Tampilkan postingan dengan label Sahabat Nabi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sahabat Nabi. Tampilkan semua postingan

Qabishah Bin Mukhariq

Qabishah bin Mukhariq, atau dikenal dengan nama kunyahnya Abu Bisyr, adalah seorang sahabat yang hidupnya dalam kekurangan, sementara anggota keluarganya cukup banyak. Suatu ketika ia merasakan beban yang ditanggungnya begitu berat sehingga ia tak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, yang sebenarnya tidak begitu banyak. Karena itu ia datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, kami mohon bantuan untuk meringankan beban kehidupan kami…!!"

Karena saat itu Nabi SAW sedang tidak memiliki apapun untuk diberikan, beliau berkata, "Tunggulah sampai ada zakat datang kesini, nanti akan kami suruh si Amil untuk memberikan bagian kepadamu…!!"

Setelah mengucapkan terima kasih dan pamit, Abu Bisyr melangkah untuk pulang. Tetapi baru beberapa langkah, Nabi SAW memanggilnya kembali. Abu Bisyr kembali menghadap Nabi SAW dan beliau bersabda, "Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak diperbolehkan kecuali karena tiga alasan…."

Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan dengan terinci siapa saja yang dibolehkan meminta-minta, dan batasan- batasannya, yakni :

1. Seseorang yang menanggung beban kehidupan sangat berat, ia boleh meminta-minta untuk memperingan beban kehidupannya. Jika telah terasa ringan, ia harus mengekang/menahan diri dari meminta-minta.

2. Seseorang yang ditimpa musibah atau kecelakaan sehingga seluruh hartanya habis, ia boleh meminta-minta sehingga ia memperoleh kehidupan yang layak.

3. Seseorang yang sangat miskin, sehingga setidaknya ada tiga orang bijaksana di antara kaumnya yang berkata tentang dirinya, "Si fulan ini benar-benar miskin", maka ia boleh meminta-minta sehingga ia memperoleh kehidupan yang layak.

Artinya, terlarang meminta-minta sampai melebihi kebutuhan standar kehidupan layak, apalagi sampai menjadikansimpanan atau tabungan.

Setelah menjabarkan panjang lebar seperti itu, Nabi SAW bersabda lagi, "Wahai Qabishah, meminta-minta selain karena tiga sebab tersebut adalah usaha yang terlarang, dan orang yang memakannya berarti memakan barang yang haram…!!"

Sawad Bin Ghaziyyah

Sawad bin Ghaziyyah RA adalah salah seorang Ahlul Badar, dan termasuk dari sedikit sahabat yang menemui syahidnya di medan Perang Badar itu. Pada hari berlangsungnya pertempuran ketika sedang persiapan pasukan, Nabi SAW mengatur barisan dan meluruskannya, seperti ketika meluruskan shaf-shaf shalat. Saat tiba di tempat Sawad, beliau melihat kalau posisinya agar bergeser, tidak lurus dengan anggota pasukan lainnya. Beliau memukul perut Sawad dengan anak panah sambil bersabda, "Luruskan barisanmu, wahai Sawad…!!"

Tetapi tanpa diduga oleh siapapun, tiba-tiba Sawad berkata, "Wahai Rasulullah, engkau telah menyakitiku, maka berilah kesempatan kepadaku untuk membalasmu (meng-qishash-mu)..!!"

Para sahabat terkejut, dan sebagian besar marah dengan ucapan Sawad ini, apalagi Umar bin Khaththab. Nabi SAW sendiri sebenarnya terkejut dengan sikapnya itu, tetapi beliau menenangkan mereka. Sambil menyerahkan anak panah yang dipakai memukul, beliau bersabda, "Kalau begitu, balaslah wahai Sawad…!!"

Sambil menerima anak panah dari tangan Nabi SAW, Sawad berkata, "Wahai Rasulullah, engkau memukulku di perut yang tidak tertutup kain, karena itu hendaklah engkau singkapkan baju engkau..!!"

Para sahabat makin marah dengan sikap dan kemauan Sawad yang tidak sepatutnya ini. Tetapi Nabi SAW tetap menenangkan mereka dan memenuhi permintaan Sawad. Setelah beliau menyingkapkan baju beliau, Sawad segera melemparkan anak panah tersebut dan memeluk perut Nabi SAW dengan erat sambil menangis bahagia,sekaligus meminta maaf kepada beliau. Sekali lagi Nabi SAW dibuat terkejut dengan tindakan Sawad yang tidak tersangka-sangka ini. Beliau berkata, "Apa-apaan engkau ini, Sawad….??"

Sawad berkata, "Inilah yang aku inginkan, ya Rasulullah, telah lama aku berharap kulitku yang hina ini bisa bersentuhan dengan kulit engkau yang mulia, dan aku bersyukur bisa melakukannya, semoga ini menjadi saat-saat terakhir dalam hidupku bersama engkau….!!"

Nabi SAW tersenyum mendengar jawaban Sawad ini, karena apa yang dilakukannya adalah ekspresi kecintaannya kepada Nabi SAW. Segera saja beliau mendoakan kebaikan dan ampunan bagi Sawad.

  Ketika pertempuran mulai berkobar, Sawad segera menghambur ke barisan kaum musyrikin yang jumlahnya jauh lebih besar, yakni lebih dari tiga kali lipat banyaknya. Dengan semangat jihad yang begitu menggelora dan keinginan untuk mencapai syahid di jalan Allah, ia menyerang musuh tanpa sedikitpun rasa takut. Luka tikaman dan sayatan senjata tidak langsung menghentikan langkahnya untuk menghadang serangan kaum musyrikin. Sawad baru berhenti berjuang ketika kakinya tidak lagi mampu menyangga tubuhnya, tangannya tak lagi mampu menggerakkan pedang akibat terlalu banyaknya luka-luka dan darah yang mengucur dari tubuhnya. Namun demikian mulutnya tampak tersenyum ketika tubuhnya roboh ke tanah, karena ruhnya langsung disambut para malaikat yang langsung mengantarnya ke hadirat Allah.

Ummu Abu Hurairah

Ummu Abu Hurairah adalah Ibu dari sahabat Abu Hurairah. Walau dalam keadaan miskin, Abu Hurairah membawa serta ibunya yang masih musyrik itu hijrah ke Madinah, karena tidak ada keluarga atau kerabat lainnya yang bisa merawat ibunya itu jika tetap tinggal di kabilah Bani Daus di Yaman.

Suatu ketika Abu Hurairah RA mengajak ibunya yang masih musyrik untuk memeluk Islam, tetapi sang ibu menolaknya, bahkan mengatakan sesuatu tentang Rasulullah SAW, yang sangat tidak disukainya. Abu Hurairah menjadi sedih. Ia menemui Rasulullah SAW dan menceritakan apa yang dilakukannya ibunya, Setelah itu ia memohon agar beliau berkenan mendoakan ibunya agar memperoleh hidayah Allah SWT. Nabi SAW berdoa, "Ya Allah, berilah petunjuk kepada ibunya Abu Hurairah.."

Abu Hurairah amat gembira dengan doa Nabi SAW, ia yakin bahwa Allah akan mengabulkan doa tersebut. Ia pamitan kepada Nabi SAW dan bergegas menuju rumah ibunya. Ketika sampai, belum sempat ia mengetuk pintu yang tertutup rapat, sepertinya ibunya telah mendengar langkah kakinya, sang ibu berkata, "Tunggulah di luar, wahai Abu Hurairah."

Abu Hurairah mendengar gemericik air, dan ketika pintu terbuka, tampak ibunya memakai baju panjang, wajahnya masih basah dengan air. Sang ibu berkata, "Hai Abu Hurairah, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammadadalah utusan Allah."

Abu Hurairah sangat gembira melihat ibunya memeluk Islam. Segera saja ia menemui Rasulullah SAW dan menceritakan apa yang terjadi dengan ibunya. Tetapi lagi-lagi ia meminta didoakan, agar ia dan ibunya selalu disayangi oleh setiap orang lelaki dan perempuan yang beriman. Lagi-lagi Nabi SAW memenuhi permintaannya ini, "Wahai Allah, jadikanlah hambaMu ini dan ibunya, disayangi oleh setiap orang-orang yang beriman, lelaki ataupun perempuan."

Usaid Bin Hudhair

Usaid bin Hudhair bin Sammak adalah seorang sahabat Anshar dari suku Aus. Ia salah seorang bangsawan dan pemimpin kaum yang mempunyai keahlian memanah. Ia juga dikenal dengan nama al Kamil (sempurna) karena kecemerlangan otaknya dan keluhuran akhlaknya. Sifat ini diwarisinya dari ayahnya Hudhalir Kata'ib yang merupakan bangsawan dan pemimpin yang disegani di masa jahiliah. Ia memeluk Islam ketika Nabi SAW belum lagi berhijrah ke Madinah. Dalam cahaya dan didikan Islam, makin memuncaklah kemuliaan akhlaknya dan makin meningkat martabatnya karena bimbingan wahyu dari langit.

Ketika Mush'ab bin Umair, sahabat muhajirin yang menjadi duta sekaligus muballigh pertama di Kota Madinah, sedang mendakwahkan Islam kepada penduduk Madinah didampingi oleh As'ad bin Zurarah, beberapa orang pemuka kabilah di Madinah menjadi ‘gerah’ termasuk Sa'd bin Mu'adz. Sa’d tidak senang dengan aktivitas mereka berdua mempengaruhi kaumnya meninggalkan agama nenek moyangnya, tetapi ia merasa tidak enak dengan As’ad yang masih saudara dekatnya itu. As’ad bin Zurarah adalah salah satu dari enam pemuda Yatsrib yang pertama memeluk Islam, dan menjadi pioner penyebaran Islam di kotanya itu.

Suatu ketika Sa’d bertemu dengan Usaid bin Hudhair dan menyampaikan unek-uneknya. Ia meminta tolong Usaid untuk memperingatkan dan menghalangi dua orang itu ‘memurtadkan’ kaumnya. Tampaknya Usaid sependapat, maka ia menyanggupinya. Ia mengambil tombaknya dan mendatangi mereka berdua yang sedang berada di kebun bani Zhafar di dekat telaga yang disebut Maraq. Ketika telah berada di depannya, Usaid berkata setengah mengancam, "Apa yang membawa kalian kemari? Kalian memperbodoh orang-orang yang lemah di antara kami, jauhilah kami jika kalian masih ingin hidup lebih lama lagi!!"

Mush'ab memang dipilih Rasulullah SAW sendiri ketika diberangkatkan ke Madinah, tentunya dengan pertimbangan dan pengamatan yang sangat matang, walau usianya masih cukup muda. Dengan lembut Mush’ab berkata diplomatis, "Maukah kamu duduk mendengarkan? Jika kamu senang akan sesuatu hal, engkau bisa menerima atau mengabaikannya. Dan jika kau tidak menyukai sesuatu hal, tolaklah hal itu, dan aku akan meninggalkan kalian!!”

"Baiklah, kesepakatan yang adil," Kata Usaid.

Ia menancapkan tombaknya ke tanah dan duduk bersama mereka. Mush'ab-pun mulai menceritakan tentang Islam danmembacakan beberapa ayat Al Qur'an. Tampak sekali sekali Usaid tertarik, matanya bercahaya dan perkataannya menjadi lembut. Ia memang seorang yang cerdas, dan sebelumnya mendapat pendidikan akhlak yang sangat baik sehingga dengan mudah ia menerima kebenaran yang disampaikan Mush’ab. Ia berkata, "Alangkah indah dan baiknya ajaran ini, apakah yang harus aku lakukan jika aku ingin memasuki agama ini?"

Mush’ab bin Umair "Hendaknya engkau mandi dan bersuci, bersihkanlah kedua pakaianmu, kemudian bersyahadatlah dengan syahadat yang sebenarnya, lalu berdirilah melakukan shalat dua rakaat."

Usaid beranjak pergi melakukan perintah tersebut dengan dibimbing Mush'ab bin Umair dan As'ad bin Zurarah, sehingga jadilah ia seorang muslim. Kehendak Allah ketika melimpahkan hidayah-Nya memang tidak bisa diperkirakan. Niat Usaid semula adalah untuk menghentikan aktivitas Mush'ab dan As'ad dalam mendakwahkan Islam di Madinah, sehingga mungkin sepantasnya jika dia ditimpa musibah atas niat buruknya tersebut. Tetapi yang terjadi adalah kebalikannya, justru Allah menjadikan niatnya tersebut sebagai jalan terbukanya hidayah dan jalan kebaikan bagi dirinya.

Setelah merasakan ‘sejuknya’ menjadi seorang muslim, Usaid berkeinginan menarik Sa'd bin Mu'adz kepada Islam. Bagaimanapun juga Sa'd memiliki andil atas hidayahyang diterimanya ini. Ia sangat mengenal kepribadian Sa’d, kalau saja ada kesempatan ia mendengar tentang Islam, pastilah ia akan memeluknya tanpa ragu-ragu lagi. Tetapi sikap penolakan dan permusuhan yang telah tertanam di hati, membuatnya tidak mudah menyuruh atau merayu Sa'd menemui Mush'ab dan As'ad untuk bisa mendengarkan penjelasan tentang Islam.

Setelah beberapa saat berfikir, ia memperoleh jalan keluarnya. Ia akan bersiasat, yang dengan siasatnya itu pastilah Sa’d akan menemui As’ad. Ia berkata kepada Mush'ab dan As'ad, "Sesungguhnya di belakangku ada seorang lelaki (yaitu Sa'd bin Mu'adz), jika ia mengikuti kalian berdua, maka kaumnya tidak akan ada yang ketinggalan memeluk Islam. Aku akan bersiasat agar ia mau menemui kalian."

Usaid berlalu pergi menemui menemui Sa'd yang berada di antara kaumnya. Melihat kehadiran Usaid, Sa’d berkata, “Sungguh Usaid datang dengan air muka yang sangat berlainan dengan saat dia meninggalkan kita!!”

Setelah tiba, Usaid langsung berkata, "Wahai Sa'd, aku telah berbicara pada mereka berdua, dan aku tidak melihat ancaman apapun dari mereka. Dan telah kusampaikan apa yang kau inginkan, tetapi mereka berkata 'Lalukan saja apa yang kamu suka!!' Tetapi aku mendengar berita selentingan kalau bani Haritsah bermaksud membunuh As'ad karena tahu dia adalah anak bibimu. Saat ini mereka sedang menuju tempatnya, sepertinya mereka meremehkan dirimu!!"

Mendengar kabar ini, Sa'd menjadi marah dan sekaligus khawatir atas keselamatan As'ad. Terlepas bahwa ia tidak suka aktivitasnya, tetapi ikatan kekeluargaan di antara mereka begitu kuat. Ia mengambil tombaknya dan beranjak menemui Mush'ab dan As'ad. Melihat siasatnya berhasil, Usaid menjadi gembira, ia yakin Sa'd akan berubah pikiran setelah mendengar penjelasan Mush'ab tentang Islam seperti dirinya, dan dugaannyamemang benar. Sa'd memeluk Islam di saat itu juga, dan ketika ia mendakwahi kaumnya, sebelum petang di hari itu, seluruh bani Abdul Asyhal telahmengikuti Sa'd memeluk Islam.

Peristiwa tersebut terjadi setelah Bai'atul Aqabah pertama. Ketika datang musim haji berikutnya, dibentuklah rombongan untuk menghadap Nabi SAW di Makkah. Usaid ikut serta di dalamnya, ia ingin mengokohkan bai'atnya di hadapan Nabi SAW. Dalam pertemuan yang dikenal dengan nama Bai'atul Aqabah kedua tersebut, Nabi SAW memilihnya sebagai salah satu dari duabelas pemimpin yang bertanggung jawab atas dakwah dan pelaksanaan ajaran Islam di kaumnya.

Seperti kebanyakan sahabat Anshar lainnya, baik dari kalangan pemuka atau anggota biasa, Usaid selalu membaktikan hidupnya untuk membela Nabi SAW dan panji-panji Islam. Setiap pertempuran bersama Rasulullah SAW diterjuninya. Sifat "kamil"-nya tak pernah terlepas dari kepribadiannya walau dalam situasi yang mengancam jiwa dalam peperangan. Bahkan terkadang bisa menentramkan suasana, seperti yang terjadi pada perang Bani Musthaliq.

Pada pertempuran tersebut, kaum munafik yang dipimpin Abdullah bin Ubay ikut serta, dan dalam perjalanan pulang, ia mengatakan sesuatu perkataan yang menyakiti Nabi SAW. Zaid bin Arqam mendengar perkataannya tersebut, melaporkannya kepada Nabi SAW lewat pamannya. Nabi SAW yang sebenarnya sedang beristirahat segera memberangkatkan pasukannya untuk terus kembali ke Madinah. Melihat keputusan Nabi SAW ini, Usaid menemui beliau dan berkata, "Wahai Rasulullah, tidak biasanya engkau berangkat pada saat seperti ini…!!"

Nabi SAW bersabda, "Apa engkau belum mendengar apa yang dikatakan rekanmu (yakni, Abdullah bin Ubay) ?"

"Apa yang dikatakannya, Ya Rasulullah?"

"Ia mengatakan : Jika kita kembali ke Madinah, penduduknya yang mulia (yakni penduduk Madinah), benar-benar akan mengusir penduduknya yang hina (maksudnya Nabi SAW dan kaum muhajirin)…!!"

Jiwa pembelaannya atas Nabi SAW dan Islam muncul, tetapi tanpa makin memanaskan suasana. Usaid berkata, "Wahai Rasulullah, engkau bisa mengusirnya dari Madinah menurut kehendak engkau. Demi Allah, memang dia adalah orang yang hina dan engkau adalah orang yang mulia…!!"

Dengan perkataannya ini seolah Usaid ingin menegaskan bahwa ia dan kaumnya dari Suku Aus berdiri di belakang Nabi SAW, kemudian ia berkata lagi, "Tetapi, wahai Rasulullah, bersikaplah yang lembut terhadap dirinya. Demi Allah, Allah telah mendatangkan engkaukepada kami, padahal penduduk Madinah telah menyiapkan mahkota untuk disematkan di kepalanya. Karena itu ia merasa engkau telah merampas kerajaan dari tangannya….!!"

Nabi SAW memahami apa yang disampaikan oleh Usaid. Beliau menggerakkan pasukan untuk terus berjalan ke Madinah. Bahkan ketika malam tiba-pun beliau tidak menghentikannya, sehingga ketika tiba waktu istirahat, para anggota pasukan tersebut langsung tertidur, tidak ada kesempatan membicarakan perkataan Abdullah bin Ubay.

Salah satu keistimewaan Usaid bin Hudhair adalah suaranya ketika melantunkan Al Qur'an, para sahabat sangat senang mendengarkannya. Menurut mereka, mendengar alunan suaranya membaca Al Qur'an tersebut lebih disenanginya daripada memperoleh ghanimah (harta rampasan perang). Suaranya lembut dan khusyu', mempesona dan dapat menentramkan jiwa.

Suatu malam Usaid bin Hudhair membaca surah Al Baqarah, tiba-tiba kudanya yang diikat tak jauh darinya bergejolak. Ketika ia berhenti membaca, kuda itu menjadi tenang. Ia mencoba membacanya lagi dan kuda itu kembali bergejolak, dan ketika ia berhenti membaca, kuda itu menjadi tenang.Beberapa kali mengulang membaca, peristiwa itu berulang terjadi, sampai ia menyadari bahwa gejolak kudanya itubisa membahayakan Yahya, anaknya yang tidur tidak jauh darinya. Ia menarik anaknya menjauh dan kepalanya tengadah ke langit, ia melihat ada sekelompok awan yang di dalamnya ada seperti lampu-lampu yang bercahaya bergerak menjauh ke atas sampai hilang dari pandangan.

Pagi harinya ia menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada Nabi SAW, dan beliau bersabda, "Bacalah hai Ibnu Hudhair, bacalah hai Ibnu Hudhair!!"

Usaid bin Hudhair menjelaskan bahwa ia mengkhawatirkan keselamatan anaknya karena gejolak kuda yang tidak terkendali ketika ia membaca surah Al Baqarah. Sambil tersenyum, Nabi SAW bersabda, "Tahukah kamu, yang tampak seperti awan tersebut adalah malaikat yang mendekat karena ingin mendengarkan suaramu melantunkan Al Qur'an. Seandainya kamu terus membacanya, niscaya manusia akan bisa melihat malaikat tersebut, tidak tertutup dari mereka."

Usaid bin Hudhair wafat pada Bulan Sya’ban tahun 20 hijriah, yakni pada masa khalifah Umar bin Khaththab. Jenazahnya di makamkan di Baqi, dan Umar sendiri yang turun ke kuburnya untuk memakamkannya.

Abdullah Bin Amr Bin Haram Al Anshary

Abdullah bin Amr bin Haram atau dikenal dengan nama Abu Jabir, adalah sahabat Anshar yang juga pemuka dari bani Salamah, termasuk suku Khazraj. Ia adalah ayah dari sahabat yang banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW, Jabir bin Abdullah. Ibnu Amr bin Haram ini termasuk sahabat Anshar yang mula-mula memeluk Islam, yakni ketika terjadinya Ba'iatul Aqabah kedua, yang dalam peristiwa tersebut, ia ditunjuk sebagai salah satu dari duabelas pemimpin kaum Anshar Madinah. Ia juga termasuk dari Ahlu Badar, sahabat yang mengikuti perang Badar dan mendapat pujian Allah dalam Al Qur'an dan jaminan masuk surga.

Ketika akan berangkat ke perang Uhud, seakan telah mendapat firasat menemui syahid, ia berkata kepada anaknya, Jabir bin Abdullah, "Wahai anakku, sungguh tidak kulihat diriku kecuali aku akan menemui ajal dalam pertempuran ini. Aku tidak rela ada seseorang yang mencintai Rasulullah SAW, yang cintanya lebih besar daripada cintamu kepada beliau, anakku!! Selain itu, aku mempunyai hutang, maka lunasilah hutang-hutang tersebut. Dan aku wasiatkan agar engkau menjaga saudaramu sebaik-baiknya…..!!"

Dalam perang Uhud, Nabi SAW menempatkan limapuluh orang pemanah ulung di atas bukit, yang menjadi titik pertahanan pasukan muslimin dari serangan pasukan kaum kafir Quraisy. Abu Jabir termasuk dalam pasukan pemanah yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair ini. Nabi SAW berpesan agar mereka tetap tinggal di bukit itu, baik dalam keadaan menang atau kalah, kecuali jika beliau sendiri yang memerintahkan mereka untuk turun.

Pertempuran berlangsung beberapa lama, dan pasukan Quraisy dapat dipukul mundur. Mereka berlari meninggalkan gelanggang sekaligus meninggalkan barang-barangnya terserak di medan pertempuran Uhud. Bagaimanapun nyawa lebih penting daripada barang-barang berharga yang dibawanya dalam pertempuran. Para pemanah di atas bukit tampaknya tergiur dengan barang-barang orang Quraisy, dan mereka turun bukit untuk mengambilnya. Abdullah bin Jubair berteriak mengingatkan pesan Nabi SAW, tetapi mereka mengabaikannya, tinggallah hanya sekitar sepuluh orang, termasuk Abu Jabir yang bertahan di atas bukit.

Sekelompok pasukan berkuda Quraisy di bawah pimpinan Khalid bin Walid, yang sebenarnya telah cukup jauh meninggalkan Uhud melihat keadaan itu. Ia menyadari, kekalahan pasukannya yang lebih besar dan lebih banyak jumlahnya tidak terlepas dari peran para pemanah di atas bukit tersebut. Dengan berkurangnya kekuatan pertahanan di bukit tersebut, Ibnu Walid yakin bahwa ia bisa membalikkan keadaan. Maka ia memerintahkan pasukannya bergerak menaiki bukit tersebut.

Ibnu Jubair, Abu Jabir dan sekitar delapan kawannya menghujani mereka dengan panah untuk menghadang gerakannya, tetapi itu tidak banyak berarti karena panah yang mereka lontarkan tak ubahnya gerimis saja. Dalam sekejab mereka berhadapan dan terjadilah pertempuran tidak seimbang, mereka berjuang mati-matian menghambat laju Khalid dengan tombak dan pedangnya, tetapi akhirnya mereka semua tewas mengenaskan dengan luka-luka yang sangat parah, termasuk Ibnu Amr bin Haram atau Abu Jabir.

Pasukan Khalid bin Walid turun dari bukit dan menyerang pasukan muslim sehingga mereka porak poranda. Melihat manuver Ibnu Walid tersebut, pasukan Quraisy lainnya segera kembali ke arena perempuran dan menyerbu dengan gencarnya sehingga keadaan berbalik jadi kekalahan bagi pasukan muslimin, bahkan keadaan Rasulullah SAW sangat kritis, beliau terluka parah dan terjatuh ke dalam suatu lubang.

Usai perang Uhud, ketika Nabi SAW dan para sahabat memeriksa jenazah para syahid, mereka mendapati wajah Abu Jabir seperti disayat-sayat. Memang, dalam pertempuran Uhud ini kaum kafir Quraisy seakan melampiaskandendam kekalahannya di perang Badar, salah satunya dengan cara merusak jenazah para syahid, seperti yang juga terjadi pada jenazah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW.

Jabir bin Abdullah, saudara-saudaranya, dan beberapa kaum muslimin lainnya mendatangi Uhud setelah pasukan Quraisy meninggalkan arena pertempuran. Ia menangisi jazad ayahnya karena keadaannya yang sangat mengenaskan. Bahkan Fathimah, putri Nabi SAW sempat menjerit melihat keadaan wajah Abu Jabir. Melihat reaksi mereka ini, Nabi SAW bersabda, "Janganlah kalian menangis, sesungguhnya para malaikat terus menerus menaunginya dengan sayap-sayap mereka…!"

Beberapa hari berselang setelah perang Uhud tersebut, Jabir bin Abdullah mendatangi Nabi SAW dan mengatakan bahwa ayahnya yang telah syahid tersebut meninggalkan hutang, dan juga banyak tanggungan keluarga. Ia menyangka ayahnya akan terhalang memperoleh pahala karena tanggungan yang ditinggalkannya tersebut, sebagaimana pernah disabdakan beliau. Tetapi Nabi SAW dengan tersenyum bersabda kepadanya, "Maukah aku beritahukan kabar gembira tentang apa yang dijumpai ayahmu di sisi Allah."

"Tentu, ya Rasulullah, " Kata Jabir.

Kemudian Nabi SAW menceritakan bahwa Allah SWT menjadikan Abu Jabir hidup lagi dan mengajaknya berbicara langsung, padahal tidak ada seorangpun yang diajak berbicara oleh Allah melainkan dari balik tabir. Allah berfirman kepadanya, "Wahai hamba-Ku, apa yang engkau inginkan!!"

"Ya Allah," Kata Abu Jabir, "Kembalikanlah aku ke bumi agar aku dapat berjuang dan sekali lagi gugur syahid di jalan-Mu…!!"

Allah berfirman kepadanya, "Telah tetap ketentuan-Ku, bahwa siapapun yang telah mati, tidak akan dikembalikan lagi ke bumi…!!"

"Kalau memang demikian, Ya Allah, sampaikanlah keadaanku ini kepada orang-orang di belakangku," Kata Abu Jabir.

Maka turunlah Surah Ali Imran ayat 169-170 sebagai realisasi permintaan Abdullah bin Amr ini. Yakni Allah berfirman, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Sebagian riwayat lain menyebutkan, asbabun nuzul ayat tersebut adalah kesedihan sebagian besar sahabat karena syahidnya para sanak saudara mereka dalam Perang Uhud, dan tubuhnya dirusak oleh orang-orang kafir Quraisy. Seolah-olah Allah memberikan hiburan kepada para sahabat yang masih hidup, sekaligus memberi motivasi dan semangat untuk terus berjihad di jalan Allah.

Abu Jabir dimakamkan dalam satu lubang dengan sahabatnya yang juga syahid di Perang Uhud, yakni Amr bin Jamuh. Nabi SAW menyatakan bahwa dua orang itu bersahabat dan saling sayang menyayangi selagi hidup di dunia, sehingga sudah sepantasnya jika mereka tetap bersama dalam satu pemakaman.

Sa'ad Bin Ubadah

Sa'd bin Ubadah adalah sahabat Anshar pada angkatan pertama, ia memeluk dan mengukuhkan keislamannya di hadapan Nabi SAW pada Ba'iatul Aqabah kedua. Ia seorang tokoh dari suku Khazraj, putra dari Ubadah bin Dulaim bin Haritsah, seorang tokoh yang terkenal kedermawanannya di masa jahiliah. Ubadah bin Dulaim selalu menyediakan makanan bagi tamu dan musafir siang dan malam, pada siang hari ia menugaskan orang untuk mengundang siapa saja untuk makan dirumahnya. Dan pada malam harinya ia menyuruh seseorang lainnya menyalakan api sebagai petunjuk jalan, sekaligus mengundang orang untuk makan malam di rumahnya. Tidak heran jika sifat dan sikap tersebut menurun pada diri anaknya, Sa'd bin Ubadah.

Pada masa awal hijrah di Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan orang-orang Muhajirin, yang kebanyakan dalam keadaan miskin karena meninggalkan harta kekayaannya di Makkah dengan seorang sahabat Anshar. Umumnya para sahabat Anshar menjamin dan melayani dua atau tiga orang sahabat Muhajirin, tetapi Sa'd bin Ubadah membawa 80 orang Muhajirin ke rumahnya. Karena kebiasaan sejak nenek moyangnya yang sulit atau tidak bisa ditinggalkannya itu, Sa’d pernah berdoa, "Ya Allah, tiadalah (harta) yang sedikit ini memperbaiki diriku, dan tidak pula baik bagiku…."

Nabi SAW mendengar doanya, dan beliau memahami bahkan sangat memuji sifat dermawannya tersebut. Maka beliau ikut mendoakannya, "Ya Allah, berilah keluarga Sa'd bin Ubadah, karunia dan rahmat-Mu yang tidak terbatas!!”

Karena doa Rasulullah SAW tersebut, Sa'd bin Ubadah beserta keluarganya selalu dilimpahi kelebihan harta sehingga "tradisi" kedermawanan seolah menjadi "brandmark" keluarga besar ini. Putranya, Qais bin Sa'd juga mempunyai "kegemaran" yang sama, bahkancenderung berlebihan dalam bersedekah pada usianya yang masih sangat muda. Sa'd tidak pernah melarang atau mencegahnya, sehingga Abu Bakar dan Umar pernah memperbincangkan "gaya hidup" pemuda tersebut dengan berkata, "Kalau kita biarkan pemuda ini dengan kedermawanan dan kepemurahannya, pastilah akan habis tandas kekayaan orang tuanya….!"

Ketika pembicaraan tersebut sampai kepada Sa'd bin Ubadah, ia berkata, "Siapakah yang dapat membela/memberi hujjah diriku atas Abu Bakar dan Umar? Diajarkannya kepada anakku bersikap kikir dengan memakai namaku…!"

Sa'd bin Ubadah juga terkenal sebagai tokoh Madinah yang sering memberikan perlindungan dan menjamin keamanan perdagangan dari mereka yang lewat atau berkunjung di Madinah, termasuk kafilah dagang kaum Quraisy. Ada peristiwa menarik yang terjadi pada Ba'iatul Aqabah kedua.

Sekitar tujuh puluh lima atau lebih orang Yatsrib yang berba'iat kepada Nabi SAW sebenarnya hanya sebagian saja dari rombongan haji (tradisi jahiliah) dari kota tersebut yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika ba'iat yang dilakukan pada sepertiga malam akhir di salah satu hari tasyriq telah selesai, tiba- tiba ada orang yang memergoki pertemuan tersebut dan berteriak memanggil kaum Quraisy. Nabi SAW segera menyuruh mereka kembali ke perkemahannya, berbaur dengan kaum musyrikin Yatsrib lainnya dan pura-pura tidur.

Pada pagi harinya ketika kaum Quraisy mendatangi perkemahan orang Yatsrib untuk mengecek kebenaran berita tentang pertemuan (sebagian) mereka dengan Nabi SAW, dan tentu saja Abdullah bin Ubay menolak dengan keras ‘tuduhan’ tersebut. Memang, selama ini penduduk Yatsrib selalu memberitahukan kepada Abdullah bin Ubay, tindakan dan keputusan yang mereka ambil, mereka tidak berani melangkahinya begitu saja. Tetapi pada peristiwa ini, untuk pertama kalinya mereka menyembunyikan sikapnya dari pemimpinnya tersebut, yang kemudian hari menjadi pimpinan dan tokoh dri kaum munafik. Kaum kafir Quraisy tidak bisa berbuat banyak dengan penolakannya itu, tetapi diam-diam mereka melakukan penyelidikan.

Ketika musim haji telah selesai dan para peziarah telah pulang ke daerahnya masing-masing, kaum kafir Quraisy memperoleh bukti dan saksi kuat bahwa orang-orang Yatsrib memang terlibat dalam pertemuan tersebut. Merekamelakukan pengejaran, tetapi terlambat, hanya saja mereka mendapati dua orang yang tertinggal, yakni Sa'd bin Ubadah dan Mundzir bin Amir. Mereka melepaskan Mundzir karena tampak lemah, sedang Sa'd diikat dan dibawa kembali ke Makkah.

Sampai di Makkah, Sa'ddikerumuni, lalu dipukul dan disiksa layaknya kalangan miskin di Makkah yang memilih memeluk Islam, padahal ia adalah tokoh terpandang dan dermawan yang sangat dihormati di Madinah. Inilah sahabat Anshar pertama yang disiksa karena keislamannya, atau bisa jadi Sa'd satu-satunya sahabat Anshar yang "menikmati" pengalaman pahit sahabat muhajirin yang memeluk Islam, yakni penyiksaan tokoh-tokoh kaum kafir Quraisy. Ketika penyiksaan makin memuncak dan ia mulai tampak lemah, ada seseorang yang berkata kepadanya, "Tidak adakah kalangan di antaramu yang mengikat jaminan perlindungan dengan salah seorang Quraisy?"

"Ada..!!" Kata Sa'd bin Ubadah.

"Siapa orang Quraisy itu?"

"Jubeir bin Muth'im dan Harits bin Harb bin Umayyah…!"

Sa'd bin Ubadah memang pernah memberikan jaminan perlindungan kepada kafilah dagang mereka berdua ketika melewati Madinah, bahkan menjamu mereka dengan baik. Lelaki itu menghubungi kedua tokoh Quraisy tersebut dan mengabarkan tentang lelaki Khazrajbernama Sa'd bin Ubadah yang disiksa. Segera saja keduanya datang ke tempat penyiksaan dan membebaskan Sa'd dari tangan-tangan jahat orang kafir Quraisy.

Sa'd segera meninggalkan Makkah menyusul rombongan haji Yatsrib, khususnya sekelompok orang yang telah memeluk Islam. Mereka ini harap-harap cemas menunggu kedatangan Sa'd dan berembug untuk kembali ke Makkah menyusul Sa'd. Tetapi belum sempat mereka mewujudkan niat tersebut, terlihat Sa'd datang dalam keadaan luka dan lemah.

Sa'd bin Ubadah adalah seorang yang mempunyai karakter keras dan teguh pendirian, tidak mudah digoyahkan oleh pendirian dan pendapat orang lain. Pengalaman pahit setelah Ba'iatul Aqabah kedua tersebut makin mengukuhkan kekerasan sikapnya dalam membela Nabi SAW dan Islam, terkadang terlihat menjadi ekstrim seperti yang terjadi saat Fathul Makkah.

Fathul Makkah, berawal dari pelanggaran kaum Quraisy atas perjanjian Hudaibiyah. Bani Bakr yang menjadi sekutu Quraisy menyerang Bani Khuza'ah yang menjadi sekutu Nabi SAW di Madinah, bahkan kaum Quraisy diam-diam memberikan dukungan senjata dan personal kepada Bani Bakr. Ketika orang-orang Bani Khuza'ah berlindung ke tanah suci Makkah yang memang diharamkan menumpahkan darah di sana, mereka tetap membunuhnya, dan kaum Quraisy sebagai "pengelola" tanah suci Makkah membiarkan itu terjadi.

Beberapa orang Bani Khuza'ah pergi melaporkan peristiwa tersebut kepada Nabi SAW di Madinah. Beliau-pun menghimpun pasukan besar berbagai kabilah, dan masing-masing dipimpin oleh tokoh kabilahnya. Dan bendera kaum Anshar diserahkan kepada Sa'd bin Ubadah. Ketika mulai memasuki Kota Makkah, terbayanglah di pelupuk matanya bagaimana Nabi SAW dan para sahabat pada masa awal mengalami berbagai siksaan dan ancaman dari kaum kafir Quraisy. Terbayang juga bagaimanaperilaku mereka ketika merusak dan menyayat jenazah para syahid di medan perang Uhud. Bahkan masih jelas terasa siksaan yang dialaminya ketika ia selesai mengikuti Ba'iatul Aqabah kedua. Karena itu ia berkata, "Hari ini hari berkecamuknya perang, hari ini dihalalkan hal yang disucikan, hari ini Allah akan menghinakan Quraisy!!"

Perkataannya ini terdengar oleh Abu Sufyan yang merupakan pucuk pimpinan kaum Quraisy, walau saat itu ia telah mulai tertarik untuk memeluk Islam, dan melaporkannya kepada Nabi SAW. Utsman dan Abdurrahman bin Auf juga mengkhawatirkan sikapnya, bahkan Umar bin Khaththab berkata, "Ya Rasulullah, dengarkanlah apa yang dikatakan oleh Sa'd bin Ubadah, saya khawatir kalau-kalau ia akan menyerang kaum Quraisy hingga tumpas…!!”

Mendengar pendapat-pendapat tersebut, Nabi bersabda, "Justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka'bah, dimuliakannya kaum Quraisy…"

Setelah itu Nabi SAW mengirim utusan untuk memerintahkan Sa'd menyerahkan bendera Anshar kepada anaknya, Qais bin Sa'd. Sebagian riwayat menyebutkan bendera tersebut diserahkan kepada Ali atau Zubair bin Awwam. Tentu saja dengan senang hati Sa'd memenuhi perintah Nabi SAW tersebut, karena apa yang dikatakannya, hanyalah ekspresi dirinya dalam rangka membela Nabi SAW dan Islam, bukan sikap dendam pribadi.

Sikap tegas dan jauh dari kemunafikan tampak pada diri Sa'd bin Ubadah seusai perang Hunain. Pada pertempuran tersebut, banyak sekali ghanimah (rampasan perang) yang diperoleh pasukan muslim, tetapi Nabi SAW mendahulukan membagikannya kepada orang-orang Quraisy yang baru memeluk Islam, bahkan ada yang masih menunda memeluk Islam, padahal pada awal peperangan mereka ini sempat meninggalkan arena pertempuran. Sementara kepada kaum Anshar, beliau tidak menyisakan sedikitpun dari ghanimah tersebut, padahal justru mereka yang banyak berperan melindungi Nabi SAW, dan akhirnya berhasil membalikkan keadaan dan memenangkan pertempuran.

Para sahabat Anshar hanya berbisik-bisik memperbincangkan sikap beliau tanpa berani menyampaikannya kepada Nabi SAW. Keadaan ini tidak disukai oleh Sa'd, karena itu ia menghadap Nabi SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, golongan Anshar merasa kecewa atas sikap engkau dalam hal harta rampasan (ghanimah) yang kita peroleh. Engkau membagi-bagikan kepada kaummu dan pemimpin-pemimpin Quraisy secara berlebih, sementara kepada kaum Anshar engkau tidak memberikan sedikitpun…"

Nabi SAW tersenyum mendengar perkataan Sa'd yang terus terang tersebut, dan bersabda, "Bagaimana dengan dirimu (sikapmu) sendiri wahai Sa'd?"

"Ya Nabiyallah, aku ini tidak lain hanyalah salah satu dari kaumku saja…!!"

Nabi SAW memerintahkan Sa'd mengumpulkan kaum Anshar di suatu tempat. Sa'd melaksanakan perintah beliau, beberapa orang Muhajirin ingin ikut serta tetapi Sa'd menolaknya, tetapi pada sebagian yang lain Sa'd membolehkan mereka hadir dalam kumpulan kaum Anshar tersebut. Setelah semua berkumpul, Sa'd menjemput Nabi SAW.

Di majelis kaum Anshar ini Nabi SAW berbicara panjang lebar mengenai apa yang menjadi ganjalan dan beban terpendam dalam diri mereka soal ghanimah, beliau juga mengingatkan tentang masa jahiliah dan keislaman mereka. Terlalu panjang untuk dijabarkan pada kisah Sa'd ini, tetapi pada ujungnya, Nabi SAW seolah menetapkan bagaimana sebenarnya ketinggian dan keutamaan kaum Anshar di mata Allah dan Rasul-Nya, dan itu semua tidak terlepas dari "keberanian" Sa'd berterus terang kepada beliau walaupun tampaknya kurang sopan dan tidak etis.

Antara lain Nabi SAW bersabda, "….Tidakkah kalian rela, wahai kaum Anshar, mereka pulang membawa unta, domba dan harta lainnya, sedang kalian pulang membawa Rasulullah ke tanah tumpah darah kalian. Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, kalau tidaklah karena hijrah, tentulah aku ini termasuk kaum Anshar. Jika orang-orang menempuh jalan di celah gunung, dan orang Anshar menempuh jalan di celah lainnya, tentulah aku mengikuti jalan yang ditempuh orang-orang Anshar……Ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak orang-orang Anshar, cucu orang-orang Anshar, generasi demi generasi….."

Orang-orang Anshar, termasuk Sa'd menangis sesenggukan mendengar penjelasan Nabi SAW tersebut, hingga air mata membasahi jenggot-jenggot mereka. Dengan haru mereka berkata, "Kami ridha dengan pembagian Allah dan Rasul-Nya….!!"

Ketika Nabi SAW wafat, dan para tokoh muslimin bertemu di saqifah Bani Saidah untuk menentukan khalifah pengganti beliau, Sa'd berdiri pada kelompok sahabat Anshar yang menuntut agar kekhalifahan dipegang kaum Anshar. Tetapi ketika musyawarah mengarah kepada dipilihnya Abu Bakar, yang memang sudah sangat dikenal keutamaannya di sisi Rasulullah SAW, ia bersama kaum Anshar yang mendukungnya dengan ikhlas hati berba'iat kepada Abu Bakar dan melepaskan tuntutannya.

Ketika Abu Bakar wafat dan Umar terpilih sebagai khalifah, Sa'd ikut berba'iat kepadanya. Hanya saja ia sadar, Umar mempunyai watak keras dan teguh pendirian seperti dirinya juga, yang bisa saja sewaktu-waktu terjadi perbenturan yang berakibat buruk. Sangat mungkin terjadi perpecahan karena kaum Anshar pasti akan berdiri di belakangnya menghadapi Umar, karena itu, ia bermaksud pindah dari tanah kelahiran yang dicintainya. Namun seolah tidak ingin kehilangan sikap terus terangnya dan takut dihinggapi kemunafikan, ia mendatangi Umar dan berkata, "Demi Allah, sahabat anda, Abu Bakar lebih aku sukai daripada anda…!!"

Setelah itu Sa'd pergi ke Syria (Syam), tetapi ketika ia singgah di Hauran (sudah termasuk wilayah Syam), ia sakit dan meninggal dunia di sana.

Kultsum Bin Hikam

Dalam suatu pasukan atau misi dakwah yang dikirim Rasulullah SAW, Kultsum bin Hikam ditugaskan beliau sebagai imam dalam melaksanakan shalat. Ia mempunyai kebiasaan unik, setiap selesai membaca Al Fatihah dan surat yang dipilihnya, ia selalu menutupnya dengan membaca surat al Ikhlas (Qul huwallahu ahad…dst) sebelum ruku, pada setiap rakaat pada semua shalatnya.Beberapa orang anggota pasukan sempat memperbincangkan masalah tersebut. Mereka menganggapnya sebagai hal baru yang dibuat-buat (bid’ah) karena Nabi SAW tidak pernah melakukannya. Tetapi mereka juga tidak berani menegur karena ia merupakan imam pilihan Nabi SAW.

Ketika kembali ke Madinah, barulah mereka melaporkan hal tersebut kepada Nabi SAW tentang kebiasaan unik Kultsum tersebut. Atas pengaduan ini, beliau bersabda, "Tanyakanlah langsung kepadanya mengapa ia berbuat demikian..!!"

Mereka segera menemui Kultsum dan menanyakan alasannya berbuat seperti itu sebagaimana diperintahkan Nabi SAW. Kultsum berkata, "Karena dalam ayat-ayat tersebut (yakni surat al Ikhlas), terdapat kandungan sifat Dzat Yang Maha Pemurah, maka saya senang sekali membacanya dalam shalat…!!"

Mereka membawa jawaban Kultsum ini kepada Nabi SAW, dan beliau bersabda, "Kabarkanlah kepadanya (Kultsum), bahwa Allah SWT mencintai dirinya karena kebiasaannya dalam shalat itu…!!"

Sungguh keberuntungan bagi Kultsum, mungkin hanya ijtihadnya sendiri membaca Surat al Ikhlas dalam setiap rakaat shalat, dengan dalih adanya sifat Pemurah Allah dalam surat tersebut. Tetapi ternyata itu menjadi sebab ia dicintai Allah SWT.

Farwah bin Amr Al Judzamy

Farwah bin Amr al Judzamy RA adalah seorang Arab yang menjadi gubernur di bawah kekuasaan Romawi di Mu'an, sebuah wilayah di Syam. Ia juga menjadi komandan dari pasukan Arab yang tunduk di bawahkekaisaran Romawi. Dalam perang Mu'tah, dimana tiga komandan dari 3.000 pasukan muslimin gugur secara berturutan, Farwah menjadi salah satu komandan dari 200.000 tentara Romawi, khususnya yang berkebangsaan Arab.

Walau pasukannya boleh dibilang menang, tetapi timbul kekaguman pada diri Farwah atas kehebatan dan sikap heroik pasukan muslim, yang notabene pasukan Arab seperti dirinya. Mereka mampu lolos dari kehancuran total walaupun hanya berjumlah tiga ribu pejuang. Padahal 200.000 personal pasukan Romawi mengepung mereka dari segala arah. Saat itu yang mengambil alih tampuk pimpinan pasukan muslimin adalah Khalid bin Walid.

Setelah beberapa waktu berlalu, Farwah bin Amr menyatakan dirinya masuk Islam dan ia mengirim utusan kepada Nabi SAW di Madinah untuk mengabarkan keislamannya, sambil menghadiahkan seekor baghal berwarna putih kepada beliau. Tetapi keputusannya ini harus dibayar mahal, penguasa Romawi menangkap dan memenjarakannya. Ia diberi dua pilihan, keluar dari Islam atau mati. Walau diberi waktu yang cukup untuk memikirkan pilihannya, ternyata pilihan Islam adalah harga mati bagi Farwah, karena itu penguasa Romawi menyalibnya di dekat mata air Afra' di Palestina, setelah itu mereka memenggal lehernya.

Karena kecongkakan dan sikap sewenang-wenang penguasa Romawi tersebut, Nabi SAW menghimpun pasukan besar di bawah pimpinan Usamah bin Zaid untuk mengamankan wilayah perbatasan dan menyerang pasukan Romawi jika mereka melanggar batas dan kehormatan orang-orang muslim. Tetapi pasukan ini sempat tertunda karena Nabi SAW wafat, dan diteruskan oleh khalifah Abu Bakar.

Khansa binti Amr

Tumadhir binti Amr bin Harits, atau lebih dikenal dengan nama Khansa adalah seorang penyair wanita yang cukup terkenal pada masa jahiliah. Ketika Nabi SAW telah berada di Madinah, bersama beberapa orang kaumnya dari kabilah Bani Sulaim, ia datang menghadap beliau untuk memeluk Islam. Ia mempunyai empat orang anak lelaki yang kesemuanya ikut memeluk Islam, dan berhijrah untuk tinggal bersama Nabi SAW di Madinah.

Kemampuan Khansa melantunkan syair cukup dikagumi Rasulullah SAW. Ketika Adi bin Hatim memeluk Islam, ia mengatakan kepada Nabi SAW, bahwa penyair paling ulung adalah Amr al Qais, orang yang paling pemurah adalah Hatim bin Sa’d dan penunggang kuda paling pandai adalah Amr bin Ma’dikarib. Tetapi Nabi SAW bersabda, “Wahai Ibnu Hatim, bukan mereka!! Penyair paling ulung adalah Khansa binti Amr, orang yang paling pemurah adalah Muhammad (Rasulullah SAW), dan orang yang paling pandai menunggang kuda adalah Ali bin Abu Thalib..!”

Sungguh penghargaan yang sangat tinggi terhadap Khansa, karena beliau ‘mensejajarkan’ namanya dengan nama beliau sendiri dan Ali bin Abu Thalib.

Sejak keislamannya, Khansa tidak hanya bersemangat dalam melantunkan syair, tetapi ia terjun dalam beberapa medanpertempuran, baik ketika bersama Rasulullah SAW ataupun setelah beliau wafat. Dengan syair-syairnya, ia membangkitkan dan membakar semangat para sahabat untuk terus berjuang menegakkan kalimat-kalimat Allah. Terkadang ketika pasukan dilanda kelelahan dan kejenuhan, ia juga melantunkan syair-syairnya sehingga mereka kembali segar dan bersemangat

Ketika terjadi perang Qadisiyah pada tahun 16 H, pada masa khalifah Umar bin Khaththab, Khansa memotivasi anak-anaknya untuk turut serta dalam perang tersebut. Keahliannya bersyair digunakannya untuk mempengaruhidan memberikan semangat jihad pada mereka. Diingatkannya tentang kemuliaan berjuang di jalan Allah, keteguhan ayah dan paman-pamannya dalam membela agama Allah. Sampai akhirnya ia berkata, "Jika besok kalian bangun dalam keadaan sehat, berjihadlah kalian dengan penuh keberanian dan dengan mengharap pertolongan Allah. Majulah dengan semangat juang yang tinggi, dan masuklah dalam pertempuran, lawanlah para pemimpin orang-orang kafir itu, insya Allah kalian akan masuk surga dengan penuh kemuliaan dan kehormatan."

Ucapan-ucapannya tersebut dirangkaikannya dalam sebuah rangkaian syair yang sangat indah, dan amat membekas di hati putra-putranya sehingga semangat mereka begitu menggelora untuk segera terjun dalam pertempuran tersebut. Keesokan harinya, mereka berempat berjuang dengan perkasa melawan pasukan Persia. Mereka bertempur sambil membaca syair-syair ibunya, sampai akhirnya satu persatu mereka menemui syahidnya.

Ketika berita ini disampaikan kepada Khansa, sang ibu yang kehilangan empat putranya tersebut sama sekali tidak bersedih, justru ia bersyukur dan berkata, "Alhamdulillah, Segala Pujian hanya kepada Allah, yang telah memuliakan aku, dengan menjadikan anak-anakku sebagai syuhada’. Semoga dengan syahidnya mereka, dosa-dosaku akan diampuni oleh Allah, dan aku berharap dengan rahmat-Nya, agar bisa dikumpulkan dengan mereka di surga-Nya."Setelah hidup menyendiri, Khansa tetap mengabdikan dirinya membakar semangat kaum muslimin dengan syair-syairnya. Umar sangat menghargai dan selalu memberi santunan kepada Khansa, sebagaimana dahulu Rasulullah SAW melakukannya. Tidak lama setelah Utsman bin Affan menggantikan Umar, Khansa wafat di sebuah perkampungan Badui, yakni pada tahun 24 H.

Hisyam Bin Hakim Bin Hizam

Hisyam Bin Hakim Bin Hizam
Hisyam bin Hakim bin Hizam adalah sahabat Nabi SAW, putra dari seorang sahabat juga. Ayahnya, Hakim bin Hizam pernah mendapat ‘amalan’ khusus dari Rasulullah SAW, yakni agar ia bersikap qana’ah (merasa cukup dengan rezeki dari Allah) dan tidak meminta-minta. Maka ketika Islam mengalami kejayaan dan harta melimpah ruah memenuhi baitul mal pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, ia menolak pembagian harta yang menjadi haknya, dan memilih tetap hidup sederhana dan qana’ah sebagaimana diwasiatkan Rasulullah SAW.

Beberapa tahun berselang setelah Nabi SAW wafat, Hisyam bin Hakim sedang berjalan-jalan di Syam, dan ia melihat beberapa orang petani sedang dijemur di terik matahari dan dituangkan minyak di atas kepala mereka. Melihat tindakan penguasa muslim terhadap penduduknya seperti itu, Hisyam menanyakan permasalahannya, dan seseorang berkata, "Mereka disiksa seperti itu karena tidak membayar pajak….!!"

Mendengar penjelasan itu, spontan Hisyam berkata dengan nada tinggi, "Saya bersaksi bahwa saya benar-benar mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia….!!" Setelah itu Hisyam mendatangi kediaman gubernur Syam. Ia mengkritisi ‘kebijakan’ sang gubernur tersebut, dan menyampaikan ‘ancaman’ Rasulullah SAW. Ia memerintahkan agar para petani tersebut dilepaskan dari siksaannya, dan ternyata sang gubernur mematuhi saran yang disampaikanoleh Hisyam.

Thariq Ash Sholidalani

Thariq Ash Sholidalani Dan Syihab R.huma
Pada awal dakwahnya di Makkah, Nabi SAW memang mendapat perlawanan yang tidak tanggung-tanggung. Suatu ketika kaum musyrik bermusyawarah di rumah Abu Jahal untuk menyikapi dakwah Nabi SAW. Masuklah Thoriq ash Sholidalani ke rumah Abu Jahal dan berkata, "Jika kalian ingin membunuh Muhammad, itu sangat mudah asal kalian setuju dengan kata-kataku..!!"

"Bagaimana caranya Thariq?" Tanya mereka.

"Ketika Muhammad sedang duduk bersandar di dinding Ka'bah, salah satu dari kalian naik ke atas Ka'bah dan meluncurkan batu besar ke tempat duduknya, pasti ia akan mati seketika..!!" Kata Thoriq.

Usul tersebut sepertinya mendapat respon positif, dan salah seorang dari mereka, yakni Syihab berkata, "Jika diijinkan, biarkanlah aku yang meluncurkan batu dari atas kata Ka'bah…!!"

Para pemuka Quraisy itupun menyetujui rencana tersebut. Suatu ketika Nabi SAW duduk bersandar di dinding Ka' bah seperti biasanya. Sekelompok kaum Quraisy yang telah menunggu kesempatan itu segera melaksanakan rencananya. Syihab menaiki Ka'bah pada sisi yang lain dengan membawa batu besar yang telah disiapkannya. Thoriq ash-Sholidalani dan beberapa pemuka Quraisy mengamati dari kejauhan.

Setelah berada tepat di atas Nabi SAW, Syihab meluncurkan batu besar yang dibawanya ke arah kepala Nabi SAW. Tetapi tiba-tiba saja dinding Ka'bah bergeser atau merekah dan muncul batu lain dari dinding tersebut yang membelokkan arah jatuhnya batu besar yang dijatuhkan Syihab. Batu tersebut jatuh di pelataran Ka'bah, agak jauh dari tempat Nabi SAW bersandar sehingga beliau selamat. Setelah itu dinding Ka'bah merapat kembali seperti semula. Syihab mengucak matanya seolah tak percaya melihat peristiwa yang menakjubkan tersebut, kemudian segera turun menghampiri Nabi SAW dan mengucapkan syahadat memeluk Islam. Thariq ash Sholidalani yang juga terperanjat melihat peristiwa tersebut, dengan segera menghampiri beliau dan menyusul Syihab memeluk Islam.

Amir Bin Akwa

Amir bin Amr bin al Akwa, adalah saudara dari Salamah bin Akwa, seorang remaja yang Rasulullah SAW menggelarinya sebagai Pasukan Pejalan Kaki Terbaik. Karena itu Amir pun lebih dikenali dengan nama Amir bin Akwa. Ketika terjun dalam perang Khaibar, dua bersaudara al Akwa dari bani Aslam ini bahu membahu memerangi kaum Yahudi. Amir bin Akwa menyenandungkan suatu syair untuk membangkitkan semangat, "Kalau tidak karena engkau(wahai Muhammad), tidaklah kami mendapat hidayah, tidak shalat dan berzakat, Kami dicukupkan dengan kelebihan engkau, maka turunkanlah atas kami ketenangan, Dan teguhkanlah kaki-kaki kami menghadapi musuh dalam peperangan ini…!!"


Nabi SAW diberitahu para sahabat tentang syair yang disenandungkan tersebut. Beliau menanyakan siapa penyenandungnya.

"Amir bin Akwa…!!" Kata para sahabat.

"Semoga Allah akan mengampuni Amir!!" Kata Rasulullah SAW, suatu pertanda beliau senang dengan apa yang dilakukannya.

Tetapi para sahabat-pun menangkap pertanda pula. Jika beliau mengkhususkan doa pada seseorang dalam suatu pertempuran, pastilah ia akan menemui syahid. Amir memahami pula hal ini, dan ia menjadi sangat gembira dan bersemangat menggempur musuh.

Ketika pertempuran berkecamuk dengan sengitnya, muncullah Marhab, seorang pahlawan Yahudi yang sudah sangat dikenal di daerah Khaibar dan sekitarnya akan keberanian dan kepiawaiannya dalam adu senjata. Ia menantang duel sambil menyombongkan nama besarnya.Tanpa banyak pertimbangan, Amir meloncat ke hadapan Marhab sambil mengucapkan perkataan untuk mengimbangi kesombongan Marhab, "Penduduk Khaibar tahu, akulah Amir, pahlawan perang yang perkasa, menyerbu musuh seorang diri tanpa takut apa-apa…!!"

Dua orang yang inipun bertempur dengan serunya, tampaknya kekuatan mereka berimbang. Pada suatu kesempatan, posisi Amir di atas angin dan sangat menguntungkan, ia siap memberikan pukulan terakhir dengan pedangnya untuk menghabisi perlawanan musuhnya. Tetapi tanpa disadarinya,hulu pedangnya melentur dan ujung pedangnya berbalik mengenai ubun-ubun kepalanya sendiri hingga ia tewas seketika. Pasukan muslim yang melihat peristiwa tersebut spontan berkata, "Kasihan Amir, ia terhalang memperoleh mati syahid…!!"

Salamah bin Akwa yang berada tak jauh dari tempat saudaranya itupun merasa kecewa dan menyesal atas kejadian yang menimpa Amir. Ia beranggapan seperti kebanyakan sahabat lainnya, bahwa Amir mati karena bunuh diri, walau itu dilakukan tanpa sengaja. Tentulah ia kehilangan pahala berjihad dan kematian sebagai syahid.

Ketika perang pada hari itu usai, Salamah menceritakan peristiwa yang menimpa Amir kepada Nabi SAW sambil menangis, dan ia bertanya, "Wahai Rasulullah, benarkah pahala Amir gugur karena kematiannya tersebut?"

Rasulullah SAW dengan arif memberikan jawaban yang menentramkan, "Ia gugur sebagai pejuang (yakni mati syahid), bahkan ia memperolah dua macam pahala. Dan sekarang ini ia sedang berenang di sungai-sungai surga…!!!"

Hati Salamah menjadi senang dengan penjelasan Nabi SAW, bahkan ‘pandangan tembus’ beliau atas saudaranya yang telah syahid tersebut meningkatkan semangatnya untuk terus berjuang membela panji-panji agama Allah.

Abu Darda

Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu (wafat 32 H)

Nama lengkapnya adalah Uwaimir bin Zaid bin Qais, seorang sahabat perawi hadist dari Anshar, dari kabilah Khajraj, ia hapal al-Quran dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.

Dalam perang Uhud Rasulullah bersabda mengenai dirinya “ Prajurit berkuda paling baik adalah Uwaimir” Beliau ini dipersaudarakan oleh Rasulullah dengan Salman Al Farisi. Dia mengikuti semua peperangan yang terjadi setelah perang Uhud.

Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman, Abu Darda’ diangkat menjadi Hakim di daerah Syam, Ia adalah mufti (pemberi fatwa) penduduk Syam dan ahli Fiqh penduduk Palestina.

Ia meriwayatkan hadits dari Sayyidah Aisyah dan Zaid bin Tsabit, sedangkan yang meriwayatkan darinya ialah anaknya sendiri Bilal dan istrinya Ummu Darda’.

Hadits yang dia riwayatkan mencapai 179 hadits.

Tentang dia Masruq berkata:” Aku mendapatkan ilmu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam pada enam orang diantaranya dari Abu Darda“.

Ia wafat pada tahun 32 H di dasmaskus.

( disalin dari Biografi Abu Darda’ dalam Al-Ishabah no.6119 karya Ibn Hajar Asqalani)

Wahsyi

Wahsyi bin Harb (Arab:وحشي بن حرب, Julukan: Abi Dasamah) adalah seorang bekas budak kulit hitam dari Ethiopia milik Hindun binti Utbah yang menjadi terkenal karena mampu membunuh paman Nabi Muhammad SAW
yang memiliki julukan "Singa Allah" yakni, Hamzah bin Abdul Muthalib
dan ia juga berhasil membunuh Musailamah al-Kazzab saat pertempuran Yamamah pada zaman Khalifah Abu Bakar.
Dijanjikan kebebasan

Hindun, majikannya saat itu, menjanjikan akan membebaskan Wahsyi bila ia mampu membunuh salah seorang di antara Nabi Muhammad SAW
sendiri, Ali bin Abi Thalib
atau Hamzah
sebagai balas dendam atas kematian ayahnya pada perang Badar. Wahsyi kemudian menjawab:

    "Aku tidak akan mampu mendekati Muhammad sama sekali, karena para sahabatnya selalu berada disampingnya lebih dekat dari siapapun. Ali sangat waspada dalam medan perang. Sedangkan Hamzah berkelahi dengan sangat brutal sehingga saat pertempuran dia tidak memperhatikan sekelilingnya dan ada kemungkinan aku bisa menjatuhkannya dengan menggunakan tipuan atau menyerangnya saat ia lengah"

Hindun puas dengan jawaban ini dan menjajikan kemerdekaannya bila ia berhasil. Berkenaan dengan keberhasilannya membunuh Hamzah pada perang Uhud,

Wahsyi bercerita:
    "Saat perang Uhud, aku sedang mengikuti Hamzah. Ia sedang menyerang jantung tentara Quraish bagaikan singa yang marah. Ia membunuh siapapun yang mampu dijangkaunya. Aku bersembunyi di belakang pepohonan dan bebatuan agar dia tidak melihatku. Ia terlalu sibuk bertarung. Aku keluar untuk menyergapnya. Aku, sebagai orang Ethiopia terbiasa melempar lembing dan jarang meleset dari sasaran. Aku bergerak dengan gerakan tertentu dan setelah berada pada jarak tertentu dengannya melemparnya dengan lembing. Lembing itu mengenai pinggangnya dan keluar di antara kedua kakinya. Ia kemudian ingin menyerangku namun sakit yang teramat sangat mencegahnya melakukannya. Ia tetap dalam kondisi itu hingga ajalnya tiba. Kemudian aku menghampirinya dengan hati-hati dan setelah mencabut senjataku dari tubuhnya aku kembali kepada tentara Quraish dan menunggu kemerdekaanku."

Memeluk Islam dan membunuh Musailamah

Wahsyi kemudian memeluk Islam dan berhasil membunuh Musailamah al Khazzab (Musailamah si pembohong), seorang yang mengaku sebagai nabi pada pertempuran Yamamah tahun 634 Masehi.

Washi menceritakan rangkaian peristiwa tersebut sebagai berikut:

    Setelah perang Uhud aku melanjutkan hidup di Mekkah dalam waktu yang cukup lama sampai tentara Muslim menaklukkan Mekkah. Aku kemudian melarikan diri ke Tha'if, namun segera setelah itu Islam juga menjangkau daerah itu. Aku mendengar bahwa sebesar apapun dosa seseorang,i akan diampuni. Lantas aku menghadap Rasulullah dan mengucapkan syahadat. ia kemudian melihatku dan menanyakan "Apakah kau Wahsyi yang sama dengan Wahsyi dari Ethiopia?" Aku mengiyakan dan dia kembali bertanya: "Bagaimana kau dapat membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib?" Aku kemudian menceritakan peristiwa tersebut. Rasulullah kemudian berpaling dan mengatakan: "Aku tidak akan melihat wajahmu hingga Hari Berbangkit, karena musibah yang menimpa pamanku oleh tanganmu". Kemudian selama Rasulullah masih hidup aku menyembunyikan diri darinya, dan setelah wafatnya peperangan dengan Musailamah berlangsung. Aku bergabung dengan tentara Islam dan menggunakan senjata yang sama melawan Musailamah, aku berhasil membunuhnya dengan bantuan salah seorang Anshar. Jika aku membunuh orang terbaik (Hamzah) dengan senjata ini, orang terburukpun tidak akan sanggup lari darinya.

Mush'ab bin Umair

Mush'ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi Nabi Muhammad. Mush'ab berhasil memasukan ajaran Islam kepada Usayd bin Hudhayr dan sahabat Usayd yang bernama Sa'ad bin Mu'adz.
Lahir: 585 M, Mekkah, Arab Saudi
Meninggal: 625 M, Gunung Uhud, Madinah, Arab Saudi
Pasangan: Hammanah bint Jahsh
Anak: Muhammad ibn Mus`ab ibn `Umair, Abdullah ibn Mus`ab ibn `Umair
Orang tua: Umair ibn Hashim, Khunaas Bint Maalik

Mus'ab bin Umair berasal dari keturunan bangsawan dari suku Quraisy. Ia adalah salah satu sahabat yang pertama dalam memeluk Islam setelah Nabi Muhammad SAW
diangkat sebagai Nabi dan menyebarkan agama Islam.

Mus'ab bin Umair diutus oleh Nabi Muhammad SAW
untuk menyebarkan dan mengajarkan agama Islam di Madinah, setelah orang-orang dari Madinah datang menyatakan keislamannya. Ia di Madinah hingga Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah. Mus'ab bin Umair mati syahid di Pertempuran Uhud.

Abu Thufail al-Laitsi

Abu Thufail Amru bin Watsilah bin Abdullah bin Amru al-Laitsi al-Kinani al-Qurasyi (bahasa Arab: أبو طفيل عامر بن واثلة بن عبدالله بن عامر الليثي الكناني القرشي), atau lebih dikenal dengan panggilan Abu Thufail saja, adalah seorang Sahabat Nabi yang wafat paling akhir, yaitu pada tahun 100 H (735 M) di kota Mekkah. Ia adalah salah seorang penyair dan pemimpin dari Bani Kinanah.

Dalam kitab Al-Isti'ab karya Ibnu Abdil Barr disebutkan bahwa Abu Thufail dilahirkan pada tahun Pertempuran Uhud (3 H/625 M).
Abu Thufail sempat mengenal kehidupan Nabi Muhammad selama delapan tahun. Ia lalu mengikuti Ali bin Abi Thalib ke Kufah dan menjadi pengikutnya. Setelah Ali wafat, riwayat yang terkuat menyatakan bahwa ia memilih tinggal di Mekkah hingga wafatnya di sana.

Ia meriwayatkan tujuh hadits Nabi Muhammad, serta meriwayatkan pula hadits dari Ali bin Abi Thalib.
Sedangkan yang meriwayatkan hadits darinya antara lain Abu Zubair, Az-Zuhri, Al-Juwairi, Ibnu Abi Hasan, Abdul Malik bin Said, Qatadah, Ma'ruf bin Kharrabudz, Walid bin Juma'i, Mansyur bin Hayyan, Qasam bin Abi Barrah, Amru bin Dinar, Kultsum bin Habib, Furat al-Fazzaz, dan Abdul Aziz bin Rufa'i.

Setelah wafatnya Abu Thufail, maka dimulailah masa Tabi'in, yaitu masa generasi kedua umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad

Hakim bin Hazm

Sahabat Nabi yang Dermawan

Keutamaan dari Hakim yang lain adalah sikap rendah hatinya, sehingga dia sangat dihormati oleh masyarakat. Dia pun selalu bersedia membantu orang lain yang sedang tertimpa kesusahan. Ayahnya bernama Hizam, yang adalah putra dari Khuwalid. Oleh karenanya, Hakim tak lain merupakan kemenakan Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah SAW, sebab Khadijah adalah putri Khuwalid.

Kelahiran Hakim bermula ketika berlangsung sebuah acara festival di Mekkah. Sang ibu yang tengah hamil tua, bersama beberapa wanita, lantas masuk ke dalam Kabah untuk berdoa, sebagaimana kebiasaan saat festival. Akan tetapi, secara tiba-tiba, perut sang ibu mendadak sakit dan merasa hendak melahirkan. Dia tidak kuat lagi untuk bergerak dan terpaksa dibaringkan di Kabah. Sesudah dipersiapkan persalinannya, tak lama kemudian seorang bayi terlahir ke dunia kemudian diberi nama Hakim.
Kaya dari kecil

Hakim dibesarkan di keluarga berada. Dia pun benar-benar menikmati statusnya sebagai anak dari keluarga terpandang di Makah. Meski demikian, orangtua Hakim tidak serta merta memanjakannya, bahkan dia diberi tanggungjawab untuk melaksanakan rifadah, yakni membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan, terutama pada musim haji. Hakim pun benar-benar melaksanakan amanat itu dengan penuh keikhlasan bahkan tak jarang dia membantu para jamaah haji menggunakan uangnya sendiri.

Hakim pun bersahabat erat dengan Muhammad SAW, jauh sebelum dia menjadi Rasul. Kendati usianya lima tahun lebih tua dari Rasulullah SAW, namun hal tersebut tidak menghalangi hubungan keduanya. Mereka kerap berbincang serta menikmati kebersamaan sebagai sahabat. Hubungan pertemanan antara Rasulullah dan Hakim menjadi kian dekat manakala Rasul menikah dengan bibinya, Khadijah binti Khuwailid.

Patut dicatat, meski lama bersahabat dengan Rasul, tapi Hakim tidak memeluk Islam hingga peristiwa penaklukan Makkah. Itu berarti lebih dari 20 tahun setelah Islam didakwahkan secara terang-terangan oleh Muhammad. Terhadap hal itu, Hakim sendiri merasa menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya sebelum memeluk agama Islam. Ketika pertama kali mengucap dua kalimah syahadat, dia benar-benar amat bersalah serta menyesali setiap detik dalam hidupnya sebagai seorang musyrik dan menolak kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya.

Sehari setelah dia masuk Islam, seorang anaknya melihat Hakim nampak menangis. Maka bertanyalah sang anak, "Mengapa ayah menangis?"
Hakim menjawab sambil tersedu, "Banyak hal yang membuatku menangis, anakku. Yang terutama adalah begitu lamanya waktu bagi aku untuk memeluk Islam. Padahal, dengan menerima ajaran Islam banyak kesempatan dapat diraih untuk melaksanakan kebaikan, namun itulah yang nyatanya telah aku lewatkan. Hidupku tersia-sia ketika terjadi perang Badar dan perang Uhud.

Setelah Uhud, aku berkata pada diri sendiri, bahwa aku tidak akan lagi membantu kaum kafir Quraisy melawan Muhammad, dan aku tidak ingin meninggalkan Makkah. Saat aku merasa ingin menerima Islam, aku segera berpaling dan melihat orang-orang di sekelilingku yang kebanyakan kaum kafir Quraisy, untuk kemudian bergabung kembali dengan mereka. Oh andai aku tidak berlaku seperti itu. Tidak ada yang dapat menghancurkan kita selain ketaatan buta kita terhadap nenak moyang. Jadi, kenapa aku tidak menangis, anakku?"

Nabi Muhammad memang terkejut manakala seorang yang rendah hati dan berpengatahun seperti Hakim, tidak memeluk Islam. Untuk waktu lama, Rasul sangat berharap bahwa Hakim serta orang-orang yang sepertinya, dapat terbuka mata hati serta menerima kebenaran Islam. Malam sebelum penaklukan Makkah, Rasulullah berkata kepada para sahabat, "Ada empat orang di Makkah yang aku ingin agar mereka bersedia memeluk agama Islam." Sahabat lantas bertanya, "Siapa saja mereka itu ya Rasul?" "Mereka antara lain Attab bin Usayd, Jubayr bin Mutim, Hakim bin Hazm dan Suhayl bin Amr," jawab Rasul. "Dengan ridho Allah, mereka akan menjadi Muslim."

Ketika pasukan Islam masuk kota Makkah dan membebaskan kota itu dari jahiliyah, Dia lantas berseru, "Siapa saja yang bersedia mengakui tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka dia akan selamat..Siapa saja yang berlindung di Kabah serta meletakkan senjatanya, dia juga akan selamat. Siapa saja yang masuk dan berlindung di rumah Abu Sufyan, dia selamat. Dan siapa saja yang masuk dan berlindung di rumah Hakim ibn Hazm, dia selamat."

Tak berapa lama, Hakim pun bersegera memeluk Islam dengan sepenuh hati. Dia lantas bertekad untuk menebus segala dosa yang pernah dia perbuat semasa hari-hari jahiliyahnya serta apapun yang pernah dia lakukan untuk menentang Rasulullah. Dia ingin menebusnya demi kemuliaan Islam.
Rajin berderma

Pada masa itu, Hakim merupakan pemilik dari sebuah bangunan bersejarah di Makkah bernama Dar an-Nadwah. Di tempat itu, biasanya para pemuka Quraysy berkumpul dan berdiskusi tentang banyak hal. Mereka pun banyak membuat rencana jahat terhadap Nabi Muhammad di sana. Hakim memutuskan untuk menjual bangunan itu, demi menghapus kenangan kelam masa lalu. Dijualnya bangunan tersebut seharga 100 ribu dirham. Seorang kemenakannya pun bertanya, "Anda telah menjual bangunan berharga itu kepada orang Quraisy, paman?"

Dengan sabar Hakim menjawab, "Kebanggaan dan kejayaan semu kini telah hilang dan berganti nilai takwa. Aku hanya menjual sebuah bangunan namun hdengan harapan dapat menggantinya nanti di syurga. Dan aku berjanji akan mendermakan seluruh hasil dari penjualan ini di jalan Allah."

Bukan hanya itu saja. Saat melaksanakan ibadah haji, dia menyembelih sekitar 100 ekor unta serta membagi-bagikan dagingnya kepada kaum fakir miskin di Makkah. Demikian pula ketika di padang Arafat, bersamanya ada sebanyak 100 budak, dan setelah memberikan masing-masing segenggam perak, para budak itu pun dibebaskannya.

Hakim memang amat dermawan dan di saat yang sama dia selalu ingin mendapatkan lebih. Seusai perang Hunain, dia meminta sejumlah pampasan perang kepada Rasul. Dia kemudian meminta lebih dan Rasul kembali memberikannya. Hakim belum lama memeluk Islam akan tetapi Rasul amat pemurah kepada mereka yang baru memeluk Islam agar mereka bersedia menerima Islam sepenuhnya. Hakim pun mendapat pampasan perang dalam jumlah cukup banyak.

Maka Rasul pun berkata kepada Hakim, "Wahai Hakim! Segala harta benda ini amatlah menarik. Siapa saja yang memilikinya dan merasa puas dengannya akan diberkahi sebaliknya siapa yang merasa tidak puas, tidak akan diberkahi. Dia akan seperti orang makan namun tidak pernah merasa kenyang. Tangan di atas lebih baik dari tangan yang di bawah."

Petuah Rasul ini sangat membekas di hatinya. Dia merasa tersentuh dan lantas berkata kepada Rasul,"Ya utusan Allah, aku tidak akan meminta kepada siapa pun selain kamu untuk apa pun." Sejarah mencatat, Hakim benar-benar menepati ucapannya. Sahabat Rasul ini tidak pernah meminta apapun juga kepada orang lain hingga dia meninggal dunia.

Utsman Bin Mazh'un

Utsman bin Mazh'un merupakan golongan awal yang masuk Islam, sebelum mencapai dua puluh orang, sehingga ia termasuk dalam golongan As Sabiqunal Awwalin
.

Pada awal keislamannya, ia pernah berhijrah ke Habasyah sampai dua kali untuk menghindari siksaan kaum kafir Quraisy.

Ketika berhembus kabar bahwa orang-orang Quraisy telah menerima Islam, ia kembali ke Makkah. Tetapi ternyata itu hanya kabar bohong, bahkan mereka telah bersiap untuk menangkap dan menyiksa para sahabat yang baru kembali dari Habasyah tersebut.
Untung bagi Utsman, pamannya Walid bin Mughirah (ayah Khalid bin Walid
), menyatakan memberikan perlindungan keamanan kepadanya, sehingga orang-orang kafir Quraisy tidak bisa menyiksanya.

Utsman bebas bergerak dan berjalan dimana saja di Makkah karena perlindungan Walid tersebut, tetapi ia melihat kaum muslimin lainnya dalam ketakutan, sebagian dalam derita penyiksaan. Ia jadi merasa tidak nyaman walau dalam keamanan, karena itu ia mengembalikan jaminan perlindungan pamannya tersebut, sehingga bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh saudara muslim lainnya. Ketika Walid menanyakan alasannya, ia berkata, "Aku hanya ingin berlindung kepada Allah dan tidak suka kepada yang lain-Nya…"

Suatu ketika ia melewati majelis orang kafir Quraisy yang sedang mendengarkan lantunan syair dari seorang penyair bernama Labid bin Rabiah. Seperti biasanya, para hadirin akan memberi applaus. Utsman bin Madz’un ikut memberi applaus ketika Labid menyampaikan salah satu baitnya, "Ingatlah, segala sesuatu selain Allah akan binasa."

Labidpun meneruskan bait syairnya, "Dan semua nikmat niscaya pasti sirna."

Spontan Utsman berteriak, "Dusta…!! Nikmat surga tidak akan pernah sirna…"

Mendengar ada orang yang membantah syairnya, Labid jadi marah, ia meminta agar orang Quraisy bertindak karena ada yang mulai berani merusak forum mereka. Seseorang bangkit untuk memukul Utsman, tetapi ia membalas pukulannya tersebut, akibatnya salah satu matanya bengkak karena terpukul.
Pamannya, Walid bin Mughirah, yang berada di sebelahnya berkata, “Kalau saja engkau masih berada dalam perlindunganku, matamu tidak akan mendapat musibah seperti itu!!

Mendengar komentar pamannya itu, Utsman justru menjawab dengan semangat, "Bahkan aku merindukan ini terjadi padaku, dan mataku yang satunya menjadi iri dengan apa yang dialami oleh saudaranya. Aku berada dalam perlindungan Dzat yang lebih mulia daripada kamu!"

Ketika telah tinggal di Madinah, Utsman bin Mazh'un meninggal karena sakit, tidak gugur dalam pertempuran sebagai syahid. Hal ini sempat menimbulkan prasangka yang buruk, bahkan Umar bin Khaththab
sempat berkata, "Lihatlah orang ini (yakni Utsman) yang sangat menjauhi kebesaran dunia (yakni zuhud), tetapi ia mati tidak dibunuh (mati syahid) !!

Persangkaan seperti itu terus bersemayam dalam pikiran banyak orang sampai akhirnya Nabi Muhammad SAW
wafat karena sakit dan tidak dalam pertempuran.
Umar-pun berkata, "Alangkah sedihnya, orang yang paling mulia di antara kita telah meninggal dunia."

Prasangka seperti itupun jadi hilang, mereka tidak lagi memandang remeh kematiannya yang tidak dibunuh atau syahid di medang perang.
Dan hal itu makin menguat ketika Khalifah Abu Bakar
-pun meninggal juga karena sakit, tidak terbunuh di medan pertempuran.
Kali ini Umar berkata, "Alangkah sedihnya, orang yang paling baik di antara kita telah meninggal dunia."

Utsman merupakan sahabat yang pertama meninggal di Madinah dan orang muslim pertama yang pertama kali dimakamkan di Baqi.
Beberapa waktu kemudian putri Nabi SAW yang juga istri Utsman bin Affan
, Ruqayyah binti Muhammad
meninggal, Nabi SAW bersabda, "Pergilah, wahai putriku, susullah saudara kita yang saleh, Utsman bin Mazh'un..!!"



Sahabat Nabi

Kategori ini memiliki 141 halaman, dari total 141.
  • Daftar syuhada Islam
  • Sahabat Nabi

A

  • Abbad bin Bishir
  • Bilal bin al-Harits
  • Abbas bin Abdul-Muththalib
  • Abdullah bin Aamir
  • Abdullah bin Abbas
  • Abdullah bin Abdul-Asad
  • Abdullah bin Hudhafah as-Sahmi
  • Abdullah bin Ja'far
  • Abdullah bin Jahsy
  • Abdullah bin Jahsy al-Asadi
  • Abdullah bin Mas'ud
  • Abdullah bin Rawahah
  • Abdullah bin Salam
  • Abdullah bin Ubay
  • Abdullah bin Umar
  • Abdullah bin Ummi-Maktum
  • Abdullah bin Zubair
  • Abdurrahman bin Abi Bakar
  • Abdurrahman bin Auf
  • Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam
  • Abu al-Dardaa
  • Abu al-Munaizir
  • Abu Ayyub al-Ansari
  • Abu Ayyub al-Anshari
  • Abu Bakar Ash-Shiddiq
  • Abu Dujanah
  • Abu Fuhayra
  • Abu Hudhayfah bin Utbah
  • Abu Hurairah
  • Abu Hużaifah bin al-Mugirah
  • Abu Lubaba bin Abd al-Mundzir
  • Abu Musa Al-Asy'ari
  • Abu Sa'id al-Khudri
  • Abu Sufyan
  • Abu Sufyan bin Harits
  • Abu Thalib
  • Abu Thufail Amru bin Watsilah al-Kinani
  • Abu Ubaidah bin al-Jarrah
  • Abu Żar Al-Gifari
  • Akib bin Usaid
  • Al-Abaadilah
  • Al-Ala'a Al-Hadrami
  • Al-Baraa bin Malik al-Ansari
  • Abu Qatadah
  • Al-Khansa
  • Al-Mughirah bin Syu'bah
  • Al-Mutsanna bin Haritsah
  • Zunirah al-Rumiyah
  • Ali bin Abi Thalib
  • Aminah binti Wahab
  • Ammar bin Yasir
  • Amru bin al-Jamuh
  • Amru bin Ash
  • An-Numan bin Muqarrin
  • Anas bin Malik
  • Aqil bin Abi Thalib

B

  • Barkah binti Tsa’labah
  • Bashir bin Sa'ad
  • Bilal bin Rabah

F

  • Fadl bin Abbas
  • Fatimah binti Asad
  • Fayruz al-Daylami

G

  • Ghaurats bin Harits

H

  • Hakim bin Hazm
  • Halimah As-Sa'diyah
  • Hamzah bin Abdul-Muththalib
  • Hatib bin Abi Baitah
  • Hindun binti Abi Umayyah
  • Hudzaifah bin al-Yaman

I

  • Ikrimah bin Abu Jahal

J

  • Ja'far bin Abi Thalib
  • Jabir bin Abdullah
  • Juwairiyah binti al-Harits

K

  • Kaum Muhajirin
  • Khadijah binti Khuwailid
  • Khalid bin Sa`id
  • Khubaib bin Adi
  • Khuzaimah bin Tsabit

L

  • Lubabah binti al-Harith
  • Lubaynah

M

  • Maimunah binti al-Harits
  • Malik bin Dinar
  • Mu'āż bin Jabal
  • Muadz bin Jabal
  • Muawiyah bin Abu Sufyan
  • Muhammad bin Abu Bakar
  • Muhammad bin Maslamah
  • Mush'ab bin Umair

P

  • Pemeluk Islam pertama
  • Templat:Pemeluk Islam pertama
  • Templat:Putra Putri nabi

Q

  • Qatadah bin al-Nu'man
  • Qotzman

R

  • Rabi'ah bin Harits
  • Ramlah binti Abu Sufyan
  • Rifa’ah bin Zaid
  • Ruqayyah binti Muhammad

S

  • Sa'ad bin Abi Waqqas
  • Sa'ad bin Muadz
  • Said bin Amir al-Jumahi
  • Said bin Zayd bin Amru
  • Salim Mawla Abu Hudhayfah
  • Salman al-Farisi
  • Sa’id bin Al-Ash
  • Shafiyah binti Huyay
  • Suhayb Ar-Rummi
  • Sumayyah binti Khayyat
  • Syurahbil bin Hasanah

T

  • Tamim ad-Dari
  • Thalhah bin Ubaidillah
  • Thalib bin Abu Thalib

U

  • Ubaidah bin Harits
  • Ubay bin Ka'ab
  • Umar bin Khattab
  • Ummi Kultsum binti Ali
  • Ummi Kultsum binti Jarwila Khuzima
  • Ummi Syarik
  • Ummi Ubays
  • Ummu Kultsum binti Muhammad
  • Urwah bin Mas'ud
  • Usamah bin Zaid
  • Usayd bin Hudhayr
  • Utsman bin Affan
  • Utsman bin Mazh'un

W

  • Wahsyi
  • Khalid bin Walid
  • Waraqah bin Naufal

Y

  • Yasir bin Amir
  • Yazid bin Abu Sufyan

Z

  • Zaid bin Arqam
  • Zaid bin Haritsah
  • Zaid bin Khattab
  • Zaid bin Tsabit
  • Zainab binti Jahsy
  • Zainab binti Khuzaimah
  • Zubair bin Awwam
  • `Uqbah bin Amir

Usamah Bin Zaid

Usamah adalah anak dari Zaid bin Haritsah dengan Ummu Aiman yang sangat dikenal, karena ia ditunjuk sebagai seorang panglima perang dalam usia 17 tahun dikarenakan ia dikenal sebagai pemuda yang berani dan tangguh.

Lahir: 615 M / 54 H
Meninggal: 673 M, Madinah, Arab Saudi
Pasangan: Fatima Bint Qais Al-Fehrya
Orang tua: Ummu Aiman, Zaid bin Haritsah
Kakek / Nenek: Su`da bint Tha`laba, Harithah ibn Sharahil

Usamah bin Zaid adalah putra dari sahabat kesayangan Rasulullah SAW, Zaid bin Haritsah, yang beliau pernah menjadikannya sebagai anak angkat, dari status sebelumnya sebagai budak dan pelayan beliau. Ibunya-pun adalah orang yang dekat dan disayang Rasulullah SAW, Ummu Aiman, bekas sahaya beliau. Keduanya merupakan orang-orang yang mula-mula memeluk Islam, sehingga tak heran Usamah-pun menjadi kesayangan beliau seperti juga ayahnya.

Usamah lahir pada tahun ketiga atau keempat dari kenabian, sehingga praktis ia ia tidak pernah mengalami masa jahiliah.
Didikan masa kecil dan remajanya adalah akhlak kenabian, baik dari kedua orang tuanya yang adalah didikan Nabi SAW, atau bahkan terkadang beliau turun langsung dalam membentuk akhlak Usamah. Kondisi seperti inilah yang menambah rasa sayang beliau kepadanya.

Beberapa sahabat-pun sangat sayang pada remaja ini melebihi anaknya sendiri, seperti yang terjadi pada Umar bin Khaththab. Saat menjadi khalifah, Umar pernah membagi-bagikan uang pada masyarakat, dan jumlahnya berbeda-beda berdasarkan kedudukan dan jasa mereka kepada Islam, dan juga penilaian Nabi SAW atas mereka.
Ketika tiba giliran anaknya, Abdullah bin Umar, ia memberikan satu bagian. Giliran Usamah bin Zaid, Umar memberikannya dua bagian dari bagian anaknya.
Abdullah bin Umar jadi bertanya-tanya, bukan masalah jumlahnya karena pada dasarnya ia juga didikan Nabi SAW yang mengutamakan kehidupan zuhud dan sederhana seperti juga Umar, ayahnya. Hanya saja ia takut ada yang kurang dalam amal ketaatan dan kesalehannya, karena itu ia bertanya, "Wahai ayah, mengapa engkau mengutamakan Usamah dibanding anakmu sendiri? Bukankah saya mengikuti pertempuran yang tidak atau belum diikutinya bersama Rasulullah??"

Tetapi jawaban Umar tegas dan tidak dapat dibantah lagi, ia berkata, "Usamah lebih dicintai Rasulullah daripada dirimu, seperti juga ayahnya lebih disayang Rasulullah daripada ayahmu….!!"

Dalam usianya yang masih sangat muda, ia telah ikut menerjuni beberapa pertempuran bersama Nabi SAW.
Dalam Fathul Makkah, ketika Nabi SAW akan memasuki Ka'bah, beliau membawa Bilal di sisi kanan dan Usamah bin Zaid di sisi kiri beliau. Sungguh kehormatan besar yang diberikan Nabi SAW kepada keduanya, bukan Abu Bakar atau Umar, atau delapan sahabat lainnya yang telah beliau jamin masuk surga. Dua orang itu adalah bekas budak yang secara umum, mungkin kedudukannya tampak rendah di masyarakat.
Nabi SAW pernah mengirimkan suatu pasukan di bawah kepemimpinan Usamah bin Zaid,

Pengalaman pertamanya memimpin suatu pasukan setelah sebelumnya hanya sebagai prajurit biasa, pasukannya ini memperoleh kemenangan gemilang, dan sebagai orang yang disayang,
Nabi SAW langsung menyambutnya dan memintanya menceritakan pengalamannya.
Mulailah Usamah menceritakan jalannya pertempuran. Tampak wajah Nabi SAW berseri karena senangnya dengan apa yang dijalani "Kesayangan Rasulullah SAW, putra dari kesayangan Rasulullah SAW", begitu kebanyakan sahabat menyebut Usamah bin Zaid ini.

Ketika Usamah menceritakan, bahwa seorang pemanggul panji musyrik yang perkasa banyak membunuh dan melukai tentara muslim sehingga pedangnya berlepotan darah dan daging para syahid masih menempel. Usamah pun mengejar dan memerangi langsung orang tersebut. Ia berhasil melumpuhkannya, tetapi ketika ia akan melakukan pukulan terakhir dengan tombaknya, orang tersebut mengucap "La ilaaha illallah". Usamah sempat bimbang, tetapi dipikirnya, itu hanya siasat untuk menyelamatkan diri saja, karena itu ia terus menombaknya hingga tewas.

Tiba-tiba saja wajah Nabi SAW berubah merah padam tanda beliau marah, beliau berkata, "Celaka engkau wahai Usamah, begitukah tindakanmu terhadap orang yang mengucap 'La ilaaha illallah'??"

"Wahai Rasulullah," Kata Usamah mencoba menjelaskan dan membela diri, walau dengan ketakutan, "Dia mengatakan kalimat itu hanya untuk menyelamatkan diri saja….!!"

"Begitu!!" Kata Nabi SAW, masih dengan nada tinggi, pertanda beliau masih marah, "Mengapa tidak engkau belah dadanya dan engkau lihat apakah ia mengatakannya itu ikhlas dari hatinya atau karena pura-pura semata??"

Memang, bukanlah hak dan kewajiban kita menilai apa yang ada di dalam hati seseorang, apa yang tampil dan terlihat itu saja yang menjadi ukuran kita dalam mengambil sikap. Itulah pelajaran berharga yang ingin disampaikan Nabi SAW pada pemuda kesayangan beliau tersebut, sekaligus kepada kita semua.

Atas peristiwa tersebut, Nabi SAW menyatakan Usamah telah bersalah, tetapi tidak ditetapkan qishas (hukum bunuh, dipancung) atas dirinya, karena "pembunuhan" yang dilakukannya tidak sengaja, hanya suatu kesalahan.
Nabi SAW mengumpulkan harta benda untuk membayar diyat (seratus ekor unta) kepada keluarga pemanggul panji musyrik yang mengucap "La ilaaha illallaah" tersebut.
Usamah sendiri tak henti-hentinya bertobat dan menyesali "kelancangannya" tersebut, sehingga menyebabkan Nabi SAW begitu murka kepadanya, walaupun kemudian beliau mendoakan untuk mendapat rahmat dan maghfirah Allah baginya. Tetapi setiap kali mengingat peristiwa tersebut, selalu saja ia menangis dan menyesal sambil berkata, "Aduhai, andai saja ibuku tidak pernah melahirkan diriku…..!!"

Beberapa hari sebelum wafat, Nabi SAW menghimpun pasukan besar yang akan dikirim ke Syam, tepatnya di wilayah Palestina, pada tempat bernama Abna. Latar belakang pengiriman pasukan ini adalah terbunuhnya Farwah bin Amr al Judzami, bekas komandan pasukan Arab yang berpihak Romawi, yang juga gubernur Ma'an karena keputusannya memeluk Islam. Ia disalib dan dipenggal kepalanya oleh penguasa Romawi di Palestina.

Pasukan besar tersebut terdiri dari pejuang-pejuang senior dari kaum Muhajirin dan Anshar ini, termasuk Umar bin Khaththab dan para Ahlul Badr lainnya.
Nabi SAW memutuskan pimpinan pasukan diserahkan kepada Usamah bin Zaid. Keputusan beliau ini ternyata menimbulkan perbincangan dan kritikan dari beberapa orang sahabat. Yang paling keras komentarnya adalah Ayyasy bin Abi Rabiah, ia berkata, "Anak kecil itu menjadi komandan dan amir dari kaum muhajirin awal??"

Saat itu Nabi SAW telah sakit cukup parah dan beliau tidak mengetahui secara langsung perbincangan pro-kontra yang terjadi dan berkembang di masyarakat Madinah.

Ketika Umar mengabarkan hal tersebut, beliau bangkit dan mengikat kepala beliau dengan sorban untuk mengurangi rasa sakit. Sambil memakai selimut, beliau naik ke atas mimbar di mana orang-orang sedang berkumpul.
Setelah memuji Allah, beliau bersabda, "Telah kudengar sebagian dari kalian mengecam kepemimpinan Usamah. Demi Allah, jika kalian mengecamdirinya, berarti kalian mengecam bapaknya. Demi Allah, sungguh ia (Zaid bin Haritsah) layak sebagai pemimpin, dan sepeninggal bapaknya, putranya sangat layak sebagai pemimpin. Dan sungguh, Zaid adalah orang yang sangat aku kasihi, demikian juga Usamah. Keduanya layak untuk mendapat semua kebajikan, karena itu, berwasiatlah kalian dalam kebajikan karena ia adalah sebaik-baiknya orang di tengah kalian…!!"

Peristiwa tersebut terjadi pada hari sabtu tanggal 10 Rabi'ul Awal. Setelah khutbah beliau itu, para sahabat yang ikut dalam pasukan tersebut berpamitan kepada Nabi SAW, termasuk Umar bin Khaththab.
Hari Ahadnya, Usamah menemui Nabi SAW, keadaan sakit beliau makin parah dan sempat pingsan. Setelah siuman, Usamah membungkuk dan mencium beliau sambil matanya berkaca-kaca. Tetapi Nabi SAW hanya mengangkat tangannya, seakan-akan berdoa, kemudian beliau mengusapkannya ke wajah Usamah. Usamah menangkap isyarat tersebut sebagai doa restu untuk keberangkatannya, ia pun berangkat menuju tempat pasukan berkumpul di Jurf, sebuah tempat tidak jauh di luar Madinah, sekitar tiga mil.

Senin pagi tanggal 12 Rabi'ul Awwal tahun 11 hijriah, seharusnya ia memberangkatkan pasukannya ke Palestina, tetapi Usamah merasa tidak tenang dengan kondisi Nabi SAW yang ditinggalkannya kemarin. Karena itu ia kembali ke rumah Nabi SAW, dan setibanya disana, beliau tampak sehat, Usamah-pun gembira. Beliau sekali lagi mendoakan Usamah, kemudian bersabda, "Berangkatlah engkau dengan berkat dari Allah…!!"

Usamah kembali ke pasukannya di Jurf, ia segera mempersiapkan diri untuk segera berangkat. Tetapi belum sempat bergerak, datang utusan dari ibunya, Ummu Aiman, yang memberi kabar bahwa Nabi SAW telah wafat. Usamah memerintahkan pasukan untuk kembali ke Madinah. Buraidah bin Hushaib, sahabat yang diperintahkan Nabi SAW membawa dan menyerahkan panji ke rumah Usamah, membawanya kembali dan menancapkannya di sebelah rumah beliau.

Setelah wafatnya Nabi SAW dan Abu Bakar terpilih jadi khalifah, wacana pasukan yang dipimpin Usamah kembali mengemuka. Sebagian sahabat yang dipimpin Umar bin Khaththab berpendapat bahwa pengiriman pasukan tersebut harus dibatalkan, karena banyak sekali kabilah yang murtad dan bersiap menyusun kekuatan kembali untuk lepas dari pemerintahan Islam di Madinah. Mereka ini khawatir jika kabilah-kabilah tersebut menyerang Madinah.
Usamah sendiri berada dalam kelompok ini, karena pendapat tersebut yang paling masuk akal. Tetapi bukan Ash-Shiddiq namanya kalau Abu Bakar hanya menuruti pendapat yang hanya berdasar logika semata, karena itu ia berkeras mengirim pasukan tersebut sesuai perintah Nabi SAW.

Setelah gagal mempengaruhi Khalifah baru untuk membatalkan keberangkatan pasukan ke Palestina, muncullah wacana kedua, yakni penggantian pimpinan pasukan karena Usamah hanya seorang pemuda 20 tahunan. Di antara personal pasukan tersebut terdapat sahabat-sahabat utama yang ikut terjun dalam pertempuran bersama Nabi SAW di dalam perang Badar, Uhud dan peperangan lainnya yang cukup terkenal kepahlawanannya, misalnya saja Sa'd bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Jarrah, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan lain-lainnya termasuk Umar sendiri, mereka itu yang lebih pantas menjadi komandan.
Sekali lagi, tokoh pengusul ini adalah Umar bin Khaththab, dan kali ini reaksi Abu Bakar cukup keras,
"Celaka engkau wahai Ibnu Khaththab!! Pantaskah saya memecat seseorang sebagai komandan pasukan (yakni Usamah bin Zaid), padahal Rasulullah SAW sendiri yang telah mengangkatnya??"

Dengan reaksi yang begitu keras dan tegas ini, para sahabat tidak ada lagi yang berani mengemukakan pendapat. Abu Bakar yang biasanya mereka kenal lemah lembut dan gampang menangis, tiba-tiba menjadi begitu keras dan tegas.
Tetapi sikap seperti itulah yang memang diperlukan di saat kondisi kaum muslimin sedang labil karena wafatnya Rasulullah SAW.
Abu Bakar berkata, "Berangkatkanlah pasukan Usamah, sesungguhnya aku tidak perduli jika binatang-binatang buas akan menerkam dan mencabik-cabikku di Madinah karena berangkatnya pasukan tersebut. Sesungguhnya telah turun wahyu kepada Nabi SAW, 'Berangkatkan pasukan Usamah!!', dan aku tidak akan mengubah keputusan beliau. Hanya saja aku meminta kepada Usamah agar mengijinkan Umar tinggal di Madinah karena aku memerlukan buah pikirannya untuk membantuku di sini. Tetapi jika Usamah tidak mengijinkan aku tidak akan memaksanya lagi…..!!"

Tentu saja dengan senang hati Usamah ‘mengijinkan’, atau lebih tepatnya memenuhi permintaan Abu Bakar tersebut agar Umar tetap tinggal di Madinah.

Pasukan Usamah kembali bergerak ke arah Jurf, tempat dimana Nabi SAW telah menetapkan untuk berkumpul.
Abu Bakar mengiring keberangkatan pasukan dengan berjalan kaki dan menuntun tunggangan Usamah, sedang tunggangan Abu Bakar dituntun oleh Abdurrahman bin Auf.
Abu Bakar juga sempat berkata, "Siapapun mereka yang pernah ditunjuk Rasulullah untuk berangkat bersama Usamah, janganlah sampai tertinggal. Demi Allah, tidaklah didatangkan kepadaku orang yang tertinggal tersebut, kecuali aku akan memerintahkan dirinya menyusul Usamah dengan berjalan kaki…..!!!!"

Usamah merasa tidak enak dengan Abu Bakar yang berjalan kaki, apalagi menuntun tunggangannya layaknya seorang budak atau penunjuk jalan saja. Ia berkata, "Wahai khalifah Rasulullah, naikilah tungganganmu, atau aku akan turun saja berjalan kaki bersamamu…!!"
"Jangan…!!" Kata Abu Bakar, "Tetaplah engkau di tungganganmu, aku ingin kakiku berdebu di jalan Allah, karena menurut Nabi SAW, untuk setiap langkah di jalan Allah itu akan dituliskan tujuh ratus kebaikan, dinaikkan tujuh ratus derajat, dan akan dihapuskan tujuh ratus kesalahan…"

Usamah membawa pasukannya menyusuri kabilah demi kabilah, baik yang tetap memeluk Islam, atau yang ragu-ragu dan bersiap-siap untuk murtad.

Rombongan besar pasukan Usamah ini ternyata memunculkan logika tersendiri pada mereka sehingga mereka berteguh memeluk Islam. Sebelumnya mereka mengira dengan wafatnya Nabi SAW, Madinah akan menjadi lemah dan tak mampu lagi memerangi musuh-musuhnya. Tetapi melihat besarnya pasukan yang dikirim ke perbatasan Romawi di Abna, Palestina ini, mereka berfikir, pasukan yang mempertahankan Madinah tentunya akan lebih besar lagi. Apalagi, ternyata Abu Bakar juga mengirim beberapa pasukan dari personal yang tertinggal di Madinah untuk memerangi kabilah-kabilah yang murtad dan yang menolak membayar zakat.

Kedatangan pasukan Usamah ternyata mengejutkan pasukan Romawi di Palestina yang telah mengeksekusi Farwah bin Amr al Judzami. Mereka sama sekali tidak menyangka kedatangan pasukan sebesar itu setelah wafatnya Nabi SAW. Mereka telah begitu mengenal bagaimana sikap heroik dan semangat tempur pasukan muslim dan tidak mau beresiko menghadapi pasukan muslim pimpinan Usamah. Karena itu mereka memilih melarikan diri dan meninggalkan barang ghanimah yang banyak bagi pasukan Usamah.

Kemenangan pasukan Usamah memberikan dukungan psikologis yang positif terhadap kelangsungan Islam ketika Nabi SAW wafat. Mungkin beliau telah menerima isyarat bagaimana suasana masyarakat Islam ketika beliau wafat, dan kekacauan yang akan terjadi. Karena itu, tampak sekali beliau "memaksakan" untuk membentuk dan mengirim pasukan Usamah, walau saat itu keadaan beliau sakit parah. Dan terbukti kemudian nubuwah ini, bahwa perintah beliau memberikan manfaat besar bagi umat Islam di masa kritis pergantian pimpinan pemerintahan Islam ke khalifah Abu Bakar.

Karena pengalamannya mendapat celaan Rasulullah SAW, Usamah jadi sangat berhati-hati dalam urusan jiwa manusia. Ketika terjadi pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, ia mengurung diri di rumahnya.
Sebenarnya ia mengetahui kalau Ali dalam jalan kebenaran, tetapi ia memilih untuk tidak berpihak kepada keduanya. Ia mengirim surat kepada Ali, yang ia ikut memba'iatnya sebagai khalifah, sebagai berikut, "Demi Allah wahai Amirul Mukminin, seandainya anda meminta saya untuk menemani anda memasuki kandang harimau, saya pasti akan melakukannya. Tetapi sekali-kali saya tidak akan menyentuh kulit seorang muslim dengan ujung pedang saya…."

Ketika beberapa sahabat yang memihak Ali juga berusaha untuk mengubah pendiriannya, Usamah berkata tegas, "Saya tidak akan pernah memerangi orang-orang yang mengucapkan La ilaaha illallaah selama-lamanya…!!"
Salah satu dari mereka sempat mendebatnya, "Bukankah Allah telah berfirman : Dan perangilah mereka hingga tidak ada lagi fitnah, dan agama seluruhnya adalah milik Allah…!!"
Usamah-pun menjawab, "Ayat itu ditujukan untuk memerangi orang-orang musyrik, dan kita telah memerangi mereka hingga fitnah telah lenyap dan agama seluruhnya menjadi milik Allah…!!"

Bagaimana tidak, dalam suatu pertempuran melawan kaum musyrik, dimana berlaku hukum "membunuh atau dibunuh", ia telah dicela dengan keras oleh Rasulullah SAW karena membunuh seorang kafir yang membaca "La ilaaha illallaah", yang menurut pemahaman (ijtihad)-nya hanyalah untuk menyelamatkan diri saja.
Sangat mungkin terjadi si kafir itu akan balik membunuhnya jika ia melepaskannya saat itu, apalagi pedangnya-pun masih terhunus. Tetapi itupun bukan alasan yang bisa diterima Rasullullah SAW. Bagaimana lagi ia akan mempertanggung-jawabkan kepada Nabi SAW jika ia membunuh seseorang yang jelas-jelas beriman kepada Allah dan Rasul-Nya? Jelas-jelas orang yang beragama Islam dan menjalankan shalat seperti dirinya dan kaum muslimin lainnya?

Seorang sahabat lainnya memang pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, atas suatu peristiwa dalam pertempuran, yang lebih kurang sama dengan peristiwa Usamah tersebut. Nabi SAW bersabda, "Kalau itu terjadi, si kafir akan akan memperoleh balasan seperti keadaan engkau sebelum membunuhnya,dan engkau akan memperoleh balasan seperti keadaan si kafir sebelum ia terbunuh…..!!"
Maksudnya, orang kafir tersebut, yang membaca ‘Laa ilaaha illallaah’ ketika akan terbunuh akan memperoleh pahala syahid, sedang sang sahabat yang membunuh bisa jatuh dalam kemusyrikan dan kekafiran, kalau ia tidak bertaubat.
UsamahUsamah terus menyendiri di tengah pergolakan kaum muslimin, dan ia tidak mau terlibat dengan pertentangan mereka.
Saat itu terdapat dua kutub kekuatan Islam, Muawiyah yang menjabat sebagai khalifah berkedudukan di Syam, sedang kelompok oposisi, yang merasa keturunan Ali bin Abi Thalib lebih berhak atas jabatan khalifah bermarkas di Kufah, Irak, tetapi tanpa pimpinan (atau khalifah) yang jelas. Di saat itulah, di Tahun 54 hijriah Usamah bin Zaid meninggal dunia.


© all rights reserved
made with by templateszoo