negeri itu di masa lalu dikuasai oleh Ratu Balqis yang menyembah matahari, tetapi akhirnya memeluk Islam mengikuti dakwah Nabi Sulaiman AS. Kisahnya diabadikan di dalam Al Qur’an. Sebagian penduduk Saba telah memeluk Islam, tetapi sebagian dari mereka ini kembali ke agama lamanya atau murtad. Farwah menemui Nabi SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, bolehkah aku memerangi orang yang berpaling dari Islam di antara kaumku, bersama orang-orang yang masih memeluk Islam?"

Nabi SAW mengijinkan niat Farwah ini, karena secara syariah hal itu memang dibolehkan. Tetapi karena ada pertimbangan lain, Farwah bertanya lagi, "Ya Rasulullah, rasanya aku tidak akan mampu memerangi mereka, karena mereka akan bergabung dengan penduduk Saba lainnya yang masih memeluk agama lamanya. Dan mereka adalah kaum yang lebih kuat daripada kami."

Tetapi Nabi SAW memerintahkan Farwah untuk melaksanakan niatnya yang pertama, yakni memerangi orang-orang yang murtad tersebut. Tidak masalah ia menang atau kalah, yang jelas ia telah melaksanakan kewajibannya. Kalaupun ia dan pasukannya gugur semua, surga telah menunggunya karena mereka gugur dalam keadaan syahid.

Farwah kembali ke perkemahannya, dimana kabilahnya berkumpul. Tetapi tidak berapa lama ada utusan Rasulullah SAW yang menjemputnya untuk menemui beliau lagi. Farwah kembali bergabung dengan Nabi SAW dan sahabat lainnya. Beliau memberitahukan tentang turunnya ayat tentang kaum Saba dan beliau melarang untuk memerangi kaumnya tersebut. Beliau berkata, "Serulah kaum itu kepada Islam terlebih dahulu, siapa yang bersedia, maka terimalah mereka. Jika merekamenolak, janganlah kamu tergesa memerangi sampai engkau melaporkannya kepadaku."

Farwah menanyakan tentang nama 'Saba', apakah nama sebuah tempat atau nama wanita? Nabi SAW menjelaskan, "Sababukanlah nama suatu tempat atau nama seorang wanita, tetapi ia nama seorang lelaki yang menurunkan sepuluh kabilah Arab, enam di Yaman, yaitu : Azdi, Kindah, Himyar, al Asy'ariyyun, Ammar dan Madzhij. Sedang empat kabilah di Syam, yaitu : Lahm, Judzdzam, Ghassan dan Amilah."
Setelah itu Farwah kembali kepada kabilah dan segera pulang ke Sabauntuk melaksanakan dakwah seperti yang diperintahkan Rasulullah SAW

Khabbab bin Arats bin Jandalah bin Sa'ad

Khabbab bin Arats adalah seorang sahabat Muhajirin yang memeluk Islam pada masa-masa awal, ketika umat Islam belum mencapai duapuluh orang. Ia berasal dari golongan lemah, yakni hanya seorang budak yang bertugas membuat pedang atau peralatan dari besi lainnya. Sebagaimana sahabat-sahabat yang masuk Islam pada periode awal, ia mengalami penyiksaan yang tidak tanggung-tanggung. Statusnya sebagai budak membuat tuannya, Ummu Anmar bebas menyiksa dirinya. Ia diseterika dengan besi panas yang merah menyala, dipakaikan baju besi kemudian dijemur di panas padang pasir, juga pernah diseret di atas timbunan bara sehingga lemak dan darahnya mengalir mematikan bara tersebut.

Khabbab pernah mengeluhkan beratnya siksaan yang dialaminya kepada Nabi SAW, beliau yang saat itu tengah bersandar pada Ka'bah beralaskan burdah, bersabda,"Wahai Khabbab, orang-orang yang sebelum kalian pernah disisir kepalanya dengan sisir besi, sehingga terlepas tulang dari dari daging dan uratnya, tetapi ia tidak berpaling dari agamanya. Ada pula yang dipenggal lehernya hingga kepalanya putus, namun ia tetap teguh dengan agamanya. Sungguh Allah SWT akan memenangkan perjuangan agama ini sehingga suatu saat nanti, orang akan berkendaraan dari Shan'a hingga Hadramaut tanpa merasa takut kecuali hanya kepada Allah, sampai serigala bisa berdampingan dengan kambing (tanpa memangsanya). Namun sungguh kalian adalah orang yang suka tergesa-gesa."

Mendengar penuturan beliau itu, Khabbab pun ikhlas dengan penderitaannya dan berteguh dengan keimanannya. Ketika Islam telah mengalami kejayaan dan berbagai harta kekayaan melimpah, Khabbab justru duduk menangis sambil berkata, "Tampaknya Allah telah memberikan ganjaran atas segala penderitaan yang kita alami, aku khawatir tidak ada lagi ganjaran yang kita terima di akhirat, setelah kita terima berbagai macam kemewahan ini!!”

Setelah itu Khabbab meletakkan seluruh hartanya pada bagian rumahnya yang terbuka, dan mengumumkan agar siapa saja yang memerlukan untuk mengambilnya tanpa meminta ijin dirinya. Ia berkata, “Demi Allah aku tidak akan mengikatnya dengan tali (yakni, tidak mempertahankan hartanya tersebut), dan tidak akan melarang orang yang akan meminta/mengambilnya!!”

Setelah Khabbab terbebas dari perbudakannya karena ditebus dan dimerdekakan oleh Abu Bakar, iaberkhidmad untuk belajar Al Qur’an dan akhirnya menjadi salah seorang yang ahli (Qari) dalam Al Qur’an. Ia tengah mengajarkan Al Qur’an kepada Fathimah binti Khaththab dan suaminya ketika Umar datang menghajar keduanya karena keislamannya. Tetapi peristiwa itu justru menjadi pemicu Umar memeluk Islam.

Khabbab hampir tidak tertinggal dalam berbagai pertempuran di medan jihad. Pada Perang Badr, ia bertugas menjaga kemah Rasulullah pada malam sebelum perang, dan ia melihat Nabi SAW shalat semalaman hingga menjelang fajar. Ketika Khabbab bertanya tentang shalat yang sangat panjangitu, Nabi SAW menjawab, "Itu adalah shalat yang penuh harapan dan ketakutan, aku berdoa kepada Allah dengan tiga permintaan, dua dikabulkan dan satu lagi dicegahNya. Aku berdoa : Ya Allah, janganlah umatku Engkau binasakan sampai habis karena kelaparan, dan Dia mengabulkannya. Aku berdoa : Ya Allah, Janganlah umatku engkau binasakan sampai habis karena serangan musuh, dan Dia mengabulkannya. Aku berdoa : Ya Allah, janganlah terjadi perpecahan danperselisihan di antara umatku, maka Dia mencegah doaku ini."

Tsabit bin Adl Dlahhak

Tsabit bin Adl Dlahhak, atau dalam beberapa riwayat lain disebut Tsabit bin ad Dahdah, adalah seorang sahabat Anshar. Pada perang Uhud, ketika terjadi kekacauan dan kebingungan pasukan muslim karena berhembusnya berita bahwa Nabi SAW telah terbunuh, Tsabit berteriak keras, "Wahai orang-orang Anshar, mendekatlah kepadaku! Aku adalah Tsabit bin ad Dahdahak, sekiranya Muhammad SAW telah tewas, sesungguhnya Allah Maha Hidup, tidak akan mati. Karena itu berperanglah semata-mata untuk agama kalian. Sungguh Allah akan memenangkan dan memberikan pertolongan kepada kalian…"
Beberapa sahabat Anshar lainnya bergabung dengan Tsabit, mereka menyerang pasukan musyrik dengan garangnya. Sekelompok pasukan Quraisy bersenjata lengkap, antara lain Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, Dhirar bin Khaththab dan lain-lainnya lagi menghadapi para sahabat Anshar ini. Akhirnya Khalid bin Walid melepaskan tombaknya dan mengenai Tsabit sampai tembus dan tewas seketika. Para sahabat Anshar yang mengikutinya pada akhirnya menemui syahid juga.
Menurut sebagian riwayat, para sahabat Anshar ini merupakan orang-orang yang terakhir menemui syahidnya di Perang Uhud. Riwayat lainnya menyebutkan, tujuh orang sahabat Anshar di sekitar Nabi SAW, yang terakhir Umarah bin Yazid bin as Sakan, yang menjadi syahid-syahid terakhir di peperangan itu. Atau bisa jadi menjadi syahid dalam waktu yang hampir bersamaan karena keadaan pasukan muslim saat itu terpecah-pecah dan porak poranda. Setelah itu keadaan berbalik, pasukan muslim kembali menyusun kekuatan, setelah tahu dan yakin bahwa Nabi SAW masih hidup walaupun dalam keadaan terluka. Dan akhirnya mereka berhasil mengusir pasukan kafir Quraisy.

Ubay bin Ka'ab

Ubay bin Ka'ab adalah seorang sahabat Anshar dari suku Khazraj, ia memeluk Islam pada masa awal yakni ketika terjadinya Ba'iatul Aqabah. Ia juga aktif berbagai pertempuran bersama Nabi SAW seperti Badar, Uhud, dan lain-lainnya, sebagaimana kebanyakan sahabat Anshar lainnya. Tetapi kekhususan Ubay bin Ka'ab di sisi Rasulullah SAW adalah tentang Al Qur'an.
Ubay bin Ka’ab termasuk dalam jajaran sahabat penulis dan penghafal wahyu-wahyu yang turun, dan beliau pernah bersabda kepadanya, "Hai Ubay bin Ka'ab, saya diperintahkan untuk menyampaikan al Qur'an kepadamu…!!"
Antara senang dan cemas kalau "kepedean", ia bertanya, "Wahai Rasulullah, ibu bapakku menjadi tebusan anda, benarkah namaku disebut oleh Allah…?"
"Benar," Kata Nabi SAW, "Namamu dan keturunanmu di tingkat tertinggi…!!"
Suatu ketika Nabi SAW sedang mengimami shalat jamaah, dan terselip satu ayat yang beliau tidak membacanya. Ubay yang berada di belakang Nabi SAW berbisik perlahan kepada Nabi SAW. Usai shalat, beliau bertanya "Siapakah yang tadi membetulkan bacaanku?"
Orang-orangpun menunjuk kepada Ubay bin Ka'ab. Nabi SAW tersenyum dan berkata, "Aku telah menduga, pasti Ubaylah orangnya…"
Suatu ketika ada seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi SAW tentang penyakit yang dialaminya, dan apa yang akan diterimanya karena penyakitnya tersebut. Nabi SAW bersabda, "Itu adalah penghapus dosa (kaffarah)."
Ubay yang saat itu hadir, seketika bertanya, "Walau sakit yang sedikit, wahai Rasulullah!”
"Ya," Kata Nabi SAW, "Walau hanya tertusuk duri, atau yang lebih ringan dari itu."
Suatu ketika Ubay bin Ka'ab merasakan demam, ia teringat akan sabda Nabi SAW tersebut, maka iapun berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya aku meminta, agar Engkau tidak menghilangkan demam panas ini dari tubuh Ubay bin Ka'ab, hingga aku bertemu denganMu. Tetapi janganlah demam ini menghalangi aku dari shalat, puasa, haji dan jihad di jalanMu."
Maka sakit demamnya berkepanjangan, hingga tiada seorang yang memegangnya kecuali merasakan panas tubuhnya. Namundemikian ia tetap bisa beribadah dan berjuang tanpa kesulitan, hingga ajal menjemputnya.

Miqdad bin Amr Al Aswad

Miqdad bin Amr al Aswad termasuk dalam kelompok sahabat yang mula-mula memeluk Islam, sehingga ia termasuk dalam kelompok as sabiqunal awwalun. Ia bukan termasuk golongan terkemuka sehingga ia mengalami berbagai penyiksaan dan sasaran kemarahan dari kaum Quraisy, karena pilihannya memeluk Islam. Tetapi semua penderitaan itu tidaklah menambah kecuali kemantapan imannya.
Pada masa awal tinggal di Madinah, Nabi SAW membagi sahabat Muhajirin dalam kelompok yang terdiri dari sepuluh orang, yakni untuk mereka yang tidak tinggal dengan orang-orang Anshar, tetapi tinggal di serambi masjid sebagai Ahlu Shuffah. Miqdad berada dalam satu kelompok dengan Nabi SAW, dan ada tiga ekor kambing yang dapat diperah susunya untuk kelompok ini.
Suatu ketika Miqdad dan dua orang temannya dalam keadaan sangat lapar dan payah, sementara ada satu gelas susu yang merupakan jatah Nabi SAW dan beliau sendiri sedang berkunjung ke rumah seorang sahabat. Syetanpun membisikkan pikiran jahat pada Miqdad, "Sebaiknya engkau minum susu itu. Nabi sedang berkunjung ke rumah sahabat Anshar, dan pasti beliau dijamu dengan istimewa disana…"
Miqdad mengabaikannya, tetapi syetan terus membisikinya, dan keadaannya yang payah serta rasa lapar itupun mendukung, sehingga ia tidak tahan lagi, susu itupun diminumnya dengan dua orang temannya. Setelah minum kedua temannya tertidur, sedangkan Miqdad sendiri dihantui perasaan bersalah karena meminum susu jatah Nabi SAW. Syetan menambah kegundahannya dengan bisikan-bisikan, "Apa yang engkau lakukan? Muhammad akan segera datang, dan akan mencari jatah susunya, pasti engkau akan binasa karena ia akan berdoa untuk kebinasaan orang yang menyerobot bagiannya…"
Tak berapa lama Nabi SAW datang, beliau langsung shalat sunnah beberapa rakaat. Miqdad makin gelisah, menunggu apa yang akan terjadi. Usai shalat, Nabi SAW menoleh ke arah gelas susu yang telah kosong, kemudian beliau mengangkat tangan untuk berdoa….
"Binasalah aku!!" Kata Miqdad dalam hati.
Tetapi kemudian ia mendengar doa Nabi SAW, "Ya Allah, berilah makanan kepada orang yang memberiku makanan, berilah minuman kepada orang yang memberiku minuman."
Mendengar doa tersebut, Miqdad bergegas bangun dan mengambil pisaunya. Ia bermaksud menyembelih salah satu dari ketiga kambing tersebut untuk makanan Nabi SAW. Tetapi ia terkejut menemui ketiga kambing tersebut dalam keadaan penuh air susunya, padahal ketika datang bersama kedua temannya, tidak ada setetespun susu yang dapat diperah dari ketiga kambing tersebut.
Miqdad mengambil sebuah bejana dan mengisinya dengan susu kemudian membawanya kepada Rasulullah SAW. Beliau meminumnya beberapa teguk lalu diberikan kepada Miqdad,. Setelah minum beberapa teguk, Miqdad mengembalikannya kepada Nabi SAW. Setelah beliau minum beberapa teguk diberikan lagi kepada Miqdad. Begitulah beberapa kali bergantian minum hingga akhirnya Miqdad kekenyangan dan tertawa mengingat apa yang dilakukannya.
Nabi SAW yang faham apa yang terjadi, tersenyum dan bersabda, "Perbuatanmu itu adalah salah satu keburukanmu, hai Miqdad! Tetapi itu semua tidak terjadi kecuali karena rahmat Allah Azza wa Jalla. Sebaiknya engkau bangunkan kedua temanmu agar bisa merasakan susu ini."
"Ya Rasulullah, aku tidak perduli siapa yang disalahkan dalam hal ini, tetapi yang penting engkau telah meminum susu itu, dan aku telah meminum sisa engkau…" Kata Miqdad.
Kemudian ia membangunkan kedua temannya untuk bisa menikmati susu yang penuh berkah tersebut.Miqdad termasuk ahli Badr, yakni sahabat yang mengikuti perang Badr, yang di dalam Al Qur'an telah dijamin keselamatannya di akhirat. Bahkan ia termasuk pasukan berkuda yang pertama dalam Islam, yang sebenarnya hanya ada dua orang dalam perang Badar tersebut, yakni dirinya yang diserahi Rasulullah SAW memimpinsayap kiri. Dan penunggang kuda lainnya, Zubair bin Awwam memimpin di sayap kanan

Abu Lubabah

Ketika Nabi SAW memobilisasi pasukan ke Tabuk, ada beberapa orang tertinggal atau tidak mengikuti beliau dalam pertempuran tersebut. Sebagian besar memang orang-orang yang tertuduh sebagai kaum munafik, mereka ini berjumlah sekitar delapan puluh orang. Ada juga sejumlah sahabat yang tidak memperoleh tunggangan dan perbekalan untuk berangkat, seperti sekelompok sahabat yang dipimpin Abdullah bin Ma'qil al Muzanni. Termasuk juga sepuluh orang dari Bani Muqrin. Mereka ini datang kepada Nabi SAW, tetapi beliau tidak memiliki apa-apa lagi untuk bisa memberangkatkan mereka, baik kendaraan atau perbekalan. Mereka pulang dengan berlinang air mata karena tidak bisa menyertai beliau berjihad. Namun demikian ada enam atau tujuh sahabat lainnya, yang tertinggal karena berbagai alasan yang tidak tepat, namun mereka menyadari kesalahannya ini, antara lain adalah Abu Lubabah.
Setelah beberapa hari berlalu sejak Nabi SAW dan pasukannya meninggalkan Madinah menuju Tabuk, Abu Lubabah beserta tiga (atau dua, dalam riwayat lainnya) temannya menyadari kesalahannya. Mereka menyesal, tetapi tidak mungkin untuk mengejar atau menyusul pasukan tersebut. Abu Lubabah berkata, "Kita di sini berada di naungan pohon yang sejuk, hidup tentram bersama istri-istri kita, sedangkan Rasulullah beserta kaum muslimin sedang berjihad…sungguh, celakalah kita…."
Tak habis-habisnya mereka menyesal, mereka yakin bahwa bahaya akan menimpa karena ketertinggalannya ini. Untuk mengekspresikan penyesalannya ini, Abu Lubabah berkata kepada kawannya, "Marilah kita mengikatkan diri ke tiang masjid, kita tidak akan melepaskan diri kecuali jika Rasulullah sendiri yang melepaskannya…!!"
Teman-temannya, Aus bin Khudzam, Tsa'labah bin Wadiah dan Mirdas (atau tanpa Mirdas, pada riwayat dua orang temannya) menyetujui usulan ini. Mereka tetap terikat pada tiang tersebut sampai Nabi SAW pulang, kecuali ketika mereka akan melaksanakan shalat. Ketika Nabi SAW pulang dari Tabuk dan masuk ke Masjid, beliau berkata, "Siapakah yang diikat di tiang-tiang masjid itu?"
"Abu Lubabah dan teman-temannya yang tidak menyertai engkau berjihad, ya Rasulullah," Kata seorang sahabat, "Mereka berjanji tidak akan melepaskan diri, kecuali jika tuan yang melepaskannya…!!"
Nabi SAW bersabda, "Aku tidak akan melepaskan mereka kecuali jika mendapat perintah dari Allah…!!"
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Nabi SAW bersabda tentang mereka, "Aku tidak akan melepaskannya sampai saatnya ada pertempuran lagi…!!" Suatu hari menjelang subuh, ketika itu Nabi SAW sedang berada di rumah Ummu Salamah, tiba-tiba beliau tertawa kecil. Ummu Salamah heran dengan sikap beliau ini dan berkata, "Apa yang engkau tertawakan, Ya Rasulullah?"
"Abu Lubabah dan teman-temannya diterima taubatnya…!!" Kata Nabi SAW.
Saat itu Nabi SAW memang menerima wahyu, Surah Taubah ayat 102, yang menegaskan diterimanya taubat mereka yang berdosa karena ketertinggalannya menyertai jihad bersama Nabi SAW. Ummu Salamah berkata, "Bolehkah aku memberitahukan kepada Abu Lubabah, ya Rasulullah..?" "Terserah engkau saja..!!" Kata Nabi SAW
Ummu Salamah berdiri di depan pintu atau jendela kamarnya yang memang menghadap masjid dan berkata, "Hai Abu Lubabah, bergembiralah karena telah diampuni dosamu, telah diterima taubatmu…!!"
Mereka bergembira, begitu juga dengan para sahabat yang telah berkumpul di masjid untuk shalat shubuh. Mereka ini ingin melepaskan ikatan Abu Lubabah dan teman-temannya, tetapi Abu Lubabah berkata, "Tunggulah sampai datang Rasulullah dan melepaskan sendiri ikatanku…!!" Nabi SAW masuk masjid dan melepaskan sendiri ikatan-ikatan mereka. Pagi harinya, Abu Lubabah dan tiga temannya menghadap Nabi SAW sambil membawa harta yang dipunyainya. Ia berkata, "Ya Rasulullah, inilah harta benda kami, shadaqahkanlah atas nama kami, dan tolong mintakan ampunan bagi kami…."
Nabi SAW bersabda, "Aku tidak diperintahkan untuk menerima harta sedikitpun (berkaitan dengan penerimaan taubat ini)…!!" Tetapi tak lama berselang, Nabi SAW memperoleh wahyu, Surah Taubah ayat 103, yang memerintahkan agar beliau untuk menerima shadaqah dari Abu Lubabah dan teman-temannya, dan mendoakan mereka. Beliau melaksanakan perintah ayat tersebut, dan itu membuat Abu Lubabah dan teman-temannya menjadi lebih gembira dan tentram hatinya.
Riwayat lain menyebutkan, peristiwa Abu Lubabah mengikatkan diri di tiang Masjid Nabi bukan berkaitan dengan Perang Tabuk, tetapi dengan Perang Bani Quraizhah.
Setelah berakhirnya Perang Khandaq (parit) atau Perang Ahzab karena pasukan kaum kafir Quraisy dan sekutu-sekutunya diporak-porandakan oleh angin dan badai di waktu subuh, Nabi SAW dan kaum muslimin segera kembali ke Madinah. Angin dan badai tersebut sebenarnya adalah pasukan malaikat yang dikirim Allah untuk membantu kaum muslimin, dan di waktu dhuhur, Jibril yang menjadi pimpinan pasukan malaikat menemui Nabi SAW sambil berkata, “Wahai Muhammad, mengapa engkau meletakkan senjata sedangkan kami belum meletakkan senjata. Serulah mereka untuk menuju Bani Quraizhah, dan kami akan berada di depanmu. Akan aku guncangkan benteng mereka dan aku susupkan ketakutan di hari mereka…!!” Bani Quraizhah adalah kaum Yahudi di Madinah yang terikat perjanjian damai dan kerjasama dengan Nabi SAW dalam Piagam Madinah. Tetapi ketika terjadi pengepungan Madinah oleh pasukan kafir Quraisy dan sekutunya, mereka justru berpihak kepada pasukan musuh dan memasok kebutuhan makanannya. Mereka juga berencana menyerang penampungan kaum wanita dengan mengirim seorang mata-mata terlebih dahulu. Untung saja, berkat keberanian bibi Rasulullah SAW, Shafiyyah binti Abdul Muthalib, mereka membatalkan rencananya itu. Shafiyah berhasil membunuh mata-mata tersebut dan menggelindingkan mayatnya ke arah pasukan Bani Quraizhah yang siap menyerang, karena itu mereka beranggapan bahwa ada pasukan muslim yang menjaga para kaum wanitanya, padahal tidak ada.
Segera saja Nabi SAW memerintahkan Bilal untuk menyerukan panggilan jihad, “Siapa saja yang tunduk dan patuh, janganlah melaksanakan shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah!!”
Dalam kondisi baru tiba (pulang) setelah mempertahankan diri dari pengepungan kaum kafir Quraisy dan sekutunya selama satu bulan, ternyata tidak mudah untuk mengumpulkan seluruh pasukan. Karena itu Nabi SAW memerintahkan agar mereka yang telah siap, walau dalam kelompok yang kecil, agar segera berangkat. Kelompok demi kelompok akhirnya berkumpul di tempat Bani Quraizhah ketika telah menjelang waktu isya’, dan pada saat itulah mereka melaksanakan shalat ashar sesuai perintah Nabi SAW.
Kaum muslimin melakukan pengepungan selama beberapa hari lamanya, dan akhirnya pemimpin Bani Quraizhah, Ka’b bin Asad mengirim utusan kepada Nabi SAW sebagai tanda menyerah. Tetapi mereka juga meminta Nabi SAW mengirim Abu Lubabah untuk melakukan pembicaraan dan mendengar pendapatnya. Abu Lubabah memang sekutu terbaik kaum Yahudi Bani Quraizhah sebelum Islam datang, bahkan saat itu harta kekayaan dan anak Abu Lubabah ada yang masih tinggal (tertinggal) di wilayah kaum Yahudi tersebut. Dan ternyata, dalam situasi yang seperti itu Nabi SAW memenuhi permintaan mereka.
Ketika Abu Lubabah memasuki benteng dan perkampungan Bani Quraizhah, mereka mengelu-elukan dirinya, para wanita dan anak-anak menangis di hadapannya. Hal itu membuat Abu Lubabah terharu dan merasa kasihan. Ka’b berkata, “Wahai Abu Lubabah, apakah kami harus tunduk kepada keputusan Muhammad??”
“Begitulah!!” Kata Abu Lubabah, tanpa sadar ia memberi isyarat dengan tangannya yang diletakkan di lehernya, isyarat bahwa mereka akan dihukum mati. Mungkin karena suasana yang dilihatnya atau rasa kedekatannya selama ini yang membuat ia bersikap seperti itu. Tetapi seketika itu ia menyadari apa yang dilakukannya, yang sama artinya bahwa ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Tanpa bicara apa-apa lagi ia berlari keluar, bukannya kembali menghadap Nabi SAW, tetapi menuju masjid Nabawi dan mengikatkan dirinya di tiang masjid sembari bersumpah tidak akan pernah memasuki Bani Quraizhah, dan juga tidak akan melepaskan ikatannya kecuali Nabi SAW sendiri yang melepaskannya.
Rasulullah SAW menunggu-nunggu kedatangan Abu Lubabah, karena tidak datang juga, beliau mengirimkan seorang utusan lainnya. Setelah mendengar tentang apa yang dilakukannya, beliau bersabda, “Andaikata ia datang kepadaku, tentu aku akan memaafkannya. Tetapi karena ia telah berbuat seperti itu (yakni dengan diikuti sumpah), maka aku tidak bisa melepaskannya kecuali jika ia benar-benar bertaubat kepada Allah!!” Selanjutnya sama dengan kisah di atas.

Ubaidah bin Harits

Sebelum perang Badar mulai pecah dan dua pasukan sedang berhadapan, tokoh kafir Quraisy, Utbah bin Rabiah, menantang duel satu persatu. Majulah putranya, Walid bin Utbah dan Ali bin Abi Thalib maju menghadapinya dan Ali berhasil membunuhnya. Kemudian majulah saudaranya Syaibah bin Rabiah dan paman Nabi SAW, Hamzah bin Abdul Muthalib melayani tantangannya dan dengan mudah membunuhnya pula
Melihat anak dan saudaranya tewas di hadapannya, Utbah sendiri yang maju menuntut balas. Kali ini ia dihadapi oleh Ubaidah bin Harits. Mereka laksana dua tiang yang kokoh, saling beradu pukulan dan tampaknya kekuatan mereka seimbang. Ubaidah berhasil memukul pundak Utbah hingga patah, tetapi Utbah berhasil memotong betis kaki Ubaidah, keduanya tampak sekarat. Ali dan Hamzah maju membunuh Utbah, dan mereka membawa Ubaidah ke tempat Nabi SAW sedang berteduh.
Nabi SAW meletakkan kepala Ubaidah di paha beliau, beliau mengusap wajahnya yang penuh debu. Ubaidah memandang beliau dan berkata, "Wahai Rasulullah, jika Abu Thalib melihat keadaanku ini, ia pasti akan mengetahui bahwa aku lebih berhak atas kata-kata yang pernah diucapkannya tersebut.Ubaidah memang masih paman Nabi SAW dan sepupu dari Abu Thalib. Ketika kaum kafir Quraisy berniat untuk membunuh Nabi SAW, bahkan mereka menawarkan seorang anak muda sebagai pengganti. Abu Thalib dengan tegas berkata, "(Kalian berdusta jika mengatakan) bahwa kami akan menyerahkannya (yakni Muhammad, tanpa kami melindunginya) sampai kami terkapar di sekelilingnya dan bahkan (untuk itu akan) menelantarkan anak-anak dan istri-istri kami sendiri."
Nabi SAW tersenyum mendengar perkataannya, dan Ubaidah bertanya, "Apakah aku syahid, ya Rasulullah?""Ya," Kata beliau, "Dan aku akan menjadi saksi untukmu!!"
Sesaat kemudian Ubaidah meninggal, Nabi SAW menguburkannya di Shafra', sebuah wadi antara Badar dan Madinah. Beliau sendiri yang turun ke kuburnya, dan beliau tidak pernah turun ke kuburan siapapun sebelumnya kecuali pada pemakaman Ubaidah bin Harits ini.

Khubaib Bin Adi

Khubaib bin Adi adalah seorang sahabat Anshar dari Suku Aus. 
Pada hari pertama ketika Nabi SAW datang di Madinah, Khubaib datang menghadap beliau dan menyatakan dirinya memeluk Islam. 
Kebanyakan kaum kerabatnya telah memeluk Islam ketika masih didakwahkan sahabat Mush’ab bin Umair dan As’ad bin Zurarah, ia sendiri belum tergerak hatinya. 
Tetapi ketika ia memandang langsung wajah Nabi SAW, hatinya seolah terbetot oleh ‘pesona’ yang membawanya untuk memeluk Islam.

Pada bulan Shafar tahun 4 Hijriah, beberapa waktu setelah terjadinya Perang Uhud, Nabi SAW mengirim utusan dakwah yang terdiri sekelompok sahabat yang dipimpin Ashim bin Tsabit, Khubaib termasuk di dalamnya. 
Rombongan yang dikirim atas permintaan Bani Adhal dan Qarah ini ternyata dikhianati. Mereka diserang oleh Bani Hudzail dan berakhir dengan tragedi Raji'. Khubaib ditawan dalam keadaan hidup bersama Zaid bin Datsinah dan Abdullah bin Thariq, sedang lainnya syahid. Sedianya, ketiganya akandibawa ke Makkah untuk dijual, tetapi Abdullahbin Thariq berhasil lepas dan melawan, tetapi ia akhirnya terbunuhdi daerah Zhahran.
Khubaib dibeli oleh Hujair bin Abu ihab at Tamimi dari Bani Harits bin Amir bin Naufal dengan harga seratus ekor unta. Khubaib adalah pembunuh Harits bin Amir pada Perang Badar, mereka mengurungnya sementara waktu sampai saat yang disepakati oleh keluarga Harits untuk membunuhnya. Suatu ketika Khubaib meminjam pisau cukur untuk memotongrambutnya, salah seorang putri al Harits meminjaminya. Tidak berapa lama, putri al Harits tersentak dan berlari menuju tempat Khubaib ditawan, sambil berkata, "Aku telah lalai meninggalkan anakku di dekat Khubaib….!"
Sesampainya di sana, ia melihat anaknya duduk di pangkuan paha Khubaib, seketika wajahnya pucat dalam ketakutan. Apalagi pisau cukur itu masih ada di tangan Khubaib. Melihat ekspresi putri al Harits tersebut, Khubaibberkata, "Apakah engkau takut aku akan membunuhnya? Sekali-kali aku tidak akan melakukannya, insyaallah!!"
Ia kembali ke keluarganya dan berkata, "Aku tidak pernah melihat tawanan sebaik Khubaib, dan yang mengherankan, ia sedang memakan setandan buah anggur, padahal tidak sedang musim buah-buahan di Makkah, tangan dan kakinya-pun tetap terikat dengan rantai besi. Tentulah buah-buahan tersebut rezeki dari Allah SWT...!"
Pada saat yang ditentukan untuk dieksekusi, Khubaib dibawa keluar dari tanah haram. Sebelum pelaksanaan pembunuhan, Khubaib meminta waktu untuk shalat dua rakaat, dan ia diijinkan. Inilah pertama kalinya shalat sunnah sebelum eksekusi kematian dijalankan. Usai shalat, Khubaib berkata, "Kalau tidak khawatir kalian mengira aku takut mati, pastilah aku akan memanjangkan dan menambah shalatku…"
Putra al Harits, Uqbah bin Harits bangkit untuk membunuh Khubaib, yang tubuhnya telah disalib pada sebatang kayu. Mayatnya dibiarkan tetap tersalib, dan menyuruh beberapa orang untuk menjaganya. Tetapi pada malam harinya, muncul sahabat Amr bin Umayyah adh Dhamry, ia berhasil menyiasati (mengakali) para penjaga dan menurunkan mayat Khubaib, kemudian membawanya pergi dan menguburkan pada tempat tersembunyi.
Khubaib dan Zaid bin Datsinah dibunuh pada waktu yang hampir bersamaan, dan Nabi SAW di Madinah bisa mendengar perkataan terakhir mereka sebelum dieksekusi, beliau berkata, "Salam dan keselamatan untuk kalian berdua…"
Kemudian beliau berpaling kepada para sahabat, "Khubaib dan Zaid telah dibunuh orang-orang Quraisy…"
Dalam suatu riwayat disebutkan, sebelum eksekusi dijalankan, Abu Sufyan bertanya kepadanya, "Maukah kau, jika kepalamu yang akan dipenggal ini digantikan dengan kepala Muhammad, dan kamu dibebaskan sehingga bisa berkumpul dan bergembira bersama keluargamu?"
Tetapi Abu Sufyan dan orang-orang kafir itu memperoleh jawaban yang mengejutkan, Khubaib berkata, "Demi Allah, kehidupanku bersama keluargaku tidak akan menjadi senang, jika aku membiarkan duri sekecil apapun menusuk badan kekasihku, Muhammad."
Tetapi riwayat lain menyebutkan, percakapan tersebut terjadi pada eksekusi Zaid bin Datsinah. Atau mungkin juga terjadi pada eksekusi kedua sahabat tersebut, karena mereka berdua ditangkap dan dijual ke kaum Quraisy bersama-sama, dan dieksekusi mati dalam waktu yang hampir bersamaan, dan sama-sama disaksikan oleh tokoh- tokoh kafir Quraisy.

Zaid Bin Datsinah

Zaid bin Datsinah RA, seorang sahabat Anshar yang termasuk dalam kelompok sepuluh sahabat dibawah pimpinan Ashim bin Tsabit. Kelompok sahabat ini dikirim Nabi SAW untuk mematai-matai kaum Quraisy (atau dalam riwayat lain, atas permintaan Bani Adhal dan Qarah untuk mendakwahi kaumnya). Kemudian mereka ini dikhianati sehingga terjadi pertempuran tidak seimbang dengan 100 orang kafir, delapan orang menemui syahidnya, Zaid bin Datsinah dan Khubaib bin Adi tertawan, dan dijual kepada orang-orang Quraisy di Makkah. Zaid dibeli oleh Shafwan bin Umayyah dengan harga 50 ekor unta.

Pada waktu yang ditetapkan untuk eksekusi, Zaid dibawa ke suatu tempat di luar Masjidil Haram. Orang-orang telah berkumpul untuk melihat hukumanmati yang akan dijatuhkan kepada Zaid. Sebagian orang-orang kafir melemparinya dengan anak panah sambil membujuknya kembali murtad. Tetapi ia tidak bergeming sedikitpun dan memasrahkan dirinya kepada Allah.

Abu Sufyan bertanya kepadanya, "Maukah kau, jika kepalamu yang akan dipenggal ini digantikan dengan kepala Muhammad, dan kamu dibebaskan sehingga bisa berkumpul dan bergembira bersama keluargamu?"

Tetapi Abu Sufyan dan orang-orang kafir itu memperoleh jawaban yang mengejutkan, Zaid berkata, "Demi Allah, kehidupanku bersama keluargaku tidak akan menjadi senang, jika aku membiarkan duri sekecil apapun menusuk badan kekasihku, Muhammad."

Abu Sufyan berkata, "Kasih sayang yang ditunjukkan sahabat-sahabatnya kepada Muhammad tidak ada bandingannya."

Shafwan telah menugaskan salah satu hamba sahayanya bernama Nisthas untuk membunuh Zaid, ia menikam tubuh Zaid dengan lembing sehingga menemui syahidnya. Sebelum ajal menjemputnya, ia sempat berkata, "Ya Allah, sampaikan salamku kepada Rasulullah SAW….!"

Nabi SAW yang berada di Madinah mendengar salam yang disampaikannya lewat malaikat Jibril, dan beliau membalasnya, sambil mengabarkan pada sahabat-sahabat lainnya tentang pembunuhan Zaid dan Khubaib oleh orang kafir Quraisy

Iyas Bin Mu'adz

Iyas bin Mu'adz adalah seorang pemuda dari Bani Abdul Asyhal, salah satu kabilah Suku Khazraj di Madinah. Suatu ketika ia diajak oleh Abul Haisar Anas bin Rafi bersama beberapa pemuda lainnya dari Bani Abul Asyhal, untuk menemui kaum Quraisy Makkah dalam rangka perjanjian kerjasama pertahanan. Saat itu Suku Khazraj sedang berperang dengan Suku Aus.

Di Makkah rombongan ini didatangi oleh Rasulullah SAW, beliau menjelaskan tentang Islam dan mengajak mereka untuk memeluk agama Islam. Mendengar dakwah Nabi SAW tersebut. Iyas bin Mu'adz berkata, "Wahai kaumku, ini lebih baik daripada maksud kedatangan kalian (yakni untuk menjalin perjanjian kerjasama dengan orang-orang kafir Quraisy) !!"

Anas bin Rafi sebagai pimpinan kelompok ini marah mendengarnya, dan melemparkan segengam pasir ke wajah Iyas. Iyas hanya terdiam dan Nabi SAW meninggalkan mereka.

Beberapa waktu berlalu, terjadilah Perang Bu'ats di Madinah, perang saudara antara Suku Khazraj dan Suku Aus. Dalam peperangan tersebut Iyas bin Mu'adz meninggal akibat luka-lukanya yang dialaminya. Tetapi orang-orang Madinah itu menyaksikan, bahwa menjelang kematiannya, Iyas selalu bertahlil, bertakbir dan bertasbih sampai malaikat maut menjemputnya. Karena itu mereka menyimpulkan bahwa Iyas telah memeluk Islam sejak mendengar dakwah Nabi di Makkah, dan tewas dalam memeluk agama barunya (Agama Islam) tersebut.

Ghitrif & Ghatafan Bin Sahl, Urwah Bin Abdullah R.hum

Pada suatu musim haji, Rasulullah SAW mendatangi Bani Ka'b bin Rabiah dari kabilah Bani Amir bin Sha'sha'ah yang sedang berada di Pasar Ukazh. Kabilah ini yang mempunyai kekuatan cukup besar, dan jarang ada kabilah lain yang berani berperang dengannya. Beliau menyeru mereka kepada Islam dan menjelaskan risalahnya. Ternyata mereka belum bersedia untuk masuk Islam, tetapi bersedia untuk membela beliau dalam menyampaikan risalah Islam.

Nabi SAW mengikuti mereka ke perkemahannya dengan penyambutan yang baik. Dalam sebuah transaksi jual beli, seseorang bernama Baiharah bin Firas al Qusyairi mencela Bani Ka'b bin Rabiah ini atas perlindungannya atas Rasulullah SAW. Ia kemudian berpaling kepada Nabi SAW dan berkata, "Bangunlah, kembalilah kepada kaummu, Demi Allah, jika kau tidak sedang di antara kaumku, pasti aku akan memenggal kepalamu."

Setelah Nabi SAW naik unta, Baiharah menendang kaki unta beliau dan dua orang melemparinya. Saat itu ada seorang wanita dari Bani Amir bin Sha'sha'ah yang telah memeluk Islam, yakni Dhuba'ah binti Amir bin Qurth. Ia berseru kepada keluarganya untuk membela Nabi SAW. Muncullah satu orang memukul Baiharah, dan dua orang lagi tampil memukul dua orang yang melempar Nabi SAW. Melihat hal itu, Nabi berdoa, "Ya Allah, berkatilah tiga orang itu (yang membantu Nabi SAW) dan laknatilah orang yang membantu Baiharah."

Tiga orang tersebut adalah anak-anak paman Dhuba'ah, Ghitrif bin Sahl dan Ghatafan bin Sahl, dua anak lelaki Sahl, dan satunya lagi Urwah bin Abdullah. Dua orang yang membantu Baiharah dan kemudian mati dalam keadaan dilaknat oleh Allah SWT adalah Hazn bin Abdullah dan Muawiyah bin Ubadah. Tiga orang yang membantu Nabi SAW akhirnya mendapat berkah doa beliau, setelah beberapa waktu berlalu, mereka masuk Islam dan berjihad bersama Rasullullah SAW hingga menemui syahidnya.

Ibnu Nathur Uskup Kota Iliya Romawi

Ibnu Nathur adalah seorang uskup di  kota Iliya di Syam, salah satu daerah kekuasaan Kerajaan Romawi, ia juga sahabat sang Kaisar Romawi, Hiraqla (Hiraklius). Saat Hiraqla menerima suratseruan Nabi SAW untuk masuk Islam, yang dibawa sahabat Dihyah al Kalbi RA, ia mengkonfirmasi lebih lanjut suratbeliau itu dengan Ibnu Nathur. Sang Uskup membacakan ayat-ayat Injil yang membenarkan Kenabian Nabi Muhammad SAW, kemudian ia menyatakan dirinya memeluk Islam.

Hiraqla termenung cukup lama setelah mendengar pandangan dan pendapat, bahkan sikap sahabatnya tersebut untuk memeluk Islam. Ia sendiri sebenarnya juga mengakui kenabian Rasulullah SAW, sebelum meminta pendapat Ibnu Nathur. Tetapi karena beberapa alasan, termasuk takut kehilangan kekuasaan, ia tidak mengikuti jejak sahabatnya tersebut.

Pada hari ahadnya setelah ia memeluk Islam, Ibnu Nathur tidak muncul untuk memberikan khutbah dan ceramah di gereja seperti biasanya, padahal ‘jamaahnya’ telah berkumpul. Begitu pula pada hari-hari ahad berikutnya, dengan alasan ia sedang sakit. Orang-orang Romawi akhirnya jadi geram, apalagi melihat kedekatannya dengan orang Arab yang juga sahabat Nabi SAW, Dihyah al Kalbi. Mereka akhirnya memaksa sang uskup untuk keluar dari rumahnya.

Melihat perkembangan situasi dan kondisi yang seperti itu, Ibnu Nathur menulis surat kepada Nabi SAW dan menitipkannya pada Dihyah al Kalbi, dan berpesan agar menyaksikan apa yang akan terjadi atas dirinya. Ia minta Dihyah menyampaikan salamnya pada Nabi SAW dan menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Setelah itu Ibnu Nathur keluar dengan pakaian putih, tidak dengan pakaian kebesaran gereja seperti biasanya. Di depan orang banyak orang, yang juga adalah para jamaahnya yang selama ini selalu mendengarkan dan menaati pengajarannya, Ibnu Nathur bersyahadat untuk menunjukkan keislamannya. Walau sebelumnya telah menduga karena kedekatannya dengan Dihyah al Kalbi, mereka terperangah juga dengan sikapnya yang sangat demontratif. Mereka menjadi sangat marah dan mengerubutinya, serta memukulinya hingga akhirnya Ibnu Nathur tewas terbunuh.

© all rights reserved
made with by templateszoo