Salman Al Farisi

0
Salman al-Farisi (Persia:سلمان فارسی, Arab:سلمان الفارسي) adalah sahabat Nabi Muhammad yang berasal dari Persia. Dikalangan sahabat lainnya ia dikenal dan dipanggil dengan nama Abu Abdullah.
Salman Al Farisi berasal dari Isfahan, suatu daerah di bawah kekuasaan Kisra Persia, yang mayoritas beragama Majusi, kaum penyembah api. 
Ayahnya seorang pejabat setingkat bupati yang amat menyayanginya, dan ia diberikan tugas sebagai penjaga api suci, yang bertanggung jawab agar api sesembahan tetap menyala, tidak sampai padam. Sebuah tugas mulia dalam agama Majusi.

Jalan yang dilaluinya untuk memperoleh hidayah cukup berliku. Berawal dari ketertarikannya pada cara ibadah orang Nashrani, ia masuk agama Nashrani. Orang tuanya marah dan merantainya, tapi ia berhasil kabur dan mengikuti rombongan orang-orang Nashrani ke Syiria.

Ia tinggal di gereja mengikuti seorang uskup sebagai pelayan, sekaligus belajar lebih dalam tentang agama barunya itu. Sayangnya uskup tersebut mengumpulkan sedekah untuk kepentingan pribadinya. Untungnya setelah uskup ini meninggal, sebagai penggantinya diangkat seorang yang saleh, sehingga ia memperoleh banyak kemajuan secara rohaniah.

Ketika uskup tersebut akan meninggal, ia menyarankan Salman untuk menemui seorang pendeta di Mosul, karena ia melihat tidak ada orang yang cukup pantas dan baik sebagai penggantinya untuk gereja tersebut.
Salman berangkat ke Mosul menemui pendeta yang ditunjukkan uskup sambil menceritakan pengalaman dan pencariannya, dan ia diterima dengan baik. Sama seperti sang uskup sebelumnya, ketika akan meninggal, pendetatersebut menyarankannya untuk tinggal bersama seorang saleh di Nasibin.
Dan menjelang ajal, orang saleh di Nasibin inipun menyarankan untuk menemui seorang pemimpin yang saleh di Amuria, suatu kotawilayah Romawi.
Salman tinggal di Amuria dengan pemimpin yang saleh ini beberapa waktu lamanya. Sebagai bekal hidupnya ia memelihara beberapa ekor sapi dan kambing.

Menjelang ajal sang Pemimpin Amuria itu, Salman kembali menanyakan tentang siapa yang pantas dia ikuti yang akan bisa membimbingnya.
Pemimpin yang saleh ini berkata,
"Wahai anakku, tak ada seorangpun yang kukenal yang sama keadaannya dengan kita, yang dapat kupercayakan engkau kepadanya. Tetapi sekarang telah dekat waktunya kebangkitan seorang nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. Ia nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan berada di antara dua bidang tanah yang berbatu-batu hitam. Seandainya engkau dapat kesana, temuilah dia. Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang, ia tidak mau makan sedekah, tetapi ia bersedia menerima atau memakan hadiah yang diberikan kepadanya. Ia mempunyai cap kenabian di pundaknya, yang jika engkau melihatnya, engkau pasti mengenalinya."

Salman yang beragama Majusi yang sebenarnya bisa hidup dalam kemewahan sebagai anak pejabat, dalam jabatan mulia sebagai penjaga api sembahan orang Majusi, namun semua itu ditinggalkannya ketika percik hidayah menyapanya. Hidup terlunta-lunta dan berpindah-pindah, bahkan menjadi budak sekalipun tidak dihiraukan untuk menemukan tujuan hidayah tersebut.

Ketika ada rombongan dari jazirah Arab, yang ia tahu banyak ditumbuhi kurma sampai di Amuria, ia meminta untuk bisa mengikuti mereka dengan memberikan imbalan ternak-ternaknya, dan mereka bersedia.
Tetapi ketika sampai di suatu tempat bernama Wadil Qura, Salman dianiaya dan dijual sebagai budak kepada orang Yahudi.
Beberapa waktu kemudian datang seorang yahudi dari Bani Quraizhah, membelinya sebagai budak dan membawanya ke Yatsrib (nama Madinah pada masa jahiliah), untuk dipekerjakan di kebun kurmanya.
Begitu tiba di Yatsrib, yakinlah ia bahwa ini negeri yang dimaksudkan oleh pemimpin yang saleh di Amuria. Karena itu ia bekerja dengan gembira walau sebagai budak, sambil menunggu kabar tentang munculnya nabi sebagaimana diramalkan oleh pemimpin Amuria tersebut.

Suatu ketika ia sedang berada di atas  pohon kurma, tiba-tiba datang sepupu majikannya dan berkata,
"Bani Qilah celaka, mereka mengerumuni seorang lelaki dari Mekkah yang mengaku sebagai nabi. Mereka sedang berkumpul di Quba…."

Saat itu memang Nabi SAW bersama Abu Bakar yang memang baru saja tiba di Quba, singgah pada Bani Amr bin Auf.

Mendengar kabar tersebut tubuh Salman bergetar keras hingga hampir jatuh menimpa tuannya yang berada di bawahnya. Ia bergegas turun dan tanpa sadar akan statusnya sebagai budak, ia menuju tamu tuannya dan berkata, "Apa kata anda? Ada kabar apakah?"
Majikannya memukulnya dengan keras dan berkata, "Apa urusanmu dengan semua ini, cepat kembali bekerja."

Sore harinya setelah pekerjaannya selesai, ia mengumpulkan bahan makanan yang dimilikinya dan bergegas ke Quba menemui Nabi SAW dan para sahabatnya yang berkumpul.
Sesampainya di hadapan Nabi SAW, Ia berkata, "Tuan-tuan adalah perantau, kebetulan aku memiliki persediaan makanan untuk sedekah. Tentu tuan-tuan sangat membutuhkannya…."
Salman menaruh makanan tersebut di depan Nabi SAW, dan beliau SAW memanggil para sahabatnya dan berkata"Makanlah dengan Nama Allah…!"

Mereka berkumpul menyantap makanan tersebut tetapi beliau sama sekali tidak menyentuhnya.

Melihat hal itu, Salman berkata dalam hati, "Demi Allah, inilah salah satu dari tanda-tanda ia seorang nabi, ia tidak mau memakan sedekah."

Keesokan harinya ia datang lagi menghadap Nabi SAW dengan membawa makanan dan ia berkata, "Kulihat tuan tidak mau makan sedeqah, tetapi ini adalah hadiah untuk tuan…"

Nabi SAW memanggil sahabat-sahabatnya untuk menyantap makanan yang dibawa Salman, dan beliaupun ikut memakannya. Dan Salman berkata dalam hati, "Ini adalah tanda yang kedua, beliau mau makan yang diberikan sebagai hadiah."

Beberapa hari (bulan) kemudian, Salman menemui Nabi SAW yang berada di Baqi sedang menguburkan jenazah seorang sahabat, beliau memakai dua kain lebar, satu untuk baju dan satunya untuk sarung.
Ia memberi salam sambil melihat ke arah pundak beliau, dan beliau SAW tanggap isyarat dengan sedikit menyingkapkan burdah dari lehernya sehingga Salman bisa melihat cap kenabian seperti diceritakan orang saleh Amuria.

Salman tidak bisa menahan diri lagi, pencarian panjangnya berakhir sudah. Ia menangis dan meratap sambil menciumi Nabi SAW. Setelah suasana emosional yang meliputinya mereda, ia duduk menghadap Rasulullah SAW dan menceritakan pengalaman dan perjalanan untuk mencapai hidayah Allah SWT ini.
Ia segera mengucap syahadat untuk menyatakan keislamannya.

Ketika perang Badar dan Uhud berlangsung, Salman tidak bisa ikut serta karena statusnya sebagai budak jadi halangan baginya. Tuannya yang seorang Yahudi tentu saja tidak akan membiarkannya meninggalkan pekerjaan di kebun kurma untuk menyertai Nabi SAW di dua peperangan tersebut. Suatu ketika Nabi SAW berkata kepadanya, "Mintalah kepada tuanmu agar ia membebaskanmu dengan uang tebusan…!"
Salman menyampaikan hal itu kepada tuannya dan ia menyetujuinya. Nabi SAW menyeru kepada para sahabat untuk mengumpulkan dana sebagai pembayaran kebebasannya dari perbudakan. Maka jadilah ia orang merdeka dan lebih leluasa untuk belajar, beribadah dan berjuang bersama Nabi SAW.

Pada perang Ahzab, dimana beberapa kabilah di jazirah Arab bersekutu untuk menggempur Madinah, Nabi SAW mengadakan musyawarah bagaimana cara menghadapi mereka.
Situasi saat itu sangatlah kritis, karena menurut informasi yang dihimpun oleh mata-mata yang dikirimkan Nabi SAW, mereka ini mencapai 24.000 orang prajurit yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Jumlah ini lebih banyak daripada seluruh penduduk Madinah, termasuk wanita dan anak-anaknya.
Apalagi pasukan sekutu yang sebenarnya atas inisiatif kaum Yahudi Bani Nadhir ini, sempat mempengaruhi kaum Yahudi Bani Quraizhah yang tinggal di Madinah untuk mendukung mereka untuk melakukan penyerangan dari dalam, padahal kabilah ini terikat perjanjian damai dengan Nabi SAW dalam Piagam Madinah.

Salman radhiyallahu 'anhu sendiri turut menyaksikan hal tersebut, karena ia memang terlibat dan mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu. Peristiwa itu terjadi waktu perang Khandaq, yaitu pada tahun kelima Hijrah.
Beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Mekah menghasut orang-orang musyrik dan golongan-golongan kuffar agar bersekutu menghadapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Kaum Muslimin, serta mereka berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan yang akan menumbangkan serta mencabut urat akar Agama baru ini.

Setelah berlangsung diskusi cukup lama dan beberapa usulan masuk kepada Nabi SAW, Salman berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, dulu kami orang-orang Persi jika sedang dikepung musuh, kami menggali parit di sekeliling kami untuk mempertahankan diri. Bagaimana kalau kita menggali parit untuk perlindungan kota Madinah??"
Usulan yang cukup brillian ini diterima oleh forum musyawarah. Itulah sebabnya perang Ahzab ini juga dikenal sebagai Perang Khandaq (Perang Parit).

Sewaktu menggali parit, Salman radhiyallahu 'anhu tidak ketinggalan bekerja bersama Kaum Muslimin yang sibuk menggali tanah. Juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ikut membawa tembilang dan membelah batu. Kebetulan di tempat penggalian Salman radhiyallahu 'anhu bersama kawan-kawannya, tembilang mereka terbentur pada sebuah batu besar.

Salman radhiyallahu 'anhu seorang yang berperawakan kuat dan bertenaga besar. Sekali ayun dari lengannya yang kuat akan dapat membelah batu dan memecahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. Tetapi menghadapi batu besar ini ia tak berdaya, sedang bantuan dari teman-temannya hanya menghasilkan kegagalan belaka.

Salman radhiyallahu 'anhu pergi mendapatkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan minta idzin mengalihkan jalur parit dari garis semula, untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun pergi bersama Salman radhiyallahu 'anhu untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tadi. Dan setelah menyaksikannya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta sebuah tembilang dan menyuruh para shahabat mundur.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu membaca basmalah dan mengangkat kedua tangannya yang mulia yang sedang memegang erat tembilang itu, dan dengan sekuat tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu. Kiranya batu itu terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi. "Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran kota Madinah", kata Salman radhiyallahu 'anhu, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan takbir, sabdanya:
اللّٰهُ أَكْبَر ...! aku telah dikaruniai kunci-kunci istana negeri Persi, dan dari lambaian api tadi nampak olehku dengan nyata istana-istana kerajaan Hirah begitu pun kota-kota maharaja Persi dan bahwa ummatku akan menguasai semua itu.

Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat tembilang itu kembali dan memukulkannya ke batu untuk kedua kalinya. Maka tampaklah seperti semula tadi. Pecahan batu besar itu menyemburkan lambaian api yang tinggi dan menerangi, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir sabdanya:
اللّٰهُ أَكْبَر...! aku telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak nyata olehku istana-istana merahnya, dan bahwa ummatku akan menguasainya.

Kemudian dipukulkannya untuk ketiga kali, dan batu besar itu pun menyerah pecah berderai, sementara sinar yang terpancar daripadanya amat nyala dan terang temarang.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun mengucapkan la ilaha illallah diikuti dengan gemuruh oleh kaum Muslimin.
Lalu diceritakanlah oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa dia sekarang melihat istana-istana dan mahligai-mahligai di Syria maupun Shan'a, begitu pun di daerah-daerah lain yang suatu ketika nanti akan berada di bawah naungan bendera Allah yang berkibar. Maka dengan keimanan penuh Kaum Muslimin pun serentak berseru: Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya .... Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.

Demikianlah pada suatu hari Kaum Muslimin tiba-tiba melihat datangnya pasukan tentara yang besar mendekati kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan kota Madinah.
Kaum Muslimin yang panik mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu. Keadaan mereka dilukiskan dalam al-Quran sebagai berikut:

إِذْ جَاءُوكُم مِّن فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ الْأَبْصَارُ‌ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ‌ وَتَظُنُّونَ بِاللَّـهِ الظُّنُونَا
 
(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. . (Q.S. 33 al-Ahzab:l0)

هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالًا شَدِيدًا

Disitulah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.  (Q.S. 33 al-Ahzab:l1)

Strategi yang diusulkan oleh Salman ini cukup membuahkan hasil yang sangat baik, gelombang pasukan yang begitu besar yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb ternyata tak bisa berkutik. Strategi ini tidak pernah dikenal oleh orang-orang Arab yang pada dasarnya suka berperang, karena itu mereka tidak pernah mengantisipasi sebelumnya.
 Mereka hanya bisa melakukan pengepungan, yang sebenarnya ini pun di luar perhitungan mereka, secara perbekalanpun tidak dipersiapkan untuk itu.

Pada perang Ahzab ini tidak terjadi perang fisik secara besar-besaran, hanya pertikaian kecil ketika sekelompok kecil orang Quraisy berusaha menyeberangi parit yang dengan mudahnya dapat dipatahkan oleh Pasukan Muslim yang telah bersiap di sisi parit.

Sebenarnya sebagian Pasukan Muslim sempat tergoncang dalam keadaan terkepung oleh pasukan kuffar yang hampir sebulan lamanya, ditambah lagi pengkhianatan kaum Yahudi Bani Quraizhah, juga penghianatan orang-orang munafik yang menghasut dan melakukan fitnah terhadap Allah dan Rasul-Nya, sehingga melemahkan semangat sebagian kabilah tersebut.
Allah menurunkan ayat yang menjelaskan tentang keadaan orang-orang munafik sebagaimana firmannya :

يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَ‌ضٌ مَّا وَعَدَنَا اللَّـهُ وَرَ‌سُولُهُ إِلَّا غُرُ‌ورً‌ا

Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata: "Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya".
[33: al-Ahzab:12]

وَإِذْ قَالَت طَّائِفَةٌ مِّنْهُمْ يَا أَهْلَ يَثْرِ‌بَ لَا مُقَامَ لَكُمْ فَارْ‌جِعُوا ۚ وَيَسْتَأْذِنُ فَرِ‌يقٌ مِّنْهُمُ النَّبِيَّ يَقُولُونَ إِنَّ بُيُوتَنَا عَوْرَ‌ةٌ وَمَا هِيَ بِعَوْرَ‌ةٍ ۖ إِن يُرِ‌يدُونَ إِلَّا فِرَ‌ارً‌ا
  
Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mreka berkata: "Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu". Dan sebahagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata: "Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga)". Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanya hendak lari. 
[33 : al-Ahzab:13]

Dan akhirnya pada suatu malam Allah Ta'ala mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-porandakan tentara mereka. Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka ... dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta menderita kekalahan yang pahit sebagaimana tersirat dalam Al-Qura'an

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُ‌وا نِعْمَةَ اللَّـهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَاءَتْكُمْ جُنُودٌ فَأَرْ‌سَلْنَا عَلَيْهِمْ رِ‌يحًا وَجُنُودًا لَّمْ تَرَ‌وْهَا ۚ وَكَانَ اللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرً‌ا

Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikurniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan.
[33: al-Ahzab:9]
 
Allah juga menurunkan pertolonganNya dengan masuknya Nu'aim bin Mas'ud bin Amir al Asyjay, ke dalam Islam sehingga pasukan sekutu terpecah-belah dan pulang kembali ke tempat masing-masing tanpa hasil yang diharapkan.

Ketika Islam mengalami kejayaan, harta kekayaan mengalir ke Madinah dan wilayah makin meluas, sebagai salah seorang sahabat utama Nabi SAW, mau tidak mau, suka tidak suka Salman jadi terlibat juga dalam hal yang sebenarnya tidak disukainya yaitu jabatan dan kekayaan.

Khalifah Umar memaksanya untuk memegang jabatan Amir di wilayah Madain, padahal ia selalu menolak suatu jabatan kecuali sebagai pimpinan pasukan yang berjuang di jalan Allah, karena ia memang sangat merindukan menjadi syahid. Bahkan ia punya prinsip, yakni : "Jika engkau masih mampu makan tanah, asal tidak membawahi dua orang manusia, maka lakukanlah!!"

Tetapi menghadapi khalifah Umar yang sama zuhudnya dengan dirinya ia tidak berkutik, Umar selalu berkata kepada para sahabat yang menolak jabatan karena zuhud, seperti ini atau semisal ini, "Kalian telah memba'iat dan membebani aku dengan amanat ini, yang aku sendiri tidak menginginkannya, maka tolonglah aku untuk menjalankan amanat ini…."

Menjadi Amir di Madain ternyata tidak melunturkan karakter kesederhanaannya. Ketika rumah jabatan disiapkan oleh seorang tukang bangunan, ia bertanya, "Rumah seperti apa yang engkau siapkan untuk diriku??"
Ternyata tukang bangunan tersebut sangat mengenal karakter Salman, ia berkata, "Jangan anda khawatir, rumah tersebut merupakan bangunan yang bisa dijadikan tempat berteduh di waktu hujan, bernaung di waktu panas. Jika anda berdiri dan merentangkan tangan ke atas, anda akan menyentuh langit-langitnya, jika anda berbaring, kepala dan kaki anda akan menyentuh dinding dindingnya…"
Salman puas dengan penjelasan tersebut.
Tunjangannya sebagai amir adalah empat ribu sampai enam ribu dirham setahun, tetapi itu langsung habis disedekahkan pada hari ia menerimanya.

Di sela waktu melayani keperluan umat, ia asyik membuat dan mengayam daun kurma menjadi bakul atau keranjang. Setelah selesai, dijualnya ke pasar seharga tiga dirham, satu dirham dibelikan daun kurma (untuk bahan membuat keranjang), satu dirham untuk menafkahi keluarganya dan satu dirham sisanya disedekahkan.

Suatu ketika ada seorang Syria yang membawa sepikul buah tin dan kurma, ia tampak kesulitan karena bebannya terlalu berat.
Ketika lewat seseorang yang tampak miskin dan kumuh, ia berkata, "Tolong bawakan barangku ini ke rumahku, nanti aku beri upah.."
Tanpa banyak bicara orang tersebut bersedia membantunya, mereka berjalan beriringan ke rumahnya. Anehnya setiap kali bertemu serombongan orang, orang yang membantunya itu memberi salam, dan mereka menjawab,"Juga kepada Amir, kami ucapkan salam…!"

Bahkan terkadang salah seorang dari mereka menghampiri untuk mengambil alih memikulnya, tetapi selalu ditolaknya. Ketika keheranannya makin memuncak, ia sadar bahwa yang membantunya tersebut adalah Amir kota Madain, Salman al Farisi. Buru-buru ia meminta maaf dan akan mengambil alih pikulannya, tetapi Salman berkata, "Tidak usah, biarlah akan kuantar sampai ke rumahmu seperti telah kuniatkan…."

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© all rights reserved
made with by templateszoo