Tampilkan postingan dengan label Sabiqun Al Awwalun. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sabiqun Al Awwalun. Tampilkan semua postingan

Ubay bin Ka'ab

Ubay bin Ka'ab adalah seorang sahabat Anshar dari suku Khazraj, ia memeluk Islam pada masa awal yakni ketika terjadinya Ba'iatul Aqabah. Ia juga aktif berbagai pertempuran bersama Nabi SAW seperti Badar, Uhud, dan lain-lainnya, sebagaimana kebanyakan sahabat Anshar lainnya. Tetapi kekhususan Ubay bin Ka'ab di sisi Rasulullah SAW adalah tentang Al Qur'an.
Ubay bin Ka’ab termasuk dalam jajaran sahabat penulis dan penghafal wahyu-wahyu yang turun, dan beliau pernah bersabda kepadanya, "Hai Ubay bin Ka'ab, saya diperintahkan untuk menyampaikan al Qur'an kepadamu…!!"
Antara senang dan cemas kalau "kepedean", ia bertanya, "Wahai Rasulullah, ibu bapakku menjadi tebusan anda, benarkah namaku disebut oleh Allah…?"
"Benar," Kata Nabi SAW, "Namamu dan keturunanmu di tingkat tertinggi…!!"
Suatu ketika Nabi SAW sedang mengimami shalat jamaah, dan terselip satu ayat yang beliau tidak membacanya. Ubay yang berada di belakang Nabi SAW berbisik perlahan kepada Nabi SAW. Usai shalat, beliau bertanya "Siapakah yang tadi membetulkan bacaanku?"
Orang-orangpun menunjuk kepada Ubay bin Ka'ab. Nabi SAW tersenyum dan berkata, "Aku telah menduga, pasti Ubaylah orangnya…"
Suatu ketika ada seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi SAW tentang penyakit yang dialaminya, dan apa yang akan diterimanya karena penyakitnya tersebut. Nabi SAW bersabda, "Itu adalah penghapus dosa (kaffarah)."
Ubay yang saat itu hadir, seketika bertanya, "Walau sakit yang sedikit, wahai Rasulullah!”
"Ya," Kata Nabi SAW, "Walau hanya tertusuk duri, atau yang lebih ringan dari itu."
Suatu ketika Ubay bin Ka'ab merasakan demam, ia teringat akan sabda Nabi SAW tersebut, maka iapun berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya aku meminta, agar Engkau tidak menghilangkan demam panas ini dari tubuh Ubay bin Ka'ab, hingga aku bertemu denganMu. Tetapi janganlah demam ini menghalangi aku dari shalat, puasa, haji dan jihad di jalanMu."
Maka sakit demamnya berkepanjangan, hingga tiada seorang yang memegangnya kecuali merasakan panas tubuhnya. Namundemikian ia tetap bisa beribadah dan berjuang tanpa kesulitan, hingga ajal menjemputnya.

Miqdad bin Amr Al Aswad

Miqdad bin Amr al Aswad termasuk dalam kelompok sahabat yang mula-mula memeluk Islam, sehingga ia termasuk dalam kelompok as sabiqunal awwalun. Ia bukan termasuk golongan terkemuka sehingga ia mengalami berbagai penyiksaan dan sasaran kemarahan dari kaum Quraisy, karena pilihannya memeluk Islam. Tetapi semua penderitaan itu tidaklah menambah kecuali kemantapan imannya.
Pada masa awal tinggal di Madinah, Nabi SAW membagi sahabat Muhajirin dalam kelompok yang terdiri dari sepuluh orang, yakni untuk mereka yang tidak tinggal dengan orang-orang Anshar, tetapi tinggal di serambi masjid sebagai Ahlu Shuffah. Miqdad berada dalam satu kelompok dengan Nabi SAW, dan ada tiga ekor kambing yang dapat diperah susunya untuk kelompok ini.
Suatu ketika Miqdad dan dua orang temannya dalam keadaan sangat lapar dan payah, sementara ada satu gelas susu yang merupakan jatah Nabi SAW dan beliau sendiri sedang berkunjung ke rumah seorang sahabat. Syetanpun membisikkan pikiran jahat pada Miqdad, "Sebaiknya engkau minum susu itu. Nabi sedang berkunjung ke rumah sahabat Anshar, dan pasti beliau dijamu dengan istimewa disana…"
Miqdad mengabaikannya, tetapi syetan terus membisikinya, dan keadaannya yang payah serta rasa lapar itupun mendukung, sehingga ia tidak tahan lagi, susu itupun diminumnya dengan dua orang temannya. Setelah minum kedua temannya tertidur, sedangkan Miqdad sendiri dihantui perasaan bersalah karena meminum susu jatah Nabi SAW. Syetan menambah kegundahannya dengan bisikan-bisikan, "Apa yang engkau lakukan? Muhammad akan segera datang, dan akan mencari jatah susunya, pasti engkau akan binasa karena ia akan berdoa untuk kebinasaan orang yang menyerobot bagiannya…"
Tak berapa lama Nabi SAW datang, beliau langsung shalat sunnah beberapa rakaat. Miqdad makin gelisah, menunggu apa yang akan terjadi. Usai shalat, Nabi SAW menoleh ke arah gelas susu yang telah kosong, kemudian beliau mengangkat tangan untuk berdoa….
"Binasalah aku!!" Kata Miqdad dalam hati.
Tetapi kemudian ia mendengar doa Nabi SAW, "Ya Allah, berilah makanan kepada orang yang memberiku makanan, berilah minuman kepada orang yang memberiku minuman."
Mendengar doa tersebut, Miqdad bergegas bangun dan mengambil pisaunya. Ia bermaksud menyembelih salah satu dari ketiga kambing tersebut untuk makanan Nabi SAW. Tetapi ia terkejut menemui ketiga kambing tersebut dalam keadaan penuh air susunya, padahal ketika datang bersama kedua temannya, tidak ada setetespun susu yang dapat diperah dari ketiga kambing tersebut.
Miqdad mengambil sebuah bejana dan mengisinya dengan susu kemudian membawanya kepada Rasulullah SAW. Beliau meminumnya beberapa teguk lalu diberikan kepada Miqdad,. Setelah minum beberapa teguk, Miqdad mengembalikannya kepada Nabi SAW. Setelah beliau minum beberapa teguk diberikan lagi kepada Miqdad. Begitulah beberapa kali bergantian minum hingga akhirnya Miqdad kekenyangan dan tertawa mengingat apa yang dilakukannya.
Nabi SAW yang faham apa yang terjadi, tersenyum dan bersabda, "Perbuatanmu itu adalah salah satu keburukanmu, hai Miqdad! Tetapi itu semua tidak terjadi kecuali karena rahmat Allah Azza wa Jalla. Sebaiknya engkau bangunkan kedua temanmu agar bisa merasakan susu ini."
"Ya Rasulullah, aku tidak perduli siapa yang disalahkan dalam hal ini, tetapi yang penting engkau telah meminum susu itu, dan aku telah meminum sisa engkau…" Kata Miqdad.
Kemudian ia membangunkan kedua temannya untuk bisa menikmati susu yang penuh berkah tersebut.Miqdad termasuk ahli Badr, yakni sahabat yang mengikuti perang Badr, yang di dalam Al Qur'an telah dijamin keselamatannya di akhirat. Bahkan ia termasuk pasukan berkuda yang pertama dalam Islam, yang sebenarnya hanya ada dua orang dalam perang Badar tersebut, yakni dirinya yang diserahi Rasulullah SAW memimpinsayap kiri. Dan penunggang kuda lainnya, Zubair bin Awwam memimpin di sayap kanan

Ubaidah bin Harits

Sebelum perang Badar mulai pecah dan dua pasukan sedang berhadapan, tokoh kafir Quraisy, Utbah bin Rabiah, menantang duel satu persatu. Majulah putranya, Walid bin Utbah dan Ali bin Abi Thalib maju menghadapinya dan Ali berhasil membunuhnya. Kemudian majulah saudaranya Syaibah bin Rabiah dan paman Nabi SAW, Hamzah bin Abdul Muthalib melayani tantangannya dan dengan mudah membunuhnya pula
Melihat anak dan saudaranya tewas di hadapannya, Utbah sendiri yang maju menuntut balas. Kali ini ia dihadapi oleh Ubaidah bin Harits. Mereka laksana dua tiang yang kokoh, saling beradu pukulan dan tampaknya kekuatan mereka seimbang. Ubaidah berhasil memukul pundak Utbah hingga patah, tetapi Utbah berhasil memotong betis kaki Ubaidah, keduanya tampak sekarat. Ali dan Hamzah maju membunuh Utbah, dan mereka membawa Ubaidah ke tempat Nabi SAW sedang berteduh.
Nabi SAW meletakkan kepala Ubaidah di paha beliau, beliau mengusap wajahnya yang penuh debu. Ubaidah memandang beliau dan berkata, "Wahai Rasulullah, jika Abu Thalib melihat keadaanku ini, ia pasti akan mengetahui bahwa aku lebih berhak atas kata-kata yang pernah diucapkannya tersebut.Ubaidah memang masih paman Nabi SAW dan sepupu dari Abu Thalib. Ketika kaum kafir Quraisy berniat untuk membunuh Nabi SAW, bahkan mereka menawarkan seorang anak muda sebagai pengganti. Abu Thalib dengan tegas berkata, "(Kalian berdusta jika mengatakan) bahwa kami akan menyerahkannya (yakni Muhammad, tanpa kami melindunginya) sampai kami terkapar di sekelilingnya dan bahkan (untuk itu akan) menelantarkan anak-anak dan istri-istri kami sendiri."
Nabi SAW tersenyum mendengar perkataannya, dan Ubaidah bertanya, "Apakah aku syahid, ya Rasulullah?""Ya," Kata beliau, "Dan aku akan menjadi saksi untukmu!!"
Sesaat kemudian Ubaidah meninggal, Nabi SAW menguburkannya di Shafra', sebuah wadi antara Badar dan Madinah. Beliau sendiri yang turun ke kuburnya, dan beliau tidak pernah turun ke kuburan siapapun sebelumnya kecuali pada pemakaman Ubaidah bin Harits ini.

Utbah Bin Ghazwan

Utbah bin Ghazwan adalah sahabat muhajirin, dan termasuk dalam kelompok awal yang memeluk Islam (As sabiqunal awwalin). Ia sempat berhijrah ke Habasyah karena begitu kerasnya tekanan dan siksaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy. Walau suasana tenang dan terlindungi untuk beribadah di sana, tetapi ia memilih untuk kembali ke Makkah karena kerinduannya kepada Nabi SAW. Tidak masalah kalau hari-harinya dalam kesulitan, siksaan dan teror asal setiap saat ia bisa bertemu dan bergaul dengan Nabi SAW.

Seperti kebanyakan sahabat Nabi SAW dalam kelompok as sabiqunal awwalin, Utbah tidak ingin tertinggal dalam perjuangan menegakkan panji-panji Islam bersama Nabi SAW. Pola hidupnya juga tak jauh berbeda dengan beliau, tekun beribadah, menjauhi kemewahan hidup duniawiah dan tidak mencari jabatan. Dalam kebanyakan pertempuran yang diterjuninya, ia hanyalah seorang prajurit biasa yang mempunyai keahlian dalam memanah dan melemparkan tombaknya.

Tipikal orang-orang seperti Utbah itulah yang dicari oleh khalifah Umar untuk mendukung pemerintahannya. Tidak ayal lagi, Umar memilih Utbah bin Ghazwan untuk memimpin pasukan untuk menaklukan kota Ubullah, sebuah daerah di perbatasan yang sering dijadikan batu loncatan tentara Persia untuk menyerang wilayah Islam. Pada mulanya Utbah menolak keras menjadi pemimpin, dan lebih memilih menjadi prajurit biasa dalam pasukan itu. Tetapi keputusan Umar memang tidak bisa ditawar lagi, sehingga ia berangkat dalam pasukan itu sebagai komandan untuk pertama kalinya.

Ternyata tidak terlalu sulit bagi Utbah menaklukan Ubullah, karena penduduknya sendiri lebih banyak mendukung kedatangan pasukan muslim, sehingga lebih mudah mengalahkan dan mengusir pasukan Persia dari wilayah tersebut. Memang, pasukan Persia selama itu lebih banyak menyengsarakan penduduk Ubullah daripada melindunginya. Di tempat tersebut, Utbah dan pasukannya dengan didukung penduduk setempat melakukan pembangunan kota, tentunya dengan bercirikan keislaman dengan masjid besar menjadi pusat kotanya. Kota ini kemudian dikenal dengan nama Bashrah, dan secara otomatis Utbah menjadi wali negerinya.

Setelah pemerintahan berjalan lancar, Utbah bermaksud kembali ke Madinah dan menyerahkan kendali kota kepada sahabat-sahabatnya. Sungguh, jabatan yang dipegangnya itu membuat hidupnya tidak nyaman. Apalagi perkembangan kota yang dipimpinnya makin pesat saja, seolah menjadi "pesaing" kemewahan yang ditampilkan oleh kota-kota lainnya di wilayah Persia. Jiwa zuhud, wara dan sederhana sebagai hasil didikan Nabi SAW seolah memaksanya untuk "melarikan-diri" dari semua itu. Tetapi ketika ia mengajukan pengunduran diri dari jabatannya, khalifah Umar menolak, bahkan menentang keras keputusannya. Terpaksalah Utbah menjalankan lagi tugasnya tersebut.

Utbah bin Ghazwan menyibukkan dirinya dengan membimbing penduduk Bashrah tentang kewajiban-kewajiban agama, menjalankan ibadah, menegakkan hukum dengan adil, dan tentu saja yang tidak ketinggalan, menerapkan jiwa zuhud, wara dan sederhana dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tentu saja sikapnya ini tidak seratus persen mendapat dukungan, bahkan penentangan secara terang-terangan kadang terjadi. Karena itu ia sering berkata, "Demi Allah, sesungguhnya telah kalian lihat aku bersama Rasulullah SAW, sebagai salah seorang dari kelompok tujuh, yang tidak punya makanan kecuali hanya daun-daun kayu, sehingga bagian dalam mulut kami menjadi pecah-pecah dan luka."

Ia juga pernah berkata, "Suatu hari aku memperoleh hadiah baju burdah dari Nabi SAW, dan baju itu kupotong jadi dua. Sepotong untuk dipakai Sa'ad bin Malik dan sepotong untukku sendiri…..!!"

Begitulah cara Utbah mengajarkan pola hidup yang dipeganginya, semuanya disandarkan dan dikembalikan kepada Nabi SAW. Tentu, bagi pemeluk Islam belakangan yang tidak sempat hidup bersama Rasulullah SAW, dan tidak mengalami masa-masa sulit mempertahankan keimanan dan keislaman, hal-hal tersebut terasa mustahil, seperti dongeng saja dan bukan kenyataan. Bagaimanapun juga, suasana dan pengaruh magnetis yang dipancarkan dari sosok Nabi SAW bisa memotivasi seseorang berbuat sesuatu yang di luar nalar, seolah di bawah kendali kekuatan ghaib yang bernama keimanan.

Orang-orang tersebut terus mendorongnya untuk merubah pola hidupnya, dan seakan ingin menyadarkan kedudukannya sebagai seorang penguasa muslim. Keteguhan sikapnya dalam zuhud dan kesederhanan seolah-olah mencoreng ‘nama-baik’ Islam di antara penguasa lainnya seperti Persia dan Romawi. Tetapi dengan tegas Utbah berkata, "Aku berlindung kepada Allah dari sanjungan orang-orang terhadap diriku karena kemewahan duniawi, yang sesungguhnya nilainya sangat kecil di sisi Allah…!!"

Ketika tampak sekali ekspresi wajah-wajah tidak sepakat dengan pendiriannya tersebut, ia berkata lagi, "Besok atau lusa, kalian akan menjumpai dan melihat amir (yang kalian inginkan itu), menggantikan diriku!"

Pada suatu musim haji, ia menyerahkan pimpinan pemerintahan Bashrah kepada sahabatnya dan ia pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Usai haji, ia pergi ke Madinah dan menghadap Khalifah Umar, dan mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan wali negeri Bashrah. Tetapi seperti bisa diduga, Umar menolak dengan tegas keinginannya tersebut, dengan ucapannya yang sangat terkenal, "Apakah kalian membai'at aku dan menaruh amanat khilafah di pundakku, kemudian kalian meninggalkanaku dan membiarkan aku memikulnya seorang diri? Tidak, demi Allah tidak kuizinkan kalian melakukan itu!!"

Kalaulah tipikal amir atau wali negeri itu suka bermewah-mewahan dengan harta duniawiah, tidak perlu diminta, Umar akan segera memecatnya seperti terjadi pada Muawiyah ketika menjabat amir di Syam. Terpaksalah Utbah harus meninggalkan Madinah, kota Nabi SAW yang selalu menjadi kerinduannya, dan kembali ke Bashrah yang justru sangat ingin dihindarinya karena harus memegang jabatan wali negeri di sana. Tampak keresahan dan kegamangan melingkupi wajahnya. Sebelum menaiki tunggangannya, ia menghadap kiblat dan berdoa, "Ya Allah, janganlah aku Engkau kembalikan ke Bashrah, janganlah aku Engkau kembalikan kepada jabatan pemerintahan selama-lamanya….!!"

Ternyata Allah SWT mengabulkan permintaannya. Walaupun ia tidak mengingkari perintah khalifah Umar untuk kembali ke Bashrah, tetapi dalam perjalanan kembali tersebut, Allah berkenan memanggilnya ke haribaan-Nya, menghindarkan dirinya dari kegalauan dan keresahan jiwa karena memegang jabatan wali negeri. Sebagian riwayat menyebutkan ia terjatuh dari tunggangannya ketika belum jauh meninggalkan kota Madinah. Tampaknya ia tidak ingin dipisahkan lagi dari Rasulullah SAW terlalu jauh.

Mush'ab bin Umair

Mush'ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi Nabi Muhammad. Mush'ab berhasil memasukan ajaran Islam kepada Usayd bin Hudhayr dan sahabat Usayd yang bernama Sa'ad bin Mu'adz.
Lahir: 585 M, Mekkah, Arab Saudi
Meninggal: 625 M, Gunung Uhud, Madinah, Arab Saudi
Pasangan: Hammanah bint Jahsh
Anak: Muhammad ibn Mus`ab ibn `Umair, Abdullah ibn Mus`ab ibn `Umair
Orang tua: Umair ibn Hashim, Khunaas Bint Maalik

Mus'ab bin Umair berasal dari keturunan bangsawan dari suku Quraisy. Ia adalah salah satu sahabat yang pertama dalam memeluk Islam setelah Nabi Muhammad SAW
diangkat sebagai Nabi dan menyebarkan agama Islam.

Mus'ab bin Umair diutus oleh Nabi Muhammad SAW
untuk menyebarkan dan mengajarkan agama Islam di Madinah, setelah orang-orang dari Madinah datang menyatakan keislamannya. Ia di Madinah hingga Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah. Mus'ab bin Umair mati syahid di Pertempuran Uhud.

Utsman Bin Mazh'un

Utsman bin Mazh'un merupakan golongan awal yang masuk Islam, sebelum mencapai dua puluh orang, sehingga ia termasuk dalam golongan As Sabiqunal Awwalin
.

Pada awal keislamannya, ia pernah berhijrah ke Habasyah sampai dua kali untuk menghindari siksaan kaum kafir Quraisy.

Ketika berhembus kabar bahwa orang-orang Quraisy telah menerima Islam, ia kembali ke Makkah. Tetapi ternyata itu hanya kabar bohong, bahkan mereka telah bersiap untuk menangkap dan menyiksa para sahabat yang baru kembali dari Habasyah tersebut.
Untung bagi Utsman, pamannya Walid bin Mughirah (ayah Khalid bin Walid
), menyatakan memberikan perlindungan keamanan kepadanya, sehingga orang-orang kafir Quraisy tidak bisa menyiksanya.

Utsman bebas bergerak dan berjalan dimana saja di Makkah karena perlindungan Walid tersebut, tetapi ia melihat kaum muslimin lainnya dalam ketakutan, sebagian dalam derita penyiksaan. Ia jadi merasa tidak nyaman walau dalam keamanan, karena itu ia mengembalikan jaminan perlindungan pamannya tersebut, sehingga bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh saudara muslim lainnya. Ketika Walid menanyakan alasannya, ia berkata, "Aku hanya ingin berlindung kepada Allah dan tidak suka kepada yang lain-Nya…"

Suatu ketika ia melewati majelis orang kafir Quraisy yang sedang mendengarkan lantunan syair dari seorang penyair bernama Labid bin Rabiah. Seperti biasanya, para hadirin akan memberi applaus. Utsman bin Madz’un ikut memberi applaus ketika Labid menyampaikan salah satu baitnya, "Ingatlah, segala sesuatu selain Allah akan binasa."

Labidpun meneruskan bait syairnya, "Dan semua nikmat niscaya pasti sirna."

Spontan Utsman berteriak, "Dusta…!! Nikmat surga tidak akan pernah sirna…"

Mendengar ada orang yang membantah syairnya, Labid jadi marah, ia meminta agar orang Quraisy bertindak karena ada yang mulai berani merusak forum mereka. Seseorang bangkit untuk memukul Utsman, tetapi ia membalas pukulannya tersebut, akibatnya salah satu matanya bengkak karena terpukul.
Pamannya, Walid bin Mughirah, yang berada di sebelahnya berkata, “Kalau saja engkau masih berada dalam perlindunganku, matamu tidak akan mendapat musibah seperti itu!!

Mendengar komentar pamannya itu, Utsman justru menjawab dengan semangat, "Bahkan aku merindukan ini terjadi padaku, dan mataku yang satunya menjadi iri dengan apa yang dialami oleh saudaranya. Aku berada dalam perlindungan Dzat yang lebih mulia daripada kamu!"

Ketika telah tinggal di Madinah, Utsman bin Mazh'un meninggal karena sakit, tidak gugur dalam pertempuran sebagai syahid. Hal ini sempat menimbulkan prasangka yang buruk, bahkan Umar bin Khaththab
sempat berkata, "Lihatlah orang ini (yakni Utsman) yang sangat menjauhi kebesaran dunia (yakni zuhud), tetapi ia mati tidak dibunuh (mati syahid) !!

Persangkaan seperti itu terus bersemayam dalam pikiran banyak orang sampai akhirnya Nabi Muhammad SAW
wafat karena sakit dan tidak dalam pertempuran.
Umar-pun berkata, "Alangkah sedihnya, orang yang paling mulia di antara kita telah meninggal dunia."

Prasangka seperti itupun jadi hilang, mereka tidak lagi memandang remeh kematiannya yang tidak dibunuh atau syahid di medang perang.
Dan hal itu makin menguat ketika Khalifah Abu Bakar
-pun meninggal juga karena sakit, tidak terbunuh di medan pertempuran.
Kali ini Umar berkata, "Alangkah sedihnya, orang yang paling baik di antara kita telah meninggal dunia."

Utsman merupakan sahabat yang pertama meninggal di Madinah dan orang muslim pertama yang pertama kali dimakamkan di Baqi.
Beberapa waktu kemudian putri Nabi SAW yang juga istri Utsman bin Affan
, Ruqayyah binti Muhammad
meninggal, Nabi SAW bersabda, "Pergilah, wahai putriku, susullah saudara kita yang saleh, Utsman bin Mazh'un..!!"



Ummu Aiman

Ummu Aiman adalah seorang hamba sahaya yang diwariskan kepada Muhammad oleh ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib.
Ummu Aiman mengasuh Muhammad sampai usia dewasa.
Dia dimerdekakan setelah Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, kemudian dinikahi oleh ’Ubaid bin Al-Harits dari suku Khazraj.
Dari pernikahannya dengan ’Ubaid, lahirlah Aiman. Aiman ikut hijrah dan berjihad bersama Muhammad dan gugur sebagai syahid dalam Perang Hunain.

Nabi Muhammad SAW sangat menghormati Ummu Aiman. Suatu ketika dia mengunjunginya dan berkata, ”Wahai Ibu!
Dia juga pernah berkata, ”Wanita ini adalah anggota keluargaku yang masih tersisa.
Pada kesempatan lain dia juga pernah berkata, ”Ummu Aiman adalah ibuku setelah ibuku (wafat).

Ummu Aiman mengasuh Muhammad kecil dengan penuh kelembutan. Setelah Muhammad diangkat menjadi rasul, dia pernah berkata, ”Barang siapa yang ingin menikah dengan wanita ahli surga, maka hendaklah ia menikahi Ummu Aiman.
Mendengar sabda Nabi SAW, Zaid bin Haritsah segera menikahinya. Dari pernikahannya dengan Zaid, lahirlah Usamah bin Zaid, lelaki kesayangan Muhammad.

Ketika Allah memerintahkan kaum muslim untuk hijrah ke Madinah, Ummu Aiman termasuk angkatan pertama yang turut hijrah ke Madinah.
Dia melakukan hijrah dengan berjalan kaki, tanpa bekal, dan dalam keadaan puasa walaupun cuaca saat itu sangat panas, sehingga ia mengalami kehausan yang sangat.
Selanjutnya, Allah memberikan kemurahan kepadanya dengan menurunkan dari langit satu timba air dengan tali timba yang berwarna putih. Dia pun meminumnya sampai puas.

Dalam sebuah riwayat, Ummu Aiman berkata, “Sesudah minum air itu, aku tidak merasakan haus lagi. Meskipun aku berpuasa di tengah hari yang biasanya aku merasa haus, kini aku tidak merasakan haus setelah minum air itu. Sejak saat itu, jika aku berpuasa pada hari yang sangat panas, aku tidak pernah merasakan haus."

Nabi Muhammad SAW memperlakukan Ummu Aiman layaknya ibu dia sendiri.
Suatu saat Ummu Aiman mendatangi dia dan berkata, ”Wahai Rasulullah, bawalah aku.”
Rasulullah berkata, ”Aku akan membawamu di atas anak unta.”
Ia berkata lagi, ”Wahai Rasulullah, anak unta tidak sanggup menahan bebanku. Aku tidak mau.
Dia Rasulullah berkata lagi, ”Aku tidak mau membawamu, kecuali di atas anak unta."
Rasulullah memang ingin mencandai Ummu Aiman, karena setiap unta itu pastilah anak unta yang lain.
Begitulah Rasulullah, bahkan dalam bercanda pun, dia tetap mengatakan sesuatu yang benar.

Ummu Aiman adalah wanita yang cedal (susah berbicara). Suatu ketika Ummu Aiman datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Salaamun laa ’alaikum” (Semoga keselamatan tidak terlimpahkan kepadamu). Muhammad pun memaklumi ucapan salamnya itu, karena yang dia maksudkan sebenarnya adalah, ”Assalamu ’alaikum” (Semoga keselamatan tetap terlimpahkan kepadamu).

Di samping sifat-sifatnya yang terpuji, Ummu Aiman juga seorang wanita yang selalu ingin bergabung bersama pahlawan Islam dalam memerangi musuh-musuh Allah SWT untuk meninggikan kalimat-Nya, kendatipun usianya sudah tua. Dia ikut di medan perang Uhud. Di sana dia berusaha memanah sekuat kemampuannya, memberi minum pasukan yang kehausan, dan mengobati mereka yang terluka. Dia juga turut menyertai Muhammad dalam Perang Khaibar.

Setelah Muhammad wafat, Abu Bakar berkata kepada Umar, ”Marilah kita mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana Muhammad juga pernah mengunjunginya.”
Namun mereka berdua mendapati Ummu Aiman sedang menangis. Abu Bakar dan Umar bertanya, ”Apa yang membuatmu menangis? Bukankah tempat di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya?”
Ummu Aiman menjawab, ”Aku menangis bukan karena tidak tahu bahwa tempat di sisi Allah adalah lebih baik bagi Muhammad. Aku menangis karena wahyu sudah terputus dari langit.”
Mendengar jawaban itu Abu Bakar dan Umar pun ikut menangis bersamanya.

Ummu Aiman wafat pada masa khalifah Utsman bin Affan, bertepatan 20 hari setelah wafatnya Umar. Semoga Allah mencurahkan rahmat-nya kepada Ummu Aiman, wanita yang berhijrah dengan berjalan kaki dalam keadaan puasa, inang pengasuh Muhammad.

Abdullah bin Abdul-Asad (Abu Salamah)

Abu Salamah
Nama aslinya adalah Abdullah bin Abdul-Asad (Arab:بن عبد الأسد عبد الله) adalah salah satu Sahabat Nabi Muhammad. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abdul Asad al-Makhzumi, terkenal dengan nama Abu Salamah, ia menderita luka-luka dalam perang Uhud dan menjadi seorang yang mati syahid.
Abu Salamah juga disusui oleh Thaubiyah, yang juga pernah menyusui Muhammad.

Ia bersama dengan istrinya Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayah merupakan sahabat yang awal memeluk agama Islam.
Mereka memiliki empat anak, yaitu Salama, Umar, Zainab, dan Durra.

Setelah meninggalnya Abdullah bin Abdul-Asad, Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayah menikah dengan Nabi Muhammad.
Abu Salamah pernah ikut hijrah ke Ethiopia, ia dikenal dengan keberanian dan kemahirannya menunggang kuda.

Abdullah Bin Rawahah

Abdullah bin Rawahah adalah salah satu dari sahabat Nabi Muhammad SAW
Lahir: Madinah, Arab Saudi
Meninggal: 629 M, Mu'tah
Orang tua: Rawahah ibn Tha'labah
 
Suatu saat Abdullah bin Rawahah tiba-tiba saja menangis, melihat keadaan itu istrinya ikut menangis, iapun bertanya kepada istrinya,  "Mengapa engkau ikut menangis?"
"Apa yang menyebabkan engkau menangis, itulah yang membuatku ikut menangis." Kata istrinya.   
Mendengar jawaban itu, Abdullah berkata,  "Ketika aku ingat, bahwa aku akan menyeberangi neraka melalui shirat, aku tidak tahu apakah aku akan selamat atau akan celaka?"

Ketika Rasulullah SAW mempersiapkan pasukan ke Mu'tah, Beliau berpesan bahwa pimpinan pasukan adalah Zaid bin Haritsah, jika ia gugur penggantinya adalah Ja'far bin Abu Thalib, dan jika Ja'far gugur penggantinya adalah Abdullah bin Rawahah.

Saat itu hari jum'at, saat pasukan telah berangkat, Ibnu Rawahah tidak ikut serta karena ingin shalat jum'at dahulu bersama Rasulullah SAW, baru setelah itu ia akan menyusul. Usai shalat jum'at, ketika Nabi SAW melihat Ibnu Rawahah, Beliau bertanya, "Apa yang menghalangimu untuk berangkat pagi-pagi bersama sahabat-sahabatmu?"

Ibnu Rawahah menjelaskan kalau masih ingin shalat jum'at bersama Beliau, tetapi justru Nabi SAW mencela sikapnya itu. Beliau bersabda, 
"Jika engkau mampu bersedekah dengan semua yang ada di muka bumi, tentu engkau tidak akan mencapai pahala yang mereka peroleh sejak pagi ini!"

Mendengar teguran Nabi SAW tersebut, Ibnu Rawahah segera memacu tunggangannya menyusul induk pasukan yang telah berangkat, dan langsung bergabung dengan mereka.

Ketika pasukan muslim telah berkemah di Maan, mereka memperoleh berita bahwa Hiraqla (Hiraklius) juga telah berkemah di Maab, di wilayah Balqa, dengan seratus ribu pasukannya, ditambah dengan seratus ribu pasukan dari para sekutunya. 
Sementara pasukan muslim hanya sekitar tiga ribu orang. Beberapa sahabat mengusulkan untuk mengirimkan surat kepada Nabi SAW tentang jumlah musuh yang harus mereka hadapi, sehingga beliau akan menambah jumlah pasukan, atau beliau akan memberi perintah lain.

Mendengar usulan tersebut, Abdullah bin Rawahah berkata, "Wahai sahabat-sahabatku, Demi Allah, sesungguhnya apa yang kalian tidak suka, itulah yang sebenarnya kita cari, yakni kesyahidan. Kita memerangi musuh tidak karena jumlah dan kekuatan mereka, tetapi karena agama ini yang dengannya Allah telah memuliakan kita. Marilah...sesungguhnya apapun akhirnya hanya kebaikan bagi kita, kemenangan atau kesyahidan…"

Sebagian besar sahabat membenarkan pendapat Ibnu Rawahah, mereka bergerak mendekati posisi pasukan Romawi yang kemudian bertemu di daerah Mu'tah. 
Pertempuran tidak berimbang terjadi dengan sengitnya, tetapi itu tidak mengurangi semangat pasukan muslim untuk terus berjuang. Zaid gugur, panji diambil Ja'far bin Abu Thalib. Ketika Ja'far juga gugur, Abdullah bin Rawahah mengambil alih panji tersebut dan meneruskan pertempuran. Ia bergerak sambil bersyair untuk menyemangati diri dan anggota pasukannya.

Ketika pertempuran terhenti sejenak, seorang lelaki dari bani Murrah bin Auf mendekatinya dan memberikan sepotong tulang berdaging, sambil berkata, "Kuatkanlah punggungmu dengan daging ini, karena engkau telah mengalami kelaparan hari-hari ini..!"
 Ibnu Rawahah memakan sedikit dagingnya, kemudian terdengar suara menderu pertanda adanya serangan. Ia berseru, "Sesungguhnya engkau hanyalah dunia…"
Ia mencampakkan daging tersebut dan mengambil pedangnya kemudian berperang menghadang serangan musuh sehingga ia menemui syahidnya.

Tiga orang panglima perang yang ditunjuk Rasulullah SAW telah gugur. Sempat terjadi kebingungan dan hampir saja pasukan muslim ditumpas habis oleh pasukan Romawi. 
Kemudian komando pasukan diserahkan kepada Khalid bin Walid atas persetujuan dan kesepakatan para sahabat yang lebih senior dalam keislaman. Ketika itu Khalid bin Walid memang baru memeluk Islam. Dengan strategi dan keahliannya memimpin pasukan, ia berhasil lolos dari kepungan pasukan Romawi dan terhindar dari kemusnahan total (terbunuh semua).

Abu Ubaidah Bin Jarrah

Amir bin Abdullah bin Jarrah atau lebih dikenal dengan nama Abu Ubaidah bin Jarrah, termasuk dalam golongan sahabat yang mula-mula memeluk Islam (as sabiqunal awwalun). Dan seperti kebanyakan sahabat yang memeluk Islam pada hari-hari pertama didakwahkan, Abu Bakar mempunyai peran penting dalam mempengaruhi keputusannya itu. Abu Ubaidah mengikuti hijrah ke Habasyah yang ke dua, tetapi tak lama kembali lagi ke Makkah karena ia merasa lebih nyaman berada dekat dengan Nabi SAW, walaupun mungkin jiwanya terancam. Ketika hijrah ke Madinah, Nabi SAW mempersaudarakannya dengan Sa'ad bin Mu'adz.Abu Ubaidah termasuk salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ketika masih hidupnya.

Ketika ia berba'iat memeluk Islam, tiga kata yang tertanam dalam benaknya, "Jihad fi Sabilillah". Semua pertempuran bersama Nabi SAW diikutinya. Diterjuninya perang Badar, yang pada dasarnya merupakan pertempuran melawan sanak kerabatnya sendiri, dan juga sahabat-sahabatnya di masa jahiliah. Semuanya itu menjadi ringan karena jiwanya telah terangkum dalam tiga kata tersebut. Bahkan ada salah satu riwayat, ia membunuh ayahnya sendiri dalam peperangan tersebut. Sebenarnya ia telah berusaha menghindari bentrok dengan ayahnya yang ada di fihak kaum kafir, kalaupun ayahnya harus terbunuh, bukanlah tangannya yang melakukannya. Tetapi ayahnya selalu mengikuti dan mengejarnya sehingga tidak ada pilihan lain selain melakukan perlawanan, sehingga akhirnya ia menewaskannya.

Ia sempat gelisah dengan apa yang dilakukannya, kemudian turunlah surah al Mujadalah ayat 22, yang membenarkan sikapnya, bahkan memuji keimanannya.

Dalam perang Uhud, Nabi SAW sempat mengalami kondisi kritis, diama beliau hanya dilindungi oleh Thalhah dan Sa'd bin Abi Waqqash, sementara pasukan Quraisy mengepung dengan maksud untuk membunuh beliau. Utbah bin Abi Waqqas melempar beliau dengan batu, hingga mengenai lambung dan bibir beliau. Abdullah bin Syihab memukul kening beliau dan akhirnya Abdullah bin Qamiah memukul bahu dan pipi beliau dengan pedang. Beliau memang memakai baju besi, tetapi akibat serangan tersebut, gigi seri beliau pecah, bibir dan kening terluka, bahkan ada dua potong besi dari topibaja yang menancap pada pipi beliau.

Beberapa sahabat berusaha membuka "jalan darah" mendekati posisi Nabi SAW untuk bisa memberikan perlindungan kepada beliau. Abu Bakar dan Abu Ubadiah yang paling cepat tiba, dan saat itu Thalhah telah tersungkur karena luka-lukanya. Tidak berapa lama, beberapa sahabat mulai berkumpul di sekitar Nabi SAW dan mengamankan keadaan beliau, termasuk seorang pahlawan wanita, Ummu Amarah (Nushaibah binti Ka'b al Maziniyah).

Melihat ada besi yang menancap di pipi Nabi SAW, Abu Bakar berniat untuk mencabut besi itu, tetapi Abu Ubaidah berkata kepada Abu Bakar, "Aku bersumpah dengan hakku atas dirimu, biarkanlah aku yang melakukannya…"

Abu Bakarpun membiarkan Abu Ubaidah melakukannya. Tetapi ia tidak mencabut besi itu dengan tangannya karena khawatir akan menyakiti Nabi SAW, ia menggigit besi itu dengan gigi serinya, dan menariknya perlahan. Besi itu terlepas, tetapi tanggal pula gigi Abu Ubaidah dan darahpun mengucur. Masih ada satu potongan besi lagi, karena dilihatnya Abu Ubaidah terluka, Abu Bakar berniat mencabutnya, tetapi sekali Abu Ubaidah berkata, "Aku bersumpah dengan hakku atas dirimu, biarkanlah aku yang melakukannya…"

Kemudian ia melakukannya sekali lagi dengan gigi serinya yang lain, kali inipun giginya tanggal bersama besi yang terlepas dari pipi Rasulullah SAW. Jadilah ia pahlawan besar yang giginya terlihat ompong jika sedang membuka mulutnya. Tetapi Abu Ubaidah justru membanggakan "cacatnya" tersebut, karena itu menjadi peristiwa bersejarah dalam hidupnya bersama Rasulullah SAW. Bahkan ia sangat ingin membawa "ompongnya" tersebut ke hadapan Allah SWT di hari kiamat sebagai hujjah kecintaan kepada Nabi SAW.

Sebelum peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, Nabi SAW pernah mengirim Abu Ubaidah dengan sekitar tigaratus orang anggota pasukan untuk mengintai kafilah dagang Quraisy. Bekal yang diberikan beliau tidak lebih dari sebakul kurma, sehingga setiap orang hanya mendapat jatah segenggam kurma. Ketika perbekalan mereka habis, Abu Ubaidah memerintahkan pasukannya menumbuk daun kayu khabath dengan senjatanya sehingga menjadi tepung dan diolah menjadi roti, dan sebagian lagi makan daun-daunnya. Makanan yang sangat tidak layak sebenarnya, tetapi tidak ada pilihan lain, dan tugas harus tetap dilaksanakan.

Setelah beberapa hari dalam keadaan seperti itu, mereka tiba di pesisir pantai, dan tampak sebuah gundukan besar di sana. Setelah didekati ternyata sebuah ikan besar, sejenis ikan paus yang terdampar. Mereka menggunakan ikan tersebut sebagai bahan makanan selama hampir limabelas hari di sana, sehingga kembali sehat bahkan cenderung lebih gemuk dari sebelumnya. Saat pulang kembali, mereka membawa sisa-sisa daging ikan itu untuk perbekalan di perjalanan.

Ketika sampai di Madinah, Abu Ubaidah menceritakan pengalaman mereka kepada Nabi SAW, dan beliau berkata, “Itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepada kalian. Apakah masih ada sisa dagingnya untuk kami di sini?”

Mereka membagi-bagikan daging ikan yang masih ada tersebut, dan Nabi SAW ikut memakannya. Dan dalam sejarah peristiwa ini dikenal dengan nama "Ekspedisi Daun Khabath".

Pada tahun 9 hijriah, datang utusan dari Najran yang berjumlah enampuluh orang. Najran merupakan suatu wilayah yang luas di Yaman, memiliki seratus ribu prajurit yang bernaung di bawah bendera Nashrani. Sebagian dari utusan ini adalah para bangsawannya sebanyak 24 orang, dan para pemimpin kaum Najran sendiri sebanyak tiga orang. Mereka belum memeluk Islam, tetapi sempat melakukan diskusi dan perdebatan tentang Isa.

Allah menurunkan Surah Ali Imran 59-61, sehingga Nabi SAW menantang mereka untuk "mubahalah" sesuai dengan petunjuk wahyu yang turun tersebut. Tetapi utusan Najran tersebut tidak berani menerima tantangan Nabi SAW tersebut. Sedikit atau banyak ada juga keyakinan mereka bahwa Nabi SAW memang seorang Nabi, hanya saja mereka masih yakin juga akan ketuhanan Isa.

Mubahalah atau disebut juga mula’anah adalah proses di mana dua kelompok saling berdoa kepada Allah (atau Tuhannya masing-masing), yang doa itu diakhiri dengan permintaan kepada Allah (atau Tuhannya masing-masing), jika memang dirinya atau kelompoknya tidak benar, laknat Allah akan turun kepada mereka karena kedustaannya itu. Mungkin proses ini yang di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, diadopsi menjadi prosesi ‘sumpah pocong’, di mana dua orang saling menuduh dan menolak tuduhan, yang masing-masing tidak mempunyai bukti cukup kuat. Dan kedua belah pihak juga tidak bersedia mencabut atau membatalkan tuduhannya tersebut, masing-masing merasa benar sendiri.

Akhirnya, kaum Nashrani dari Najran itu melunak, walaupun belum memeluk Islam, mereka meminta Nabi SAW mengirim seseorang bersama mereka ke Najran untuk lebih memperkenalkan Islam kepada masyarakat mereka. Maka Nabi SAW berkata, "Baiklah, akan saya kirimkan bersama tuan-tuan seseorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya…..!!"

Para sahabat sangat takjub mendengar ucapan Nabi SAW, yakni pujian beliau sebagai orang terpercaya, dan beliau mengulangnya hingga tiga kali untuk menegaskan, siapakah orang tersebut sebenarnya? Setiap sahabat berharap, dia-lah yang ditunjuk oleh Nabi SAW. Bahkan Umar bin Khaththab yang tidak memiliki ambisi untuk memegang suatu jabatan apapun, sangat menginginkan agar dialah yang dimaksud Rasulullah SAW.

Ketika itu waktunya shalat dhuhur, Umar berusaha menampilkan dirinya di dekat Nabi SAW. Namun walau Nabi SAW telah melihat dirinya, beliau masih mencari-cari seseorang. Ketika pandangan beliau jatuh pada Abu Ubaidah, beliau bersabda, "Wahai Abu Ubaidah, pergilah berangkat bersama mereka, dan selesaikan apabila terjadi perselisihan di antara mereka….!"

Inilah dia orang terpercaya itu, dan para sahabat lainnya tidak heran kalau ternyata Abu Ubaidah yang dimaksudkan Nabi SAW. Beberapa kali, dalam beberapa kesempatan berbeda, beliau menyebut Abu Ubaidah sebagai ‘Amiinul Ummah’, orang kepercayaan ummat Islam ini.

Abu Ubaidah-pun menyertai rombongan tersebut kembali ke Najran, sebagaimana diperintahkan Nabi SAW. Sebagian riwayat menyebutkan, dua dari tiga pemimpinnya masuk Islam setelah mereka tiba di Najran, Yakni Al Aqib atau Abdul Masih, pemimpin yang mengendalikan roda pemerintahan, dan As Sayyid atau Al Aiham atau Syurahbil, pemimpin yang mengendalikan masalah peradaban dan politik. Lambat laun Islam menyebar di Najran berkat bimbingan ‘Amiinul Ummah’ ini. Bahkan akhirnya Nabi SAW mengirimkan Ali bin Thalib untuk membantu Abu Ubaidah dalam urusan Shadaqah dan Jizyah dari masyarakat Najran yang makin banyak yang memeluk Islam.

Pada masa khalifah Abu Bakar, ia mengikuti pasukan besar yang dipimpin oleh Khalid bin Walid untuk menghadang pasukan Romawi, yang dikenal dengan nama Perang Yarmuk. Walau ia seorang sahabat besar, senior dan seorang kepercayaan Nabi SAW dan kepercayaan ummat, ia hanyalah seorang prajurit biasa sebagaimana banyak sahabat besar lainnya. Dan tidak ada masalah baginya kalau komandannya adalah Khalid bin Walid, yang baru memeluk Islam setelah perjanjian Hudaibiyah, sebelum terjadinya Fathul Makkah. Padahal sebelumnya ia sangat gencar memerangi kaum muslimin sewaktu masih kafirnya. Bahkan Khalid bin Walid juga yang berperan besar menggagalkan kemenangan pasukan muslim di perang Uhud dan memporak-porandakan kaum muslimin, bahkan hampir mengancam jiwa Nabi SAW. Tetapi itulah gambaran umumkarakter sahabat Nabi SAW yang sebenarnya, termasuk Abu Ubadiah bin Jarrah. Ikhlas berjuang di jalan Allah, tidak karena jabatan, kekuasaan, harta, nama besar, atau bahkan tidak untuk kemenangan itu sendiri. Tetapi semua ikhlas karena Allah dan RasulNya.

Kembali ke perang Yarmuk, ketika pertempuran berlangsung sengit dan kemenangan sudah tampak di depan mata, datanglah utusan dari Madinah menemui Abu Ubaidah membawa dua surat dari khalifah. Pertama mengabarkan tentang kewafatan khalifah Abu Bakar, dan Umar diangkat sebagai khalifah atau penggantinya. Kedua, tentang keputusan khalifah Umar mengangkat Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai komandan seluruh pasukan, menggantikan Khalid bin Walid.

Setelah membaca dua surat tersebut, Abu Ubaidah menyuruh utusan tersebut menyembunyikan diri di tenda sampai pertempuran selesai, ia meneruskan menyerang musuh. Setelah perang usai dan pasukan Romawi dipukul mundur, Abu Ubaidah menghadap Khalidlayaknya seorang prajurit kepada komandannya, dengan hormat dan penuh ta'dhimnya, dan menyerahkan dua surat dari khalifah Umar tersebut. Usai membaca dua surat itu, Khalid ber-istirja' (mengucap Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji’un), dan memberitahukan kepada seluruh pasukan tentang isi dua surat tersebut, kemudian ia menghadap Abu Ubaidah, tak kalah hormat dan ta'dhimnya, dan berkata, "Semoga Allah memberi rahmat anda, wahai Abu Ubaidah, mengapa anda tidak menyampaikan surat ini padaku ketika datangnya..??"

Abu Ubaidah yang cukup mengenal ketulusan dan keikhlasan Khalid dalam berjuang, menjawab dengan santun, "Saya tidak ingin mematahkan ujung tombak anda! Kekuasaan dunia bukanlah tujuan kita, dan bukan pula untuk dunia kita beramal dan berjuang! Tidak masalah dimana posisi kita, kita semua bersaudara karena Allah!!"

Sebagian riwayat menyatakan utusan tersebut menemui Khalid bin Walid, setelah membacanyaia menyuruh utusan bersembunyi sampai perang usai. Setelah kemenangan tercapai, Khalid bin Walid menghadap Abu Ubaidah layaknya seorang prajurit kepada komandannya, dan peristiwa berlangsung penuh ketulusan dan keikhlasan seperti riwayat sebelumnya.

Abu Ubaidah wafat ketika menjabat sebagai gubernur Syam, pada masa khalifah Umar bin Khaththab. Saat itu berjangkit penyakit tha'un (semacam wabah penyakit) yang menyerang dan membunuh beberapa orang sekaligus Ketika wafatnya ini, sahabat Mu'adz bin Jabal berkata khalayak ramai yang turut menghantar jenazahnya, "Sesungguhnya kita sekalian telah kehilangan seseorang yang, Demi Allah, aku menyangka tidak ada oranglain yang lebih sedikit dendamnya, lebih bersih hatinya, dan paling jauh dari perbuatan merusak, lebih cintanya pada kehidupan akhirat, dan lebih banyak memberikan nasehat kecuali Abu Ubaidah ini. Keluarlah kalian untuk menyalatkan jenazahnya, dan mohonkan rahmat Allah untuknya."

Mu'adz memimpin shalat jenazahnya dan turun ke liang lahat bersama Amru bin 'Ash dan Dhahak bin Qais.

Thalhah bin Ubaidillah

Thalhah bin Ubaidillah adalah seorang sahabat nabi berasal dari Quraisy, nama lengkapnya adalah Thalhah bin Abdullah bin Usman bin Kaab bin Said. Thalhah juga termasuk enam konsultan Nabi Muhammad SAW dan sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga.
Lahir: Mekkah, Arab Saudi
Meninggal: 656 M, Basra, Irak
Anak: Um Ishaq bint Talha bin Ubaidallah
Orang tua: Obaidullah bin Osman bin Amr bin Ka'b, Al Sa'ba bint Al Hadrami bin Abda
Cucu: Talha ibn Hasan, Hussein ibn Hasan, Sakinah (Fatima al-Kubra) bint Husayn

Thalhah bin Ubaidillah masih mempunyai garis keturunan yang bersambung dengan Rasulullah SAW, yakni pada Murrah bin Ka’ab, enam atau tujuh generasi di atas beliau. 

Ketika ia sedang berdagang di pasar Bushra, Syam, ada seseorang yang diutus oleh seorang rahib untuk mencari-cari orang yang datang dari tanah haram (Makkah). Thalhah menyatakan dirinya dari Makkah, dan ia diajak menemui rahib yang beragama Nashrani itu di biaranya. 
Sang Rahib bertanya kepadanya, "Apakah Ahmad telah muncul?"
"Siapakah Ahmad?" Thalhah balik bertanya kepada rahib itu.
Rahib itu menjawab "Beliau adalah putra Abdullah bin Abdul Muthalib, bulan ini adalah bulan dimana ia akan muncul sebagai Nabi terakhir. Tempat munculnya adalah tanah haram, dan tempat hijrahnya adalah daerah yang banyak ditumbuhi pohon kurma, banyak batu hitam dan tanahnya sangat asin sehingga jarang ditumbuhi pepohonan. Hendaknya engkau bersegera menyambutnya…!"

Perkataan rahib ini sangat berkesan di hatinya, sehingga ia memutuskan untuk segera pulang ke Makkah. 
Sesampainya di Makkah, ia bertanya kepada orang-orang tentang peristiwa yang baru saja terjadi, mereka berkata, "Muhammad bin Abdullah telah menyatakan dirinya sebagai Nabi, dan Abu Bakar bin Abu Quhafah telah mengikuti ajarannya…"

Thalhah segera menemui Abu Bakar untuk menanyakan kebenaran berita tersebut, dan ia menceritakan apa yang dialaminya dengan Rahib Nashrani di Bushra, Syam. 
Mereka berdua segera menemui Nabi SAW

Ketika ia menceritakan peristiwa dengan Rahib Nashrani di Bushra, Rasulullah SAW sangat gembira atas pembenaran sang Rahib dan makin menguatkan tekad beliau untuk terus mendakwahkan Islam, apapun resikonya. Thalhah sendiri seketika itu memeluk Islam, sesuai dengan yang disarankan oleh sang Rahib tersebut.

Sebagaimana para pemeluk Islam pada masa awal, ia tak terlepas dari penyiksaan dan teror dari para pembesar dan pemimpin kaum Quraisy untuk mengembalikannya ke agama jahiliah, padahal ia seorang hartawan dan terpandang di antara kaumnya. Setelah keislamannya diketahui oleh orang-orang Quraisy, Nufail bin Khuwailid, salah seorang pembesar yang terkenal dengan sebutan ‘Singa Quraisy’ mencari-cari dirinya. 

Mereka bertemu Thalhah sedang berjalan dengan Abu Bakar yang segera saja keduanya ditangkap dan disiksa. Mereka berdua diikat dengan satu tambang, kemudian diancam dan diintimidasi. 
Tetapi mereka tidak berani bertindak terlalu keras dan kejam karena khawatir dengan pembalasan dari kabilahnya Abu Bakar dan Thalhah. 

Setelah berbagai ancaman dilakukan, dari yang halus hingga keras tidak juga berhasil, akhirnya mereka melepaskannya kembali. Karena peristiwa ini, Abu Bakar dan Thalhah disebut sebagai ‘Al Qarinain’, artinya dua setangkai.

Thalhah juga mengalami penyiksaan dari ibunya sendiri, Sha’bah binti Hadramy, saudara dari seorang sahabat Nabi SAW, Ala’ bin Hadramy. Tangan Thalhah diikatkan pada lehernya, kemudian diarak berkeliling di jalan-jalan kota Makkah, diikuti rombongan keluarganya. 
Ibunya mengikuti di belakangnya sambil mencaci maki dirinya. 

Walau disakiti dan dipermalukan oleh orang yang sangat dicintai dan dihormatinya, keyakinan dan keimanannya tidak bergeming. Bagaimanapun juga Allah SWT dan Nabi SAW lebih dicintainya daripada ibu dan sanak keluarganya yang lain.

Thalhah bin Ubaidillah termasuk dalam as sabiqunal awwalin (kelompok yang pertama memeluk Islam), ia juga salah satu dari sepuluh sahabat yang memperoleh berita gembira masuk surga. 

Pada waktu turun surah Al Ahzab ayat 23 :

مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِ‌جَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّـهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُم مَّن قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ‌ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
"Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya), "

Nabi SAW menyapukan pandangannya kepada para sahabat yang berkumpul, ketika menatap pada Thalhah, beliau bersabda, "Siapa yang ingin melihat seseorang yang masih berjalan di muka bumi, tetapi ia telah menyerahkan nyawanya (kepada Allah, maksudnya syahid), hendaklah ia memandang kepada Thalhah…"

Setelah hijrah ke Madinah, Thalhah hampir tidak pernah tertinggal berjuang bersama Rasulullah SAW, kecuali pada Perang Badar. Pada perang ini Thalhah dan Sa'id bin Zaid dikirimkan Nabi SAW untuk tugas mata-mata ke suatu tempat. Namun demikian beliau memasukkannya sebagai Ahlul Badar dan memberi mereka bagian dari ghanimah perang Badar. 

Ada delapan orang sahabat yang tidak secara langsung terlibat dalam perang Badar tetapi Nabi SAW menempatkannya sebagai Ahlu Badar sebagaimana pahlawan Badar lainnya, yang mendapat pujian dalam Al Qur'an. Selain Thalhah dan Sa'id bin Zaid, adalah Utsman bin Affan, Abu Lubabah, Ashim bin Adi, Harits bin Hathib, Harits bin Shimmah dan Khawwat bin Jubair R.Hum.

Seolah ingin menebus ketertinggalannya di perang Badar, Thalhah ingin mencurahkan kemampuan dan semangat perjuangannya di Perang Uhud. 
Pada awal pertempuran, pasukan kafir Quraisy centang-perenang digempur oleh semangat jihad kaum muslimin, termasuk Thalhah, yang tidak mau jauh dari posisi Nabi SAW. 

Peranan 50 pemanah di atas bukit yang dipimpin oleh Abdullah bin Zubair, sangat menentukan sisi pertahanan pasukan muslim. 
Nabi SAW telah berpesan kepada mereka untuk tidak meninggalkan posisi tersebut, menang atau kalah, sampaibeliau sendiri yang memerintahkannya.

Setelah pasukan Quraisy kocar-kacir meninggalkan arena pertempuran dan meninggalkan banyak sekali barang-barangnya, pasukan pemanah ini sebagian besar tergiur untuk mengambil barang rampasan. Ibnu Zubair berteriak mengingatkan akan pesan Nabi SAW, tetapi mereka tidak menggubrisnya. Empat puluh pemanah meninggalkan posnya untuk berebut harta rampasan perang. 

Mengetahui keadaan itu, pasukan berkuda Quraisy yang dipimpin Khalid bin Walid berbalik lagi menaiki bukit, dan sepuluh pemanah yang tertinggal tidak berdaya menghadangnya sehingga mereka syahid semua. 
Pasukan Quraisy lainnya mengikuti jejak Khalid menyerang pasukan muslim. Kondisi jadi berbalik, bahkan posisi Nabi SAW jadi terancam.

Beliau mencoba menghimpun pasukan muslim di sekitarnya, dan hanya tujuh orang Anshar dan dua Muhajirin yang sempat melindungi beliau ketika gelombang pasukan Quraisy mendekati posisi Nabi SAW. 
Satu persatu sahabat Anshar menghadang serangan mereka, sementara dua sahabat Muhajirin pasang badan melindungi Nabi SAW dari serangan yang mengarah pada beliau. Sa'd bin Abi Waqqash menyerbu dengan panahnya dengan gencar, sampai Nabi SAW perlu membantu mengulurkan anak panah kepadanya. 
Sedangkan Thalhah bin Ubaidillah menghadang para penyerang Nabi SAW dengan pedangnya. Kekuatan sangat tidak berimbang, satu persatu sahabat Anshar gugur, bahkan Nabi SAW terluka, padahal beliau memakai baju besi. 
Tinggallah Thalhah dan Sa'd bertahan mati-matian melindungi Nabi SAW agar beliau tidak terkena senjata secara langsung. Namun demikian beliau sempat terjatuh ke dalam lobang dan darah mengucur daripipi dan kening beliau, sehingga penyerang-penyerang tersebut sempat meneriakkan kalau Nabi SAW telah wafat.

Untunglah tidak berapa lama sekelompok sahabat berhasil menerobos kepungan dan berhimpun di sekitar Nabi SAW. Yang pertama sampai adalah Abu Bakar, kemudian Abu Ubaidah bin Jarrah dan menyusul beberapa sahabat lainnya, termasuk seorang sahabat wanita, Ummu Ammarah (Nashibah atau Nushaibah binti Ka'b).
Tetapi pada saat yang sama, Thalhah roboh di hadapan Nabi SAW karena terlalu banyak luka-luka pada tubuhnya. Makin banyak sahabat yang berhasil datang dan melindungi sehingga orang-orang kafir tersebut gagal memenuhi targetnya untuk membunuh Nabi SAW.

Ketika Nabi SAW memerintahkan Abu Bakar dan Abu Ubaidah memeriksa keadaan Thalhah, terdapat tujuh puluh luka-luka sobekan dan tusukan, tetapi nyawanya masih bisa terselamatkan.
Jika Abu Bakar menceritakan saat-saat kritis Nabi SAW di perang Uhud, yang hampir saja beliau terbunuh, ia selalu berkata, "Hari itu keseluruhannya adalah milik Thalhah…."

Thalhah adalah seorang pejuang yang tangguh di medan-medan pertempuran yang diterjuninya, tetapi ia juga seorang pengusaha yang trampil dan bertangan dingin, sehingga harta dari hasil perniagaannya melimpah ruah. 
Bakat dagang ini telah dimilikinya sejak masa jahiliah. Seolah telah disiapkan untuk jadi ahlul jannah, kekayaan yang dikumpulkannya lebih banyak digunakan untuk membantu orang-orang yang memerlukannya. 
Sejak lama ia dikenal sebagai "Thalhah al Khair (Thalhah yang baik hati)" atau juga "Thalhah al Jud (Thalhah si Penyantun)".

Ketika di Madinah, ia pernah terlihat begitu sedih dan berduka. Istrinya, Su'da bin Auf RA menanyakan sebab kesedihannya tersebut, maka Thalhah berkata, 
"Soal harta yang kita miliki ini, semakin hari semakin banyak saja, sehingga menyusahkan dan menyempitkan hatiku…."

Karena istrinya juga didikan Islam yang dipenuhi keimanan, ia berkata, "Bagi-bagikan sajalah kepada kaum muslimin yang memerlukannya!!"

Thalhah bangkit berdiri dan memanggil orang-orang untuk berkumpul di rumahnya, dan membagikan hartanya kepada mereka sehingga tidak tersisa, walaupun hanya satu dirham.

Pernah juga ia berhasil menjual tanahnya dengan harga tinggi sehingga harta bertumpuk di rumahnya, maka mengalirlah air matanya, dan ia berkata, "Sungguh, jika seseorang 'dibebani' bermalam dengan harta sebanyak ini dan tidak tahu apa yang akan terjadi, pastilah akan mengganggu ketentraman ibadahnya kepada Allah…!"

Malam itu juga ia memanggil beberapa sahabatnya dan membawa harta tersebut berkeliling di jalan-jalan di kota Madinah untuk membagikan kepada yang memerlukan. 
Sampai fajar tiba belum habis juga, dan diteruskan setelah shalat subuh hingga menjelang siang. Ia baru merasa lega setelah tidak tersisa lagi walau hanya satu dirham.

Berlalulah waktu, Rasulullah SAW wafat dan digantikan Abu Bakar, Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar Bin Khaththab. Selama itu irama hidupnya tidak banyak berbeda, memanggul senjata untuk menegakkan panji Islam atau menjalankan perniagaannya. Selama itu pula ia terus menunggu kapan penantiannya akan berakhir? Kapan "syahid" yang berjalan di muka bumi (yakni dirinya, sebagaimana disebut Nabi SAW)akan menjadi benar-benar syahid?

Thalhah akhirnya menemui syahidnya di perang Jamal di masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Ironinya, dalam peperangan tersebut ia bersama Zubair bin Awwam dan Ummil Mukminin Aisyah memimpin pasukan dari Bashrah untuk melakukan perlawanan kepada Ali bin Abi Thalib, dengan dalih menuntut balas kematian Utsman. Padahal beberapa waktu sebelumnya mereka ikut memba'iat Ali sebagai khalifah. Inilah memang dahsyatnya bahaya fitnah, sehingga orang-orang terpilih di masa Rasulullah SAW saling berperang satu sama lainnya.

Ada perbedaan pendapat tentang syahidnya Thalhah. Satu riwayat menyebutkan, ketika pertempuran mulai berlangsung dan dari kedua pihak berjatuhan korban tewas, 
Ali menangis dan menghentikan pertempuran, padahal saat itu posisinya dalam keadaan menang. Ali meminta kehadiran Thalhah dan Zubair untuk melakukan islah. 
Ali mengingatkan Thalhah dan Zubair berbagai hal ketika bersama Rasulullah SAW, termasuk ramalan-ramalan beliau tentang mereka bertiga. 
Thalhah dan Zubair menangis mendengar penjabaran Ali dan seolah diingatkan akan masa-masa indah bersama Rasulullah SAW. Apalagi saat itu mereka melihat Ammar bin Yasir ikut bergabung dalam pasukan Ali
Masih jelas terngiang di telinga mereka sabda Nabi SAW ketika kerja bakti membangun masjid Nabawi, "Aduhai Ibnu Sumayyah (yakni, Ammar bin Yasir), ia akan terbunuh oleh kaum pendurhaka…..!!"

Kalau terus memaksakan pertempuran ini, jangan-jangan mereka menjadi "kaum pendurhaka" tersebut. 
Thalhah dan Zubair memutuskan menghentikan pertempuran dan ia menyarungkan senjatanya, kemudianberbalik menemui pasukannya. 
Tetapi ada anggota pasukan yang tidak puas dengan keputusan ini dan merekamemanah dan menyerang keduanya hingga tewas. Sebagian riwayat menyebutkan penyerangnya dari pasukan Ali, riwayat lain dari pasukan Bashrah sendiri.
Sedangkan riwayat lain menyebutkan, pertempuran berlangsung seru dan pasukan Bashrah dikalahkan oleh pasukan Ali, Thalhah dan Zubair bin Awwam gugur menemui syahidnya.


Sa’ad bin Abi Waqqash

Sa’ad bin Abi Waqqash (wafat 55 h)
Nama lengkapnya adalah Sa’ad bin Abi Waqqash bin Uhaib Az-Zuhri dengan julukan “Abu Ishaq”, 
Sa'd bin Malik az Zuhri, atau lebih dikenal sebagai Sa'd bin Abi Waqqash ini masih termasuk paman Nabi SAW, tetapi usianya jauh lebih muda daripada beliau. 
Ia memeluk Islam ketika berusia 17 tahun, dan termasuk as sabiqunal awwalun. Sebagian riwayat menyatakan ia orang ke tiga, ke empat atau ke tujuh dari kalangan lelaki remaja/dewasa, yang jelas ia memeluk Islam melalui tangan Abu Bakar.
Ia adalah salah seorang diantara sepuluh orang sahabat yang mendapat kabar gembira bakal masuk surga, dan orang yang pertama dalam melontarkan panah dalam perang Sabillillah.
 
Sa’ad bin Abi Waqqash mengikuti banyak peperangan bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, dalam peperangan itu ia bergabung dalam pasukan berkuda. Ia berasal dari bani Zuhrah seasal dengan ibu Nabi (Aminah).
 
Khilafah Umar bin Khaththab mengangkatnya menjadi komandan pasukan yang dikirimkan untuk memerangi orang Persia dan berhasil mengalahkannya pada tahun 15 H di Qadisiyah. 
 Setahun setelahnya 16 H di Julailak ia menaklukan Madain dan Bani al-Kuffa pada tahun 17 H.
 
Sa’ad bin Abi Waqqash adalah penguasa Irak dimasa pemerintahan Umar bin Khaththab yang berlanjut pada masa pemerintahan Utsman bi Affan. 
Ia adalah seorang diantara enam sahabat orang yang dicalonkan menjadi Khalifah, sejak bencana besar atas terbunuhnya Utsman.
Sa’ad bin Abi Waqqash meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar dan Khaulah binti Hakim.

Yang meriwayatkan hadits darinya adalah Mujahid, Alqamah bin Qais as sa’ib bin Yazid, Sanad paling shahih berpangkal darinya adalah yang diriwayatkan oleh Ali bin Husain bin Ali, dari Sa’id bin al-Musayyab, darinya (Sa’ad bin Abi Waqqash).
Ia wafat pada tahu 55 H di Aqiq.
Disalin dari Biografi Sa’ad dalam Thadzib at Thadzib karya Ibn Hajar Asqalani 3/483 dan Shifaf at Shafwah karya Ibn Jauzi 1/138

Hidayah itu datang berawal dari sebuah mimpi. Sa’d bermimpi matahari tidak muncul lagi sehingga dunia diliputi kegelapan. Tidak ada lagi bedanya siang dan malam. 
Tetapi kemudian muncul seberkas cahaya, yang di antara cahaya tersebut ada wajah-wajah yang dikenalinya, Abu Bakar, Zaid bin Haritsah dan Ali bin Abi Thalib. 
Ia bertanya, "Kapan kalian datang, tiba-tiba saja sudah ada di sini?"
Mereka berkata, "Ya saat ini kami datang…."

Setelah itu mereka lenyap dan Sa'd terbangun dari mimpinya. Ia gelisah memikirkan mimpinya sehingga fajar menjelang. Pagi harinya ia berangkat ke tempat pekerjaannya seperti biasa, tetapi tidak ada kegairahan kerja seperti hari-hari sebelumnya. 
Dalam keadaan yang demikian, Abu Bakar muncul. Mereka berbincang-bincang dan Abu Bakar menceritakan tentang risalah yang dibawa Nabi SAW, 
Abu Bakar mengajaknya untuk memeluk Islam seperti dirinya. Tiba-tiba saja suasana hatinya berubah menjadi cerah, seperti suasana mimpinya ketika berkas cahaya muncul menyibak kegelapan tanpa matahari. 
Tanpa pikir panjang ia menerima ajakan Abu Bakar, mereka berdua berjalan menuju tempat Nabi SAW, dan Sa'd berba'iat memeluk Islam.

Ketika diketahui Sa'd bin Abi Waqqash masuk Islam, ibunya sangat tidak menyetujuinya, padahal Sa'd orang yang sangat menghormati dan menyantuni ibunya. Sang ibu menyuruh Sa'd untuk meninggalkan Islam, dan mengancam, "Wahai Sa'd, agama apa yang kamu peluk itu? Sekarang kau harus pilih, kau kembali ke agama nenek moyangmu, atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati karena perbuatanmu itu?"
Sa'd hanya berkata, "Jangan kau lakukan itu wahai Ibu, tetapi aku tidak akan meninggalkan agamaku ini."
Ibunya pun melaksanakan ancamannya, ia tidak makan dan minum. 
Hingga hari ketiga, ketika keadaan ibunya sudah sangat payah dan mengkhawatirkan, Orang-orang menjemput Sa'd dan menghadapkan pada ibunya. Sa'd akhirnya berkata, "Demi Allah, jika ibu mempunyai seribu nyawa, dan keluar satu persatu, aku tidak akan meninggalkan agama Islam ini."

Melihat tekad anaknya yang begitu kuat, tidak bisa ditawar-tawar lagi, akhirnya sang ibu mengalah dan makan minum lagi seperti biasanya, dan Sa'd pun tetap dengan baik bergaul dengan ibunya, walau tetap dalam agama jahiliahnya. Sebagian riwayat menyebutkan, peristiwa Sa'd dengan ibunya ini menjadi asbabun nuzul dari Surah Luqman ayat 14-15, tentang bagaimana bergaul dengan orang tua.

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ‌ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. 
[31: Luqman:14]

جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَن تُشْرِ‌كَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُ‌وفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْ‌جِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. 
[31: Luqman:15]
   
Nabi SAW pernah menyatakan ada sepuluh sahabat yang dijamin pasti masuk surga, ketika mereka masih hidup. 
Selain empat sahabat Khulafaur Rasyidin, mereka adalah Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'id bin Zaid, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Jarrah dan tentunya Sa'd bin Abi Waqqash sendiri. 

Ia memang tidak pernah tertinggal berjuang bersama Nabi SAW, bahkan ia adalah orang Arab pertama yang memanah di jalan Allah. Ia pernah bersama Rasulullah dalam suatu pasukan tanpa bahan makanan yang mencukupi, kecuali hanya daun-daun pohon hublah dan pohon samurah. Akibatnya ada beberapa anggota pasukan yang kotorannya seperti kotorankambing karena sangat keringnya.

Suatu ketika Nabi SAW merasa begitu senang dan berkenan dengan perilaku Sa'd, beliaupun berdoa,"Ya Allah, tepatkanlah panahnya, dan kabulkanlah doanya."

Sejak saat itu, panah Sa'd merupakan senjata andalan dan sangat ditakuti oleh musuh. Siapapun yang menjadi sasaran panahnya, ia tidak akan lolos dan selamat lagi. Begitu juga dengan doanya, apapun yang dipanjatkannya seolah tak ada penghalang antara dirinya dengan Allah SWT.

Pernah suatu ketika ada seseorang yang memaki Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Sa'd menasehatinya untuk menghentikan perbuatannya tersebut, tetapi orang tersebut masih terus saja memaki tiga orang sahabat utama tersebut. Sa'd pun mengancam akan mendoakan kepada Allah, tetapi dengan sinis ia berkata kepada Sa'd, "Kamu menakut-nakuti aku seolah engkau seorang Nabi saja….!"

Sa'd pun akhirnya pergi ke masjid, ia berwudhu dan shalat dua rakaat, kemudian berdoa, "Ya Allah, kiranya menurut ilmu-MU, orang ini telah memaki sekelompok orang yang telah memperoleh kebaikan dari Engkau, dan sekiranya sikapnya tersebut mengundang kemurkaan-MU, aku mohon Engkau tunjukkan suatu pertanda yang akan menjadi pelajaran bagi yang lainnya…."

Tidak lama kemudian, ada seekor unta yang menjadi liar masuk kerumunan orang. Anehnya ia seolah-olah mencari seseorang, dan ketika ditemukan lelaki yang memaki tiga sahabat tersebut, ia menerjang, menyepak dan menginjak-injak lelaki tersebut hingga tewas.

Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, Sa'd bin Abi Waqqash dipilih memimpin sebuah pasukan untuk memerangi tentara Persia di bawah pimpinan Rustum. 
Pertempuran yang disebut dengan Perang Qadisiah ini sebenarnya tidak berimbang, tentara muslim hanya 30.000 sedang tentara Persia sebanyak 100.000 orang. Riwayat lain menyebutkan 120.000 orang. Namun demikian tidak ada kegentaran pada diri Sa'd.

Sebelum pertempuran dimulai, Rustum meminta agar mengirim utusan untuk melakukan pembicaraan atau negosiasi. Maka Sa'd mengirim Rib'i bin Amir. Esoknya Rustum masih meminta lagi, dikirimlah Huzaifah bin Mihsan. Dan ketiga kalinya, Sa'd mengirim Mughirah bin Syu'bah. 

Tiga kali pembicaraan ini menemui jalan buntu, karena bagi pasukan muslim, mereka hanya punya tiga pilihan seperti diperintahkan Nabi SAW, pertama agar mereka memeluk Islam, atau mereka tunduk kepada Madinah (Islam) walau tidak menerima Islam, tetapi harus membayar jizyah (pajak), atau pilihan terakhir perang.

Peperangan yang akhirnya terjadi, karena Rustum tidak mau memilih opsi pertama atau kedua. Ia merasa bisa dengan mudah mengalahkan pasukan muslim yang hanya sepertiga atau seperempatnya saja. 
Tetapi tepat ketika perang akan dimulai, Sa'd mengalami sakit bisul pada sekujur tubuhnya sehingga ia tidak bisa menaiki kuda. Karena itu ia memimpin pasukan dari tenda komandonya. Tetapi riwayat lain menyebutkan, ia menunjuk Khalid bin Arfathah untuk memimpin pasukan. Namun demikian pasukan muslim bisa memporak-porandakan pasukan Rustum yang jauh lebih besar. 
Mereka lari mengundurkan diri ke Nawahand, dan kemudian mundur lagi ke Madain, ibukota Persia karena pasukan muslim terus mengejar mereka.

Setelah berlalu dua tahun, Khalifah Umar memerintahkan Sa'd untuk menyerang Madain. Walaupun kota Madain dipisahkan dengan sungai Tigris, pasukan muslim mampu menyeberangi sungai tersebut dengan strategi yang tepat. 
Pertama Sa'd mengirim dua kelompok pasukan yang dipimpin Ashim bin Amr dan Qa'qa' bin Amr menyeberang terlebih dahulu, dan mengamankan posisi di seberang. Baru setelah itu pasukan utama menyeberang,gelombang demi gelombang. Salman al Farisi yang aslinya berbangsa Persia sampai takjub tak percaya mereka mampu menyeberangi sungai Tigris dengan kuda-kudanya, seolah di daratan saja.

Sa'd, dengan doa makbulnya, hanya memerintahkan anggota pasukannya untuk berdzikir, "Hasbunallah wa nikmal wakil," sepanjang mereka menyeberangi sungai Tigris, sehingga tidak seorangpun yang celaka, bahkan juga tidak satu barangpun yang hilang terbawa arus air sungai. Akhirnya Madain ditaklukkan, dan runtuhlah simbol kekuasaanpenyembah api yang telah ratusan atau ribuan tahun bertahan.


Mu’adz bin Jabal Ra


Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu (Wafat 18 H)
Muadz bin Jabal bin Amr bin Aus al-Khazraji, dengan nama julukan “Abu Abdurahman”, dilahirkan di Madinah. 
Ia memeluk Islam pada usia 18 tahun, Ia mempunyai keistimewaan sebagai seorang yang sangat pintar dan berdedikasi tinggi. 
Dari segi fisik, ia gagah dan perkasa. Allah juga mengaruniakan kepadanya kepandaian berbahasa serta tutur kata yang indah, 

Muadz termasuk di dalam rombongan yang berjumlah sekitar 72 orang Madinah yang datang berbai’at kepada Rasulullah. 
Setelah itu Muadz kembali ke Madinah sebagai seorang pendakwah Islam di dalam masyarakat Madinah. 
Ia berhasil mengislamkan beberapa orang sahabat yang terkemuka seperti Amru bin Al-Jamuh dan yang lainnya.
Pada waktu Nabi Muhammad berhijrah ke Madinah, Muaz senantiasa berada bersama dengan Rasulullah sehingga ia dapat memahami Al-Qur’an dan syariat-syariat Islam dengan baik. 
Hal tersebut membuatnya di kemudian hari muncul sebagai seorang yang paling ahli tentang Al-Qur’an dari kalangan para sahabat. 
Ia adalah orang yang paling baik membaca Al-Qur’an serta paling memahami syariat-syariat Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah memujinya dengan bersabda, 
“Yang kumaksud umatku yang paling alim tentang halal dan haram ialah Muaz bin Jabal.” 
(Hadist Tirmidzi dan Ibnu Majah). 

Ia meriwayatkan hadist dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar dan meriwayatkan darinya ialah Anas bin Malik, Masruq, Abu Thufail Amir bin Wasilah. 
Selain itu, Muadz merupakan salah satu dari enam orang yang mengumpulkan Al-Qur’an pada zaman Rasulullah.
Setelah kota Makkah ditaklukkan oleh Rasulullah dan menjadi penduduk beragama Islam, penduduk Makkah memerlukan tenaga-tenaga pengajar yang tetap tinggal bersama mereka untuk mengajarkan syariat agama Islam. 
Rasulullah lantas menyanggupi permintaan tersebut dan meminta supaya Muaz tinggal bersama dengan penduduk Makkah untuk mengajar Al-Qur’an dan memberikan pemahaman kepada mereka mengenai agama Allah. 

Sifat terpuji beliau juga jelas terlihat manakala rombongan raja-raja Yaman datang menjumpai Rasulullah guna meng-isytihar-kan keislaman mereka dan meminta kepada Rasulullah supaya mengantarkan tenaga pengajar kepada mereka. 
Begitu juga Rasulullah memilih Muaz untuk memegang tugas itu bersama-sama dengan beberapa orang para sahabat.
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam mempersaudarakanya dengan Abdullah bin Mas’ud. Nabi mengirimnya ke negeri Yaman untuk mengajar, memberikan pengetahuan agama dan mendidik sampai hapal al-Quran kepada penduduk Yaman. 

Rasulullah mengantarnya dengan berjalan kaki sedangkan Mu’adz berkendaraan, dan Nabi bersabda kepadanya: ” Sungguh, aku mencintaimu“.
Lantas beliau mewasiatkan kepada Muadz dengan bersabda : “Wahai Muadz! Kemungkinan kamu tidak akan dapat bertemu lagi dengan aku selepas tahun ini“, 
Kemudian Muadz menangis karena terlalu sedih untuk berpisah dengan Rasulullah Shallalahu alaihi wassalam. 

Selepas peristiwa tersebut ternyata Rasulullah wafat dan Muadz tidak lagi dapat melihatnya.
Muadz sangat terpukul atas berpulangnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Ia bahkan menangis tersedu-sedu selama beberapa saat. 
Namun ia segera menyadari tanggung jawab dakwah di pundaknya. Ia senantiasa menjaga ghirah (semangat) keislamannya agar tidak surut. 

Setelah Umar bin Khattab dilantik menjadi khalifah, ia mengutus Muaz untuk mendamaikan pertikaian yang terjadi di kalangan Bani Kilab. Ia pun sukses menjalankan misi itu.
Pada zaman pemerintahan Khalifah Umar pula, gubernur Syam (sekarang Mesir) mengirimkan Yazid bin Abi Sofian untuk meminta guru bagi penduduknya. Lalu Umar memanggil Muaz bin Jabal, Ubaidah bin As-Somit, Abu Ayub Al-Ansary, Ubai bin Kaab dan Abu Darda’ dalam satu majelis. 
Khalifah Umar berkata kepada mereka : 
Sesungguhnya saudara kamu di negeri Syam telah meminta bantuan daripada aku supaya mengantar siapa saja yang dapat mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka dan memberikan pemahaman kepada mereka tentang agama Islam. Oleh karena itu bantulah aku untuk mendapat tiga orang dari kalangan kamu semoga Allah merahmati kamu. Sekiranya kamu ingin membuat pengundian, kamu boleh membuat undian, jika tidak aku akan melantik tiga orang dari kalangan kamu.
Lalu mereka menjawab : “Kami tidak akan membuat pengundian dengan memandang bahwa Abu Ayub telah terlalu tua, sedang Ubai pun senantiasa mengalami kesakitan, dan yang tinggal hanya kami bertiga saja.” 
Kemudian Umar berkata kepada mereka : 
Kalian mulailah bertugas di Hims, sekiranya kamu suka dengan keadaan penduduknya, bolehlah salah seorang diantara kamu tinggal di sana. Kemudian salah seorang daripada kamu hendaknya pergi ke Damsyik, dan seorang lagi pergi ke Palestina.

Lalu mereka bertiga keluar ke Hims dan mereka meninggalkan Ubaidah bin As-Somit di sana, Abu Darda’ pergi ke Damsyik. Muaz bin Jabal terus berlalu pergi ke negara Urdun. 
Muaz bin Jabal berada di Urdun pada saat negeri tersebut tengah terserang wabah penyakit menular.
Mu’adz bin Jabal wafat tahun 18 H ketika terjadi wabah hebat di Urdun tersebut, waktu itu usianya 33 tahun.
Disalin dari Biografi Mu’adz dalam Al-Ishabah no.8039 karya Ibn Hajar Asqalani dan Thabaqat Ibn Sa’ad 3/Q2,120

Jafar Bin Abu Thalib Radliyallahu anhu

Ja'far bin Abu Thalib masih saudara sepupu Rasulullah SAW, putra dari Abu Thalib, paman yang mengasuh beliau dari kecil, dan menjadi pelindung Nabi SAW dan dakwah Islamiah ketika masih di Makkah, walaupun akhirnya  Abu Thalib meninggal dalam kekafiran. 

Nabi SAW sangat menyayangi Ja’far karena ia termasuk sahabat yang paling mirip dengan beliau. Beliau sendiri pernah bersabda kepadanya, “Engkau adalah yang paling mirip dengan akhlak dan rupaku!!”
Ja’far dan istrinya, Amma binti Umais memeluk Islam pada masa-masa awal di Makkah. Tak pelak lagi mereka mendapat tekanan dan siksaan dari para pembesar kafir Quraisy. 
Memang tidak seberat dialami para budak seperti Bilal, Ammar bin Yasir, Khabbat bin Aratt dan beberapa lainnya. 
Tetapi kehidupan mereka di tanah kelahirannya sendiri menjadi tidak nyaman dan tidak bisa bebas melaksanakan ajaran agama barunya tersebut. Karena itu, ketika Nabi SAW menghimbau sahabat-sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia), 
Ja'far dan istrinya segera menyambut seruan tersebut. Bahkan Nabi SAW mengangkatnya sebagai pimpinan rombongan Muhajirin pertama ini.

Kaum kafir Quraisy merasa kecolongan karena beberapa orang muslim (sebanyak 83 lelaki dan 18/19 perempuan) lolos dari pengawasan mereka, dan berhasil hijrah ke Habasyah. Tetapi mereka tidak berdiam diri begitu saja, mereka berupaya keras bagaimana bisa mengembalikan mereka ke Makkah. 

Dikirimlah dua orang ahli diplomasi, Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah. untuk mempengaruhi Najasyi agar bersedia mengembalikan kaum muhajirin tersebut ke Makkah. Mereka menyiapkan berbagai macam hadiah dan bingkisan untuk memuluskan rencana tersebut. 

Setibanya di Habasyah, Amr bin Ash menemui para uskup terlebih dahulu dan memberikan berbagai hadiah, dengan harapan mereka memberikan dukungan kepadanya.

Tiba waktu yang ditentukan, Amr bin Ash dan Ibnu Abi Rabiah menyampaikan hadiah dan bingkisan yang disiapkan untuk Najasyi, Raja Habasyah, kemudian menyampaikan maksud kedatangannya dengan gaya diplomasi yang manis dan memikat. 
Para uskuppun ikut berbicara, "Benar apa yang dikatakan mereka berdua, wahai Baginda Raja. Serahkan saja mereka kepada keduanya agar mereka bisa dikembalikan ke negerinya dan kepada kaum kerabatnya."

Tetapi Ashamah an Najasyi adalah seorang raja yang adil, berilmu dan beriman kuat (pada agama Nashrani yang dipeluknya) dan berakhlak mulia, persis seperti yang digambarkan Nabi SAW kepada para sahabat yang akan berhijrah ke Habasyah. Ia tidak akan mengambil keputusan apapun hanya berdasarkan apa yang disampaikan oleh Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah. Karena itu ia memerintahkan agar rombongan muhajirin tersebut dibawa menghadap kepadanya.

Kaum muslimin pun mendatangi majelis Najasyi dengan hati was-was. Mereka memang telah mengetahui kehadiran dua utusan Quraisy dan sepak terjangnya dalam upaya mengembalikan mereka ke Makkah. Merekapun menunjuk Ja'far bin Abu Thalib sebagai juru bicara menghadapi Najasyi. 

Setibanya di majelis itu, Najasyi berkata, "Agama seperti apakah yang kalian pegangi itu, sehingga karena agama tersebut kalian memecah belah kaum kalian, dan kalian tidak juga memeluk agama kami atau agama lainnya yang kami kenali??"

Sebagai juru bicara kaum muhajirin yang ditunjuk, Ja'far maju menghadap ke Najasyi. Apa yang dikatakannya akan menjadi penentu, apakah mereka akan tetap tinggal di Habasyah dan dengan tenang bisa melaksanakan ibadah, atau apakah mereka akan kembali ke Makkah dan menjadi sasaran siksaan dan pengejaran untuk memaksa mereka kembali ke agama jahiliahnya?

Ja'far berkata, "Wahai Tuan Raja, dulu kami pemeluk agama jahiliah yang menyembah berhala-berhala, memakan bangkai, berbuat mesum, yang kuat menindas yang lemah, memutuskan tali persaudaraan dan berbagai pekerti buruk lainnya. Lalu Allah mengutus seorang rasul dari kalangan kami sendiri, yang sangat kami kenali nasab, kejujuran, amanah dan kesucian hatinya. Beliau menyeru kami untuk hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukannya. Beliau juga memerintahkan kami untuk berbuat jujur, amanah….."

Ja'far-pun menyebutkan berbagai macam perintah Islam yang harus dilaksanakan dan juga larangan-larangan yang harus ditinggalkan. Kemudian ia meneruskan, "….Tetapi kaum kami memusuhi kami, menyiksa dan menimbulkan berbagai cobaan dengan tujuan mengembalikan kami kepada penyembahan berhala dan menghalalkan berbagai macam keburukan seperti dahulu. Mereka menekan dan mempersempit ruang gerak kami, menghalangi kami dari melaksanakan ajaran agama kami sehingga Nabi SAW kami memerintahkan kami pergi ke negeri tuan, dan memilih tuan daripada orang lainnya…!! Kami gembira mendapat perlindungan tuan, dan kami berharap agar kami tidak didzalimi di sisi tuan, Wahai tuan Raja!!"

Najasyi terdiam beberapa saat, merenungi penjelasan Ja'far yang panjang lebar tersebut. Kemudian ia berkata, "Apakah kalian bisa membacakan sedikit dari ajaran kalian kepadaku??"
"Bisa, tuan Raja, " Kata Ja'far.
Kemudian ia membacakan beberapa ayat-ayat awal dari Surah Maryam. Najasyi dan beberapa orang uskup dengan ta'dhim mendengar bacaan Ja'far, tanpa terasa mereka berurai air mata sehingga membasahi jenggotnya.
"Cukup," Kata Najasyi, "Sesungguhnya ini dan apa yang dibawa Isa benar-benar keluar dari misykat yang sama…"
Misykat adalah lubang di tembok tempat menaruh lampu, yang dari tempat itu cahaya menerangi seluruh ruangan. Dengan perkataannya itu berarti Najasyi mengakui bahwa Islam adalah agama wahyu, sebagaimana agama Nashrani yang dipeluknya.

Kemudian Najasyi berpaling kepada dua utusan Quraisy tersebut dan berkata, "Pergilah kalian! Sungguh aku tidak akan pernah menyerahkan mereka kepada kalian, tidak akan pernah !!"
Tak ada pilihan bagi keduanya kecuali pergi dari hadapan Najasyi. Tetapi Amr bin Ash sempat berkata pelan, "Demi Allah, besok aku akan mendatangkan mereka lagi dengan sesuatu yang bisa membinasakan mereka."
"Jangan lakukan itu," Kata Ibnu Abi Rabiah, "Bagaimanapun mereka masih kerabat kita walaupun mereka menentang kita…!!"
Tetapi Amr bin Ash tidak memperdulikan saran temannya tersebut. Esoknya ia menghadap Najasyi dan berkata, "Wahai tuan Raja, sesungguhnya mereka menyampaikan perkataan yang menyalahi Tuan dalam masalah Isa bin Maryam!!"

Sekali lagi Najasyi mengirim utusan memanggil kaum muhajirin tersebut untuk menjelaskan masalah Isa.Mereka menjadi kaget dan risau, bagaimanapun juga mengenai Isa bin Maryam menjadi masalah yang krusial karena jelas-jelas Islam menolak ketuhanan Isa bin Maryam. Sempat terpikir untuk mencari jawaban yang bisa menyenangkan Najasyi, tetapi akhirnya semua ditepiskan, tidaklah mereka akan mengatakan sesuatu kecuali kebenaran semata.

Ketika mereka dihadapkan dan Najasyi menanyakan hal tersebut, Ja'far berkata diplomatis, "Mengenai Isa bin Maryam, kami katakan seperti apa yang dinyatakan oleh Nabi SAW kami, bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, Roh-Nya dan Kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, sang Perawan Suci…"
Sebenarnya sama saja dan juga lebih mudah kalau dikatakan, "Isa bin Maryam bukan Tuhan". Tetapi itu akan langsung menghantam keyakinan Raja dan para pengikutnya. Di sinilah tampak kemampuan diplomatis yang dimiliki Ja'far bin Abu Thalib. Mereka telah siap dan pasrah atas keputusan dan kemarahan Raja Najasyi. 
Tetapi reaksi yang terjadi jauh di luar dugaan. Tiba-tiba Najasyi turun dari tahtanya, ia mengambil sepotong ranting yang ada di tanah dan berkata, "Demi Allah, Isa bin Maryam tidak melebihi apa yang kamu katakan, walaupun hanya sepanjang ranting ini. Kalian aman di sini, jika ada orang yang menghina dan mencerca kalian, dia akan menanggung denda. Aku tidak suka seandainya memiliki gunung emas, sedangkan aku menyakiti salah satu dari kalian."

Sebagian pembesar dan panglimanya tampak tidak senang dengan perkataan Najasyi, mereka mendengus marah. Najasyipun berkata, "Aku tidak perduli jika kalian marah, kembalikan hadiah yang diberikan oleh kedua orang itu (utusan Quraisy), Demi Allah, Allah tidak menerima suap dariku ketika Dia memberikan amanat kerajaan ini, karena itu aku tidak perlu menerima suap dalam urusan-Nya. Tidak juga Allah menuruti kemauan orang banyak dalam urusanku, sehingga aku tidak perlu menuruti kemauan kalian dalam urusanNya."

Dengan terpaksa mereka mengembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada dua utusan Quraisy, dan keduanya keluar dari majelis Najasyi dengan terhina.

Ja'far dan para muhajirin lainnya tetap tinggal di Habasyah sampai datang perintah Nabi SAW agar mereka segera berhijrah lagi ke Madinah, itu terjadi di bulan Dzulhijjah 6 H, atau Muharam 7 H. Tetapi sebelum mereka meninggalkan bumi Habasyah, Raja an Najasyi menyatakan dirinya memeluk Islam, sesuai dengan seruan Nabi SAW, di hadapan Ja’far bin Abu Thalib. Pada saat yang sama, Najasyi juga mengadakan ‘pesta’ pernikahan Nabi SAW dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Ia juga memberikan hadian dan perbekalan yang cukup melimpah kepada kaum muhajirin yang dipimpin Ja’far ini.

Dalam perjalanan hijrah ke Madinah ini mereka bersama-sama dengan Abu Musa al Asy'ari dan kaumnya, Asy'ariyyin yang berasal dari Yaman. Kaum Asy'ariyyin ini sebenarnya ingin menyertai Nabi SAW dan pasukan muslim lainnya yang akan menyerang kaum Yahudi di benteng Khaibar, tetapi perahu mereka mengalami kerusakan dan terdampar di Habasyah beberapa hari lamanya.

Rombongan muhajirin ini bertemu dengan Nabi SAW yang baru pulang dari perang Khaibar, Nabi SAW langsung memeluk Ja'far dengan hangat dan berkata, "Aku tidak tahu, mana yang lebih menggembirakan aku, dibebaskannya Khaibar atau kembalinya Ja'far…!!"
Setelah itu Nabi SAW memberikan bagian ghanimah Perang Khaibar mereka semua.

Di Madinah, Ja’far berkumpul lagi dengan banyak sahabat dan kerabatnya yang memeluk Islam, termasuk kaum Anshar yang baru dikenalinya saat itu. Ada senang dan haru, tetapi juga ada sedih, karena sebagian dari mereka telah syahid di medan perang Badar, Uhud dan peperangan lainnya. Tiba-tiba saja muncul gairah dan kerinduan ketika mengenang mereka, gairah untuk menerjuni medan perjuangan dan syahid menyusul mereka, "Kapankah aku bisa berbuat demikian pula…??" Begitu angan-angannya.

Beberapa pertempuran kecil dan beberapa pengiriman pasukan setelah Perang Khaibar dan Umrah Qadha' belum bisa menutupi dan memuaskan gairah Ja'far untuk berjuang di jalan Allah, sampai tibanya Perang Mu'tah.

Pada perang Mu'tah, Nabi SAW menetapkan bahwa pimpinan pasukan adalah Zaid bin Haritsah, jika gugur digantikan oleh Ja'far bin Abu Thalib, dan jika ia gugur juga digantikan oleh Abdullah bin Rawahah. 
Dari apa yang dipesankan oleh Nabi SAW tersebut, Ja'far yakin betul bahwa kegairahan dan kerinduannya akan terpuaskan dalam pertempuran ini, karena beliau telah menunjuk penggantinya. Artinya, kerinduannya untuk menjadi syahid sebagaimana banyak sahabat dan kerabat lainnya pasti menjadi kenyataan. Semangatnya pun jadi makin menggelora.

Nabi SAW menyiapkan tiga ribu tentara dalam pasukan Mu'tah tersebut, dan itu merupakan jumlah pasukan terbesar yang pernah dikirimkan Nabi SAW. Pasukan di bawah komando Zaid bin Haritsah ini bergerak ke arah Syam, Nabi SAW sendiri mengantar keberangkatannya sampai ke Tsaniyatul Wada'.
Setibanya di Mu'an, tak jauh dari Mu' tah, mereka mendapati kenyataan bahwa Pasukan Romawi yang harus mereka hadapi sejumlah seratus ribu orang, itupun masih ditambah tentara dari sekutu-sekutunya sejumlah seratus ribu orang, sehingga totalnya dua ratus ribu tentara. Sungguh kekuatan yang sangat tidak berimbang.Pasukan muslim bermusyawarah, dan sempat memutuskan untuk mengabarkan jumlah pasukan musuh kepada Nabi SAW, sambil menunggu petunjuk beliau lebih lanjut.
Tetapi pendapat tersebut ditentang oleh komandan lapis ke tiga, Abdullah bin Rawahah. Menurutnya, pertempuran ini adalah karena Allah dan Agama-Nya, bukan karena jumlah pasukan yang dihadapinya, Rasulullah SAW telah menetapkan pertempuran ini dan tugas mereka melaksanakannya. Apapun hasilnya adalah kebaikan semata, yakni kemenangan, atau gugur sebagai syahid. Pendapat ini yang akhirnya disetujui secara aklamasi.

Pertempuran-pun berlangsung seru, jumlah yang sedikit tidak mematahkan semangat perjuangan mereka, dan tidak berarti menjadi mudah bagi pasukan Romawi untuk menaklukan pasukan muslim. Ketika akhirnya Zaid menemui syahidnya, Ja'far segera mengambil panji peperangan dari tangan Zaid, dan terus menghambur menyerang musuh. Ketika gerakan kudanya makin terbatas sehingga tidak leluasa berperang, ia turun dari kudanya yang bernama Syaqra' dan melukai kaki kudanya. Ia tidak ingin kudanya tersebut lari dari medan pertempuran, selagi tuannya masih terus berjuang. Ia adalah orang pertama yang melakukan hal tersebut.

Sebagian riwayat menyebutkan, Ja’far tidak turun, tetapi terlempar jatuh dari kudanya karena begitu semangatnya, dan ia meneruskan perjuangan dengan berjalan kaki. Tangan kiri memegang panji dan tangan kanan terus menyerang musuh tanpa ampun. Ketika tangan kanannya putus terkena senjata lawan, ia mengepit panji dengan sisa tangan kanannya, dan tangan kirinya meraih pedang untuk meneruskan menyerang musuh. Ketika tangan kirinya juga terputus kena pedang lawan, ia berdiri tegak mempertahankan panji agar tetap berkibar, sampai akhirnya senjata lawan bertubi-tubi menyerangnya hingga dia gugur sebagai syahid, gugur dengan senyum tersungging karena gairah dan kerinduannya terpuaskan. Panji peperangan diambil alih Abdullah bin Rawahah untuk meneruskan perempuran.
Ketika Nabi SAW diberitahu tentang kondisi tubuh Ja'far bin Abu Thalib tersebut, beliau mengatakan bahwa Allah menganugerahinya dua sayap di surga sebagai pengganti tangannya tersebut. Karena itu, Ja'far juga digelari dengan 'ath Thayyar' (penerbang) atau 'Dzul Janahain' (orang yang memiliki dua sayap).


© all rights reserved
made with by templateszoo