Tampilkan postingan dengan label Ummul Mukminin. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ummul Mukminin. Tampilkan semua postingan

Istri-Istri Rasulullah Saw

Secara umum, seorang lelaki muslim diperbolehkan atau diijinkan menikahi wanita muslimah lainnya hingga empat orang, tetapi bukan berarti disunnahkan. Al Qur’an sendiri menyarankan untuk menikahi hanya satu wanita saja jika tidak bisa berbuat adil, khususnya dalam hal yang bersifat lahiriah. Tetapi Rasulullah SAW diberi kekhususan, tidak hanya empat pernikahan. Bahkan tidak jarang Allah sendiri yang memerintahkan Nabi SAW untuk menikahi wanita tersebut, dan pada dasarnya Nabi SAW tidaklah menikahi seorang wanita kecuali diperintahkan atau diijinkan oleh Allah SWT.
Riwayat paling masyhur, istri-istri Rasulullah sebanyak sebelas orang, yakni :
1. Khadijah binti Khuwailid RA
2. Saudah binti Zam'ah RA
3. Aisyah binti Abu Bakar RA (Khumaira)
4. Hafshah binti Umar bin Khathhab RA
5. Zainab binti Khuzaimah RA
6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah RA
7. Zainab binti Jahsy bin Rayyab RA
8. Juwairiyah binti Harits bin Abu Dhirar RA
9. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA
10. Shafiyah binti Huyyai bin Akhthab RA
11 Maimunah binti Harits bin Hazn RA
Mereka ini adalah istri-istri Nabi SAW atau disebut juga Ummahatul Mukminin (para ibu kaum muslimin) yang dinikahi dan hidup bersama beliau, dan beliau tidak menikahi wanita lain (berpoligami) selama masih hidupnya Khadijah. Dua orang telah meninggal ketika beliau masih hidup, yakni Khadijah binti Khuwailid dan Zainab binti Khuzaimah. Beberapa riwayat menyebutkan, bahwa beliau juga pernah menikah dengan beberapa wanita lainnya, tetapi tidak sampai tinggal bersama mereka, yaitu :
1. Seorang wanita dari Bani Qilab bernama Amrah binti Yazid al Qilabiyah.
2. Seorang wanita Bani Kindah bernama Asma binti Nu'man al Kindiyyah al Juwainiyah.
Keduanya dikembalikan kepada orang tuanya, sebelum sempat dikumpuli Rasulullah SAW.
Mengenai kegagalan pernikahan beliau dengan Asma binti Nu'man, sebuah riwayat menyebutkan adalah akibat kecemburuan Aisyah. Setelah pernikahannya dengan Mariyah al Qibthiyah, beliau menikahi Asma binti Nu'man. Aisyah sangat cemburu dengan kehadiran Asma dalam jajaran Ummahatul Mukminin, karena itu bersama dua istri Nabi SAW lainnya, Saudah dan Hafshah, mereka membuat rencana untuk menjebak Asma.
Setelah matang, dipilihlah Hafshah untuk melaksanakan rencana ini, ia menemui Asma, yang saat itu belum dikunjungi Nabi SAW, dan ia berkata, "Wahai Asma, sesungguhnya Nabi SAW jika mengunjungi istri-istrinya, sangat senang disambut dengan ucapan 'A'udzubillah', kemudian berdirilah membelakangi beliau…!"
Asma yang belum mengerti seluk beluk kehidupan istri-istri Rasulullah SAW, sangat berterima kasih dengan informasi ini. Ia sama sekali tidak berprasangka buruk pada Hafshah. Maka ketika beliau mengunjunginya, Asma dengan gembira dan wajah berseri menyambut beliau. Kemudian ia melaksanakan apa yang disarankan oleh Hafshah dengan lugunya, tanpa prasangka apa-apa kepada Rasulullah SAW.
Tetapi seketika itu ia jadi terkejut melihat reaksi Nabi SAW. Ia tidak sadar bahwa ucapan dan sikapnya itu sangat menusuk perasaan beliau. Nabi SAW bersabda, "Engkau telah memohon perlindungan kepada Allah…?"
Setelah itu beliau meninggalkannya. Beliau membatalkan pernikahannya ini dan menyuruh seorang sahabat memberikan mut'ah kepada Asma, dan mengembalikannya kepada orang tuanya. Keluarga Asma sangat bersedih dengan peristiwa ini.
Setelah tahu duduk persoalannya, segera saja ayahnya, Nu'man bin Aswad menemui Nabi SAW untuk meminta maaf dan menjelaskan tentang apa yang dilakukan Hafshah atas perintah dan kesepakatan Aisyah dan Saudah. Mendengar penjelasan ini, beliau hanya tersenyum dan berkata, "Mereka memang sama saja dengan perempuan-perempuan di zaman Nabi Yusuf AS. Siasat dan tipu daya mereka memang luar biasa."
Tetapi bagaimanapun juga Nabi SAW telah mengembalikan Asma kepada orang tuanya, dan Asma telah terlanjur meminta perlidungan kepada Allah dengan ucapannya tersebut, sehingga Nabi SAW tidak mungkin memperistrinya lagi.
Kisah ini sebenarnya cukup termasyhur, tetapi sebagian ahli hadits meragukan kesahihannya, karena rasanya tidak mungkin Nabi SAW memutuskan tali pernikahannya hanya karena kesalah-pahaman semata.
Selain mereka, Rasulullah SAW juga menikah dengan beberapa orang hamba sahaya, yaitu Mariyah al Qibthiyah, hadiah dari pembesar Mesir, Muqauqis, Raihanah binti Zaid an Nadhiriyah atau al Qurzhiyah, tawanan dari Bani Quraizhah, seorang tawanan bernama Jamilah dan juga seorang jariyah hadiah dari Zainab bin Jahsy, istri beliau sendiri.
Dakwah Nabi SAW kepada Juraij bin Mata, pembesar Mesir yang lebih terkenal dengan nama Muqauqis, walaupun ia tidak menyatakan diri memeluk Islam, tetapi ia memberikan sambutan yang baik atas seruan Nabi SAW, ia tidak menghalangi penyebaran Islam di bumi Mesir. Muqauqis membalas surat Nabi SAW dan diberikan kepada utusan beliau, Hathib bin Abi Balta'ah, bersama itu pula ia mengirimkan dua orang gadis yang mempunyai kedudukan terhormat bagi masyarakat Mesir, bahkan sebagian riwayat menyatakan mereka berdua adalah putri Muqauqis sendiri, yaitu Mariyah dan Sirin. Dua bersaudara ini dipersembahkan sebagai sahaya bagi Nabi SAW, juga beberapa lembar kain dan seekor baghal, yang bernama Duldul.
Nabi SAW mengambil Mariyah dan dinikahinya walaupun dalam status sebagai sahaya, sedang Sirin diberikan kepada sahabat Hasan bin Tsabit. Tidak seperti Ummahatul Mukminin lainnya yang tinggal di rumah di sebelah Masjid Nabi SAW, Mariyah ditempatkan di luar kotaMadinah. Sebuah rumah di tengah kebun anggur di tempat bernama 'Alia. Sekarang ini dikenal dengan nama Masyraba Umm Ibrahim. Dari Mariyah inilah beliau memiliki seorang putra yang diberi nama Ibrahim, tetapi meninggal ketika masih kecil.

Istri-Istri Rasulullah Saw

Secara umum, seorang lelaki muslim diperbolehkan atau diijinkan menikahi wanita muslimah lainnya hingga empat orang, tetapi bukan berarti disunnahkan. Al Qur’an sendiri menyarankan untuk menikahi hanya satu wanita saja jika tidak bisa berbuat adil, khususnya dalam hal yang bersifat lahiriah. Tetapi Rasulullah SAW diberi kekhususan, tidak hanya empat pernikahan. Bahkan tidak jarang Allah sendiri yang memerintahkan Nabi SAW untuk menikahi wanita tersebut, dan pada dasarnya Nabi SAW tidaklah menikahi seorang wanita kecuali diperintahkan atau diijinkan oleh Allah SWT.
Riwayat paling masyhur, istri-istri Rasulullah sebanyak sebelas orang, yakni :
1. Khadijah binti Khuwailid RA
2. Saudah binti Zam'ah RA
3. Aisyah binti Abu Bakar RA (Khumaira)
4. Hafshah binti Umar bin Khathhab RA
5. Zainab binti Khuzaimah RA
6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah RA
7. Zainab binti Jahsy bin Rayyab RA
8. Juwairiyah binti Harits bin Abu Dhirar RA
9. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA
10. Shafiyah binti Huyyai bin Akhthab RA
11 Maimunah binti Harits bin Hazn RA
Mereka ini adalah istri-istri Nabi SAW atau disebut juga Ummahatul Mukminin (para ibu kaum muslimin) yang dinikahi dan hidup bersama beliau, dan beliau tidak menikahi wanita lain (berpoligami) selama masih hidupnya Khadijah. Dua orang telah meninggal ketika beliau masih hidup, yakni Khadijah binti Khuwailid dan Zainab binti Khuzaimah. Beberapa riwayat menyebutkan, bahwa beliau juga pernah menikah dengan beberapa wanita lainnya, tetapi tidak sampai tinggal bersama mereka, yaitu :
1. Seorang wanita dari Bani Qilab bernama Amrah binti Yazid al Qilabiyah.
2. Seorang wanita Bani Kindah bernama Asma binti Nu'man al Kindiyyah al Juwainiyah.
Keduanya dikembalikan kepada orang tuanya, sebelum sempat dikumpuli Rasulullah SAW.
Mengenai kegagalan pernikahan beliau dengan Asma binti Nu'man, sebuah riwayat menyebutkan adalah akibat kecemburuan Aisyah. Setelah pernikahannya dengan Mariyah al Qibthiyah, beliau menikahi Asma binti Nu'man. Aisyah sangat cemburu dengan kehadiran Asma dalam jajaran Ummahatul Mukminin, karena itu bersama dua istri Nabi SAW lainnya, Saudah dan Hafshah, mereka membuat rencana untuk menjebak Asma.
Setelah matang, dipilihlah Hafshah untuk melaksanakan rencana ini, ia menemui Asma, yang saat itu belum dikunjungi Nabi SAW, dan ia berkata, "Wahai Asma, sesungguhnya Nabi SAW jika mengunjungi istri-istrinya, sangat senang disambut dengan ucapan 'A'udzubillah', kemudian berdirilah membelakangi beliau…!"
Asma yang belum mengerti seluk beluk kehidupan istri-istri Rasulullah SAW, sangat berterima kasih dengan informasi ini. Ia sama sekali tidak berprasangka buruk pada Hafshah. Maka ketika beliau mengunjunginya, Asma dengan gembira dan wajah berseri menyambut beliau. Kemudian ia melaksanakan apa yang disarankan oleh Hafshah dengan lugunya, tanpa prasangka apa-apa kepada Rasulullah SAW.
Tetapi seketika itu ia jadi terkejut melihat reaksi Nabi SAW. Ia tidak sadar bahwa ucapan dan sikapnya itu sangat menusuk perasaan beliau. Nabi SAW bersabda, "Engkau telah memohon perlindungan kepada Allah…?"
Setelah itu beliau meninggalkannya. Beliau membatalkan pernikahannya ini dan menyuruh seorang sahabat memberikan mut'ah kepada Asma, dan mengembalikannya kepada orang tuanya. Keluarga Asma sangat bersedih dengan peristiwa ini.
Setelah tahu duduk persoalannya, segera saja ayahnya, Nu'man bin Aswad menemui Nabi SAW untuk meminta maaf dan menjelaskan tentang apa yang dilakukan Hafshah atas perintah dan kesepakatan Aisyah dan Saudah. Mendengar penjelasan ini, beliau hanya tersenyum dan berkata, "Mereka memang sama saja dengan perempuan-perempuan di zaman Nabi Yusuf AS. Siasat dan tipu daya mereka memang luar biasa."
Tetapi bagaimanapun juga Nabi SAW telah mengembalikan Asma kepada orang tuanya, dan Asma telah terlanjur meminta perlidungan kepada Allah dengan ucapannya tersebut, sehingga Nabi SAW tidak mungkin memperistrinya lagi.
Kisah ini sebenarnya cukup termasyhur, tetapi sebagian ahli hadits meragukan kesahihannya, karena rasanya tidak mungkin Nabi SAW memutuskan tali pernikahannya hanya karena kesalah-pahaman semata.
Selain mereka, Rasulullah SAW juga menikah dengan beberapa orang hamba sahaya, yaitu Mariyah al Qibthiyah, hadiah dari pembesar Mesir, Muqauqis, Raihanah binti Zaid an Nadhiriyah atau al Qurzhiyah, tawanan dari Bani Quraizhah, seorang tawanan bernama Jamilah dan juga seorang jariyah hadiah dari Zainab bin Jahsy, istri beliau sendiri.
Dakwah Nabi SAW kepada Juraij bin Mata, pembesar Mesir yang lebih terkenal dengan nama Muqauqis, walaupun ia tidak menyatakan diri memeluk Islam, tetapi ia memberikan sambutan yang baik atas seruan Nabi SAW, ia tidak menghalangi penyebaran Islam di bumi Mesir. Muqauqis membalas surat Nabi SAW dan diberikan kepada utusan beliau, Hathib bin Abi Balta'ah, bersama itu pula ia mengirimkan dua orang gadis yang mempunyai kedudukan terhormat bagi masyarakat Mesir, bahkan sebagian riwayat menyatakan mereka berdua adalah putri Muqauqis sendiri, yaitu Mariyah dan Sirin. Dua bersaudara ini dipersembahkan sebagai sahaya bagi Nabi SAW, juga beberapa lembar kain dan seekor baghal, yang bernama Duldul.
Nabi SAW mengambil Mariyah dan dinikahinya walaupun dalam status sebagai sahaya, sedang Sirin diberikan kepada sahabat Hasan bin Tsabit. Tidak seperti Ummahatul Mukminin lainnya yang tinggal di rumah di sebelah Masjid Nabi SAW, Mariyah ditempatkan di luar kotaMadinah. Sebuah rumah di tengah kebun anggur di tempat bernama 'Alia. Sekarang ini dikenal dengan nama Masyraba Umm Ibrahim. Dari Mariyah inilah beliau memiliki seorang putra yang diberi nama Ibrahim, tetapi meninggal ketika masih kecil.

Istri-istri Rasulullah SAW

Istri-Istri Rasulullah Saw

Secara umum, seorang lelaki muslim diperbolehkan atau diijinkan menikahi wanita muslimah lainnya hingga empat orang, tetapi bukan berarti disunnahkan. Al Qur’an sendiri menyarankan untuk menikahi hanya satu wanita saja jika tidak bisa berbuat adil, khususnya dalam hal yang bersifat lahiriah. Tetapi Rasulullah SAW diberi kekhususan, tidak hanya empat pernikahan. Bahkan tidak jarang Allah sendiri yang memerintahkan Nabi SAW untuk menikahi wanita tersebut, dan pada dasarnya Nabi SAW tidaklah menikahi seorang wanita kecuali diperintahkan atau diijinkan oleh Allah SWT.

Istri-istri Nabi SAW disebut sebagai Ummul Mukminin, atau Ibunya orang-orang mukmin, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-Ahzab ayat:6

النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ۗ وَأُولُو الْأَرْ‌حَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّـهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِ‌ينَ إِلَّا أَن تَفْعَلُوا إِلَىٰ أَوْلِيَائِكُم مَّعْرُ‌وفًا ۚ كَانَ ذَٰلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورً‌ا :٦

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).

Riwayat paling masyhur, istri-istri Rasulullah sebanyak sebelas orang, yakni :

1. Khadijah binti Khuwailid RA

2. Saudah binti Zam'ah RA

3. Aisyah binti Abu Bakar RA (Khumaira)

4. Hafshah binti Umar bin Khathhab RA

5. Zainab binti Khuzaimah RA

6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah RA

7. Zainab binti Jahsy bin Rayyab RA

8. Juwairiyah binti Harits bin Abu Dhirar RA

9. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA

10. Shafiyah binti Huyyai bin Akhthab RA

11 Maimunah binti Harits bin Hazn RA

Mereka ini adalah istri-istri Nabi SAW atau disebut juga Ummahatul Mukminin (para ibu kaum muslimin) yang dinikahi dan hidup bersama beliau, dan beliau tidak menikahi wanita lain (berpoligami) selama masih hidupnya Khadijah. Dua orang telah meninggal ketika beliau masih hidup, yakni Khadijah binti Khuwailid dan Zainab binti Khuzaimah.

Selain mereka, Rasulullah SAW juga menikah dengan beberapa orang hamba sahaya, yaitu Mariyah al Qibthiyah, hadiah dari pembesar Mesir, Muqauqis, Raihanah binti Zaid an Nadhiriyah atau al Qurzhiyah, tawanan dari Bani Quraizhah, seorang tawanan bernama Jamilah dan juga seorang jariyah hadiah dari Zainab bin Jahsy, istri beliau sendiri.

Dakwah Nabi SAW kepada Juraij bin Mata, pembesar Mesir yang lebih terkenal dengan nama Muqauqis, walaupun ia tidak menyatakan diri memeluk Islam, tetapi ia memberikan sambutan yang baik atas seruan Nabi SAW, ia tidak menghalangi penyebaran Islam di bumi Mesir. Muqauqis membalas surat Nabi SAW dan diberikan kepada utusan beliau, Hathib bin Abi Balta'ah, bersama itu pula ia mengirimkan dua orang gadis yang mempunyai kedudukan terhormat bagi masyarakat Mesir, bahkan sebagian riwayat menyatakan mereka berdua adalah putri Muqauqis sendiri, yaitu Mariyah dan Sirin. Dua bersaudara ini dipersembahkan sebagai sahaya bagi Nabi SAW, juga beberapa lembar kain dan seekor baghal, yang bernama Duldul.

Nabi SAW mengambil Mariyah dan dinikahinya walaupun dalam status sebagai sahaya, sedang Sirin diberikan kepada sahabat Hasan bin Tsabit. Tidak seperti Ummahatul Mukminin lainnya yang tinggal di rumah di sebelah Masjid Nabi SAW, Mariyah ditempatkan di luar kotaMadinah. Sebuah rumah di tengah kebun anggur di tempat bernama 'Alia. Sekarang ini dikenal dengan nama Masyraba Umm Ibrahim. Dari Mariyah inilah beliau memiliki seorang putra yang diberi nama Ibrahim, tetapi meninggal ketika masih kecil.

Maimunah binti al-Harits

Maimunah binti al-Harits al-Hilaliyyah al-'Amiriyyah adalah istri terakhir dari Nabi Muhammad, dan termasuk dari Ibu Para Mukminin.

Lahir: 594 M
Pasangan: Muhammad (m. 629 M–632 M)
Orang tua: Harits bin Hazan
Saudara kandung: Lubabah binti al-Harits
Keponakan Laki-Laki: Abdullah bin Abbas, Fadl bin Abbas

Maimunah binti Harits RA nama aslinya adalah Barrah, nama Maimunah diberikan Rasulullah SAW setelah beliau menikahinya. Dua orang saudaranya menjadi istri paman Nabi SAW, yaitu Ummu Fadhl Lubabah binti Harits menjadi istri Abbas RA, dan Salma binti Harits menjadi istri Hamzah RA. Ayahnya adalah Harits bin Hazn. Ia juga masih termasuk bibi dari Khalid bin Walid dari pihak ibu. Menurut sebagian riwayat, sebelumnya ia telah menikah dua kali, salah satunya dengan Abu Rahn bin Abdul Uzza. Setelah menjadi janda, ia menyerahkan urusannya kepada Abbas, suami saudaranya.


Nabi SAW melaksanakan Umrah Wadha pada tahun 7 hijriah, sebagai pelaksanaan salah satu klausul perjanjian Hudaibiyah. Beliau tinggal selama tiga hari dan sebagian besar penduduk Makkah tinggal di luar kota, sehingga kaum muslimin bebas melaksanakan aktivitas dan ibadah, seperti ketika di Madinah. Ternyata keadaan ini menarik perhatian orang-orang Makkah, sehingga ada yang kemudian memeluk Islam, salah satunya adalah Barrah. Karena keislamannya ini, Abbas menemui Rasulullah SAW, dan meminta beliau untuk bersedia menikahi Barrah. Ternyata beliau menyetujui permintaan pamannya ini, dan memberikan mas kawin sebesar 400 dirham.

Saat itu Nabi SAW dan kaum muslimin telah tiga hari berada di Makkah, datanglah Suhail bin Amr dan Huwaithib bin Abdul Uzza dan meminta beliau dan rombongan dari Madinah untuk segera meninggalkan Makkah. Beliau meminta tangguh beberapa hari untuk melaksanakan walimah dan perjamuan pernikahannya dengan Barrah, sekaligus mengundang mereka untuk hadir, tetapi permintaan ini ditolak. Akhirnya rombongan dari Madinah keluar dari kotaMakkah, dan menetap di suatu tempat bernama Sarif selama beberapa hari. Beliau meninggalkan pembantunya, Abu Rafi' RA di Makkah, dan diminta membawa Maimunah menyusul rombongan Nabi SAW. Ketika mereka berdua sampai di Sarif, pernikahanpun dilangsungkan, dan beliau mengganti nama Barrah dengan Maimunah.

Maimunah menikah dengan Nabi SAW pada bulan Dzulqaidah tahun 7 hijriah, ketika itu ia berusia 26 tahun. Ia meninggal pada tahun 51 hijriah ketika berusia 71 tahun di Sarif, tempat ia disusulkan dan dinikahi dengan Nabi SAW, dan dimakamkan disana. Tetapi sebagian riwayat menyebutkan ia wafat pada tahun 61 hijriah pada usia 81 tahun.

Aisyah RA menyatakan bahwa di antara istri-istri Nabi SAW lainnya, Maimunah adalah wanita yang paling salehah, dan sangat menjaga hubungan silaturahmi. Maimunah juga selalu menyibukkan diri dengan shalat dan pekerjaan rumah tangganya. Para ahli sejarah sepakat, bahwa Maimunah adalah istri yang terakhir dinikahi Nabi SAW.

Suatu ketika Maimunah memerdekakan budak perempuannya, tetapi ia lupa tidak meminta ijin dahulu kepada Nabi SAW. Saat itu memang bukan sedang gilirannya didatangi beliau, sementara niatnya untuk memerdekakan telah begitu menguat, sehingga begitu saja ia melakukannya. Ketika tiba giliran Nabi SAW mengunjunginya, ia berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, apakah tuan telah merasa bahwa saya telah memerdekakan budak perempuan saya?"

"Apakah engkau telah melakukannya?" Tanya Nabi SAW.

"Sudah…!!" Kata Maimunah. Memang, Nabi SAW selalu memotivasi siapapun, apalagi keluarga dekat termasuk istri-istri beliau untuk tidak menunda-nunda jika ingin berbuat kebajikan. Tetapi dalam kasus ini, beliau melihat ada manfaat yang lebih besar dari apa yang telah dilakukan oleh Maimunah, yakni membantu meringankan beban kerabatnya. Beliau bersabda, "Seandainya budak tersebut engkau berikan kepada bibimu, niscaya engkau memperoleh pahala yang lebih besar….!!"

Shafiyah binti Huyay

Shafiyah binti Huyay adalah salah satu istri ke-11 Muhammad yang berasal dari suku Bani Nadhir. Ketika menikah, ia masih berumur 17 tahun. Ia mendapatkan julukan "Ummul mu'minin".

Lahir: 610 M, Madinah, Arab Saudi
Meninggal: 670 M
Pasangan: Muhammad SAW (m. 629 M–632 M)
Orang tua: Huyay bin Akhtab, Barra binte Samawal
Kakek / Nenek: Samaw'al ibn 'Adiya



Ummul Mukminin Shafiyah Binti Huyyai Ra

Shafiyah binti Huyyai bin Akhthab RA adalah seorang wanita Bani Israel, masih keturunan Nabi Musa dan Nabi Harus AS. Dia adalah putri salah satu pemimpin Yahudi Khaibar, Huyyai bin Akhthab. Ia telah menikah dua kali sebelum pernikahannya dengan Nabi SAW. Suaminya yang pertama adalah Salam bin Masykam. Setelah berpisah dengan Salam, ia dinikahi oleh Kinanah bin Abul Huqaiq ketika mulai berlangsungnya Perang Khaibar.

Ia pernah bermimpi melihat pecahan bulan jatuh ke pangkuannya. Ketika mimpi ini diceritakan kepada ayahnya, dengan marah Huyyai menamparnya dan berkata, "Apakah engkau ingin menikah dengan raja Madinah??"

Ketika menjadi istri Kinanah, ia juga pernah bermimpi melihat matahari berada di dadanya. Mimpi ini diceritakan pada suaminya, lagi-lagi ia hanya mendapat kemarahan dan ucapan yang sama, "Sepertinya engkau ingin menikah dengan raja Madinah..!!"

Ketika perang Khaibar berakhir dengan menyerahnya orang-orang Yahudi, Shafiyah menjadi salah satu tawanan. Suaminya, Kinanah dibunuh karena melakukan pengkhianatan atas perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Ketika sahabat Dihyah al Kalbi datang kepada Nabi SAW meminta hamba sahaya wanita, beliau memberikan Shafiyah kepadanya.

Beberapa sahabat Anshar yang melihat hal ini, datang kepada Nabi SAW dan memberikan pendapat dan pandangannya, "Wahai Rasulullah, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah (Dua kabilah Yahudi di Madinah), akan merasa sangat tersinggung jika putri pemimpin Yahudi dijadikan seorang hamba sahaya, karena itu, sebaiknya engkau menikahi Shafiyah saja."

Nabi SAW memahami maksud sahabat-sahabatnya tersebut. Ia memanggil kembali Dihyah al Kalbi dan Shafiyah, beliau memberikan uang tebusan kepada Dihyah untuk kebebasan Shafiyah. Dalam riwayat lain, beliau memberikan atau menyuruh Dihyah memilih wanita lain sebagai hamba sahayanya. Kemudian Nabi SAW bersabda kepada Shafiyah, "Wahai Shafiyah, engkau sekarang bebas. Engkau boleh kembali kepada kaummu, atau kalau engkau bersedia, masuklah ke dalam agama Islam, dan aku akan menikahimu..!"

Mendengar penawaran ini, dengan sukacita Shafiyah berkata, "Wahai Rasulullah, sudah lama aku ingin menjadi istrimu sejak aku masih beragama Yahudi. Karena itu bagaimana mungkin aku akan bisa berpisah denganmu, sedangkan saat ini aku telah memeluk Islam..!"

Nabi SAW pun menikahi Shafiyah, dengan mas kawin pembebasan dirinya status sahaya. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, di suatu tempat bernama Ash Shahba', Nabi SAW mengadakan walimah atas pernikahannya dengan Shafiyah. Ummu Sulaim merias Shafiyah dalam acara walimah ini. Nabi bersabda pada sahabat-sahabatnya, "Barang siapa memiliki makanan, hendaklah dibawa kesini..!"Para sahabatdatang dengan berbagai makanan, seperti kurma, buah pir, manisan, minyak zaitun, makanan dari tepung dan keju, dan lain-lain. Mereka menempatkan pada sebuah alas makan dari kulit. Inilah yang menjadi hidangan acara walimah tersebut. Nabi SAW tinggal Ash Shahba' selama tiga hari sebelum meneruskan perjalanan pulang ke Madinah.

Diriwayatkan dari Shafiyah sendiri, bahwa ia dinikahi Nabi SAW ketika usianya belum genap 17 tahun, yakni pada tahun 7 hijriah, dan meninggal pada bulan Ramadhan tahun 50 hijriah, dalam usia 60 tahun.

Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan

Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan al-Umawiyyah al-Qurasyiyah al-Kinaniyyah atau lebih dikenal dengan Ummu Habibah, Ramlah binti Abu Sufyan atau Ramlah binti Abi Sufyan adalah istri dari Nabi Muhammad, dan termasuk dari Ibu Para Mukminin. 

Lahir: 589 M
Meninggal: 666 M, Madinah, Arab Saudi
Pasangan: Muhammad (m. 628 M–632 M)
Anak: Habibah bint Abdullah
Orang tua: Safiyyah bint Abi al-'As, Abu Sufyan
Saudara kandung: Muawiyah bin Abu Sufyan, lainnya


Ummu Habibah RA adalah anak dari tokoh kaum musyrik Makkah Abu Sufyan bin Harb. Pada masa jahiliah ia menikah dengan Ubaidillah bin Jahsy, dan kemudian bersama-sama memeluk Islam. Karena tekanan dan siksaan dari kaum musyrikin, mereka berdua ikut berhijrah ke Habasyah. Sayangnya disana Ubaidillah murtad dan mati dalam keadaan musyrik (beragama Nashrani).

Sebelum suaminya murtad, Ummu Habibah, yang nama aslinya adalah Ramlah binti Abu Sufyan, memimpikan wajah suaminya terlihat sangat buruk dan menakutkan. Keesokan harinya, suaminya memutuskan untuk memeluk agama Nashrani. Tentu saja Ummu Habibah menjadi panik, namun demikian Allah meneguhkan pendiriannya dan tetap bertahan dalam keislamannya.

Ketika Nabi SAW mengirimkan suratkepada Najasyi, lewat sahabat Amr bin Umayyah adh Dhamry, beliau juga menyampaikan lamaran kepada Ummu Habibah RA, dan meminta tolong Najasyi menyampaikan lamarannya ini. Najasyi menyuruh seorang wanita bernama Abraha untuk menyampaikan berita ini sekaligus menjemput Ummu Habibah. Memperoleh kabar ini, Ummu Habibah begitu gembira, sehingga ia melepas perhiasan yang dipakainya dan diberikannya kepada Abraha, beberapa benda berharga yang dimilikinya juga diberikannya kepada utusan Najasyi tersebut.

Najasyi yang saat itu baru saja memeluk Islam, menikahkan Rasulullah SAW dengan Ummu Habibah, dan memberikan mahar sebanyak 400 dinar emas. Orang-orang yang hadir pada majelis Najasyi saat itu juga diberikan hadiah uang dinar dan juga makanan. Ummu Habibah pun berangkat ke Madinah untuk dipertemukan dengan Rasulullah SAW. Najasyi mengirimkan banyak sekali barang-barang hadiah dan minyak wangi ke Madinah, sebagai bingkisan pernikahan beliau itu.

Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Muharram tahun 7 Hijriah. Sebagian riwayat menyatakan bahwa pernikahan terjadi pada tahun 6 hijriah, dan Ummu Habibah baru pindah ke Madinah untuk tinggal bersama Rasulullah pada tahun 7 hijriah. Mengenai tahun kewafatan Ummu Habibah, banyak perbedaan pendapat, sebagain meriwayatkan tahun 44 hijriah, ada yang tahun 42 hijriah, 55 hijriah atau juga 50 hijriah, wallahu a'lam.

Saat berlangsungnya perjanjian Hudaibiyah, Abu Sufyan yang masih kafir datang ke Madinah, ia menyempatkan diri untuk mengunjungi Ummu Habibah. Saat melihat kasur terhampar, Abu Sufyan akan mendudukinya, tetapi putrinya tersebut bergegas melipat dan menyingkirkannya. Tentu saja Abu Sufyan terkejut, ia bertanya, "Apakah aku tidak boleh duduk di atasnya? Tidak pantaskah aku untuk mendudukinya?"

"Kasur ini hanya untuk Rasulullah SAW," Kata Ummu Habibas dengan tegas, "Ayah masih kafir dan tidak suci, bagaimana mungkin aku akan membiarkan ayah akan mendudukinya?"

"Setelah kita berpisah, ternyata engkau mempunyai perangai yang buruk," Kata Abu Sufyan dengan kecewa.

Tentu saja hal itu bukan perangai buruk Ummul Mukminin, Ummu Habibah RA. Sebaliknya hal ini adalah wujud kecintaan dan penghormatannya kepada Nabi SAW, jauh melebihi kecintaan pada siapapun di dunia ini, termasuk orang tuanya sendiri.

Hal sama juga ditunjukkannya ketika ayahnya meninggal dunia. Walau meninggalnya dalam keislaman, Ummu Habibah memakai wewangian pada malam ketiga setelah kewafatan ayahnya. Ia berkata, "Sebenarnya saya tidak terlalu suka memakai wewangian, tetapi Rasulullah SAW bersabda bahwa seorang wanita tidak boleh berkabung lebih dari tiga hari, kecuali untuk suaminya. Ia boleh berkabung selama empat bulan sepuluh hari jika suaminya meninggal. Karena itu saya memakai wewangian agar tidak dianggap masih berkabung atas kematian ayah saya."

Juwairiyah binti al-Harits

Juwairiyah binti al-Harits al-Mushthaliqiyyah al-Khuza'iyyah atau lebih dikenal dengan Juwairiyah binti al-Harits adalah istri dari Nabi Muhammad, dan termasuk dari Ibu Para Mukminin.

Lahir: 608 M
Meninggal: 673 M
Pasangan: Muhammad SAW (m. 628 M–632 M)
Orang tua: Hārits ibnu Abu Dhirar

Ummul Mukminin, Juwairiyah Binti Harits Ra

Juwairiyah binti Harits adalah putri dari pemimpin bani Musthaliq dari Suku Khuza’ah, Harits bin Abu Dhirar. Harits menghimpun kekuatan untuk menyerang Madinah, beberapa kabilah Arab ikut bergabung. Kegiatannya ini diketahui oleh Nabi SAW, dan beliau mengirim Buraidah bin Hushaib al Aslamy untuk mengecek kebenaran berita ini. Setelah memperoleh informasi yang lengkap dan benar, beliau memimpin pasukan untuk meyerang mereka, sehingga terjadilah pertempuran Bani Musthaliq atau al Muraisi’, karena terjadi di mata air al Muraisi milik Bani Musthaliq di Qudaid.

Juwairiyah binti Harits seorang yang cantik jelita dan wajahnya selalu berseri-seri. Jika berjalan, ia selalu menundukkan pandangannya (ghadul bashar). Sebelumnya ia telah menikah dengan Musafi bin Shafwan. Sekitar tiga hari sebelum terjadinya perang Bani Musthaliq ini, Juwairiyah bermimpi melihat bulan terbit dari arah Yatsrib (Madinah), kemudian jatuh ke pangkuannya. Ia menafsirkan, bahwa kelak ia akan menjadi istri dari pemimpin Madinah, yakni Nabi SAW.

Ketika ia menjadi tawanan pasukan muslim, ia sangat berharap mimpinya itu akan menjadi kenyataan. Tetapi saat pembagian ghanimah, ia jatuh ke tangan Tsabit bin Qais. Ketika Juwairiyah menyampaikan keinginannya untuk dibebaskan, Tsabit bersedia memenuhinya dengan tebusan sembilan uqiyah emas. Maka ia menemui Rasulullah SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya adalah putri pimpinan dari kaum saya Bani Musthaliq, yaitu Harits bin Abu Dhirar, dengan musibah yang menimpa saya ini, tentu engkau mengetahui keadaan saya. Sementara Tsabit menentukan tebusan kebebasan saya yang begitu tinggi, yang di luar kemampuan saya. Karena itu saya menghadap engkau untuk memperoleh jalan keluar dari masalah saya ini…!"
Mendengar keluhan Juwairiyah ini, beliau bersabda, "Aku akan memberikan jalan keluar yang lebih baik dari semua itu, aku akan memberikan harta kepadamu, jadi engkau bisa membayar tebusan kebebasanmu dari Tsabit, setelah itu aku akan menikahimu..!"

Juwairiyahpun sangat gembira mendengar ini, yang secara tidak langsung adalah lamaran Nabi SAW atas dirinya. Ini juga berarti mimpi yang dialaminya sebelum terjadinya pertempuran telah menjadi kenyataan, seperti yang didambakannya. Karena itu segera saja ia menyetujui dan menerima jalan keluar yang diberikan Rasulullah SAW.

Pernikahan Nabi SAW dengan Juwairiyah ini ternyata berdampak besar. Parasahabat yang mempunyai tawanan dari Bani Musthaliq, serta merta membebaskan mereka dari tawanan atau perbudakannya. Hal ini dilakukannya sebagai wujud penghargaan mereka atas Nabi SAW dan kepada Bani Musthaliq, yang putri pimpinannya menjadi salah satu Ummahatul Mukminin. Parasahabat itu berkata, “Mereka adalah besan Rasulullah SAW.”

Diriwayatkan ada 100 keluarga sahabat yang membebaskan sekitar 700 orang tawanan Bani Musthaliq tanpa sepeserpun meminta uang tebusan. Sungguh suatu keberkahan besar dari pernikahan Nabi SAW ini. Juwairiyah dinikahi Nabi SAW pada bulan Sya'ban tahun 6 hijriah, ketika ia berusia 20 tahun. Ia wafat di Madinah pada bulan Rabi'ul Awwal tahun 50 hijriah, dalam usia 65 tahun. Tetapi riwayat lain menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 56 hijriah pada usia 70 tahun.

Hafshah binti Umar

Hafshah binti Umar adalah salah seorang istri Muhammad. Ia seorang janda dari seorang pria bernama Khunais bin Hudhafah al-Sahmiy yang meninggal dunia saat Perang Badar.

Lahir: 606 M, Mekkah, Arab Saudi
Meninggal: 661 M, Madinah, Arab Saudi
Pasangan: Muhammad (m. 624 M–632 M)
Orang tua: Umar bin Khattab, Zainab binti Maz'un
Saudara kandung: Abdullah bin Umar, Zaid bin Umar, lainnya
Kakek / Nenek: Khattab bin Nufail Al Shimh Al Quraisyi, Hantamah binti Hasyim


Hafshah binti Umar bin Khaththab RA, sebelumnya adalah istri Khunais bin Khudzafah, seorang sahabat yang memeluk Islam pada masa awal. Mereka menikah ketika masih di Makkah, sempat hijrah ke Habasyah, dan langsung berhijrah ke Madinah, ketika Nabi SAW dan para sahabat lainnya hijrah ke sana. Khunais meninggal akibat luka parah yang diperolehnya ketika perang Badar (riwayat lain menyebutkan perang Uhud).

Hafshah dilahirkan lima tahun sebelum kenabian, dan wafat di Madinah pada Jumadil Ula tahun 45 hijriah dalam usia 63 tahun (Riwayat lain menyebutkan, tahun 41 hijriah dalam usia 60 tahun). Khunais meninggal pada tahun 2 atau 3 Hijriah, beberapa bulan kemudian Nabi SAW menikahi Hafshah, ketika itu ia berusia sekitar 21 tahun.

Ketika Hafshah menjadi janda, Umar bin Khaththab menjadi sedih dengan keadaan anaknya tersebut, karena itu ia menemui Abu Bakar dan memintanya untuk menikahi Hafshah, tetapi Abu Bakar hanya diam tanpa berkata apapun. Melihat reaksi ini, Umar menemui Utsman bin Affan, yang saat itu baru saja ditinggal wafat istrinya, Ruqayyah RA, putri Rasulullah SAW. Ia meminta Utsman menikahi Hafshah, tetapi Utsman berkata, "Saat ini, aku belum ada keinginan untuk menikah lagi!"

Mendengar penolakan dari dua orang sahabatnya, yang juga dua orang muslim terbaik, kesedihan Umar menjadi bertambah, karena itu ia mengadukan persoalan ini pada Rasulullah SAW. Mendengar keluh kesah dan kegundahan hati Umar ini, Nabi SAW hanya tersenyum, kemudian beliau bersabda, "Akan aku tunjukkan padamu, suami bagi Hafshah yang lebih baik daripada Abu Bakar dan Utsman, dan bagi Utsman ada istri yang lebih baik daripada Hafshah…"

Umar sempat bingung dan tidak mengerti dengan ungkapan Nabi SAW. Tetapi kemudian menjadi kegembiraan tak terkira ketika beliau mengatakan akan menikahi Hafshah, dan menikahkan Utsman dengan putri beliau lainnya, Ummu Kultsum.

Setelah pernikahan Nabi SAW dengan Hafshah tersebut, Abu Bakar menemui Umar dan meminta maaf atas sikapnya tersebut, ia menjelaskan kalau Nabi SAW menyatakan kepadanya, berniat menikahi Hafshah. Karena itu tidak mungkin ia menerima permintaan Umar untuk menikahi anaknya tersebut, tetapi ia tidak ingin mengatakan rahasia Rasulullah SAW. Atas penjelasan ini Umar berkata, "Sesungguhnya diamnya Abu Bakar, lebih mengejutkan dan menyedihkan daripada penolakan Utsman!"

Hafshah adalah seorang wanita ahli ibadah yang sangat wara'. Namun demikian, seperti halnya Aisyah, ia juga seorang istri dengan kecintaan yang begitu besar kepada Nabi SAW, sekaligus rasa cemburu yang besar kepada istri beliau lainnya. Atas kecemburuan putrinya yang berlebihan ini, Umar pernah menasehatinya, "Hai Hafshah, insyaflah, apa arti dirimu dibanding Aisyah, apalah arti bapakmu ini dibanding Abu Bakar!!"

Pernah juga ia membantah Nabi SAW, sehingga beliau sempat marah selama satu hari. Ketika Umar mendengar hal ini dari istrinya, Umar begitu murka, ia mendatangi Hafshah dan berkata, "Ingatlah wahai Hafshah, akan akibat kemurkaan Allah dan kemarahan RasulNya, jangan engkau merasa iri dengan wanita yang bangga dengan kecantikannya dan kecintaan Rasulullah SAW kepadanya. Demi Allah, engkau tentu tahu bahwa Rasulullah SAW tidak mencintaimu, kalau tidak karena aku, tentu engkau telah dicerai!!"

Nasehat dan juga kemarahan ayahnya ini ternyata belum cukup untuk mengurangi sikap cemburunya hingga batas wajar, sampai akhirnya Allah menurunkan teguranNya, sebagaimana tercantum dalam surah Tahrim 3-5. Yang berbunyi :  66:3

وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَىٰ بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ ۖ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَٰذَا ۖ قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ
Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".

66:4
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا ۖ وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ بَعْدَ ذَٰلِكَ ظَهِيرٌ

Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.

66:5

عَسَىٰ رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا

Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.

Apa yang dilakukannya bersama Aisyah RA, sempat menyebabkan terganggunya ketentraman rumah tangga Rasulullah SAW. Beliau sempat mengasingkan diri bersama pembantunya, Abu Rafi RA, menjauhi semua istri-istrinya. Bahkan sempat berkembang isyu bahwa beliau menceraikan semua istrinya.
Sekali lagi Umar memperoleh kabar bahwa penyebab semua ini adalah Hafshah. Dengan luapan marah, bercampur sedih dan malu, Umar mendatangi putrinya tersebut dan berkata, "Barangkali Rasulullah telah menceraikanmu…jika beliau merujukmu, setelah menjatuhkan talak satu, itu hanya karena beliau mengasihani diriku. Jika beliau sampai mentalakmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara denganmu selama-lamanya!"


Memang, sebagian riwayat menyebutkan bahwa Nabi SAW menceraikan Hafshah setelah peristiwa itu, hanya kemudian datang Jibril membawa perintah Allah agar beliau merujuk Hafshah, untuk menghilangkan kesedihan Umar. Umar menjumpai Nabi SAW di tempat penyendirian beliau bersama Abu Rafi, ia sempat menangis melihat keadaan Nabi SAW yang begitu menyedihkan, dan meminta maaf atas sikap putrinya. Beliau hanya tersenyum, dan menyatakan bahwa beliau tidak menceraikan istri-istrinya, tetapi hanya menjauhi mereka selama satu bulan.

Setelah peristiwa ini, dan teguran keras Allah lewat Surat At Tahrim 3 - 5, barulah Hafshah menyadari bahaya yang ditimbulkan dengan sikap cemburunya, dan ia tak pernah lagi mengulanginya.

Zainab binti Jahsy

Zainab binti Jahsy bin Ri`ab al-Asadiyyah atau lebih dikenal dengan Zainab binti Jahsy adalah sepupu dan istri dari Nabi Muhammad, dan termasuk dari Ibu Para Mukminin.

Lahir: 590 M
Meninggal: 641 M, Madinah, Arab Saudi
Pasangan: Nabi Muhammad SAW (m. 627 M–632 M), Zaid bin Haritsah (m. 625 M–626 M)
Orang tua: Jahsy ibn Riyab, Umama bint Abdulmuthalib
Saudara kandung: Abdullah Bin Jahsy Al-Asadi, Hammanah bint Jahsh, Ubayd-Allah ibn Jahsh
Kakek / Nenek: Syaibah bin Hasyim


Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Nama lengkap adalah Zainab binti Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mar bin Sharah bin Murrah bin Kabir bin Gham bin Dauran bin Asad bin Khuzaimah.

Sebelum menikah dengan Rasulullah, namanya adalah Barrah, kemudian diganti oleh Rasulullah menjadi Zainab setelah menikah dengan beliau. Ibu dari Zainab bernama Umaimah binti Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai.

Zainab dilahirkan di Mekah dua puluh tahun sebelum kenabian. Ayahnya adalah Jahsy bin Ri’ab. Dia tergolong pernimpin Quraisy yang dermawan dan berakhlak baik.
Zainab yang cantik dibesarkan di tengah keluarga yang terhormat, sehingga tidak heran jika orang-orang Quraisy rnenyebutnya dengan perempuan Quraisy yang cantik.

Zainab termasuk wanita pertarna yang memeluk Islam. Allah pun telah menerangi hati ayah dan keluarganya sehingga memeluk Islam. Dia hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Ketika itu dia masih gadis walaupun usianya sudah layak menikah.

Pernikahannya dengan Zaid bin Haritsah
Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang mernerintahkan Zainab dan Zaid melangsungkan pernikahan.
Zainab berasal dan golongan terhormat, sedangkan Zaid bin Haritsah adalah budak Rasulullah yang sangat beliau sayangi, sehingga kaum muslimin menyebutnya sebagai orang kesayangan Rasulullah.

Zaid berasal dari keluarga Arab yang kedua orang tuanya beragama Nasrani.
Ketika masih kecil, dia berpisah dengan kedua orang tuanya karena diculik, kemudian dia dibeli oleh Hakam bin Hizam untuk bibinya, Khadijah binti Khuwailid, lalu dihadiahkannya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Ayah Zaid, Haritsah bin Syarahil, senantiasa mencarinya hingga dia mendengar bahwa Zaid berada di rumah Rasulullah.

Ketika Rasulullah menyuruh Zaid memilih antara tetap bersama beliau atau kembali pada orang tua dan pamannya, Zaid berkata, “Aku tidak menginginkan mereka berdua, juga tidak menginginkan orang lain yang engkau pilihkan untukku. Engkau bagiku adalah ayah sekaligus paman.”

Setelah itu, Rasulullah mengumumkan pembebasan Zaid dan pengangkatannya sebagai anak. Ketika Islam datang, Zaid adalah orang yang pertama kali memeluk Islam dari kalangan budak. Dia senantiasa berada di dekat Nabi, terutama setelah dia rneninggalkan Mekah, sehingga beliau sangat mencintainya, bahkan beliau pernah bersabda tentang Zaid,
“Orang yang aku cintai adalah orang yang telah Allah dan aku beri nikmat. (HR. Ahmad)

Allah telah memberikan nikmat kepada Zaid dengan keislamannya dan Nabi telah memberinya nikmat dengan kebebasannya.

Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan Zaid dengan Hamzah bin Abdul Muththalib.
Dalam banyak peperangan, Zaid selalu bersama Rasulullah, dan tidak jarang pula dia ditunjuk untuk menjadi komandan pasukan.

Tentang Zaid, Aisyah pernah berkata, “Rasulullah tidak mengirimkan Zaid ke medan perang kecuali selalu menjadikannya sebagai komandan pasukan, Seandainya dia tetap hidup, beliau pasti menjadikannya sebagai pengganti beliau.

Masih banyak riwayat yang menerangkan kedudukan Zaid di sisi Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.. Sesampainya di Madinah beliau meminang Zainab binti Jahsy untuk Zaid bin Haritsah. Semula Zainab membenci Zaid dan menentang menikah dengannya, begitu juga dengan saudara laki-lakinya. Menurut mereka, bagaimana mungkin seorang gadis cantik dan terhormat menikah dengan seorang budak? Rasulullah menasihati mereka berdua dan menerangkan kedudukan Zaid di hati beliau, sehingga turunlah ayat kepada mereka:

مَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّـهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّـهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki -laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
(Q.S. Al-Ahzab 33: 36) َ

Akhirnya Zainab menikah dengan Zaid sebagai pelaksanaan atas perintah Allah, meskipun sebenarnya Zainab tidak menyukai Zaid.

Melalui pernikahan itu Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. ingin menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali dalam ketakwaan dan amal perbuatan mereka yang baik.

Pernikahan itu pun bertujuan untuk menghilangkan tradisi jahiliah yang senang membanggakan diri dan keturunan. Akan tetapi, Zainab tetap tidak dapat menerima pernikahan tersebut karena ada perbedaan yang jauh di antara mereka berdua.
Di depan Zaid, Zainab selalu membangga-banggakan dirinya sehingga menyakiti hati Zaid. Zaid menghadap Rasulullah untuk mengadukan perlakukan Zainab terhadap dirinya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menyuruhnya untuk bersabar, dan Zaid pun mengikuti nasihat beliau. Akan tetapi, dia kembali menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa dirinya tidak mampu lagi hidup bersama Zainab.

Mendengar itu, beliau bersabda, “Pertahankan terus istrimu itu dan bertakwalah kepada Allah.” Kemudian beliau mengingatkan bahwa pernikahan itu merupakan perintah Allah.
Beberapa saat kemudian turunlah ayat, “Pertahankan terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah.” Zaid berusaha menenangkan din dan bersabar, namun tingkah laku Zainab sudah tidak dapat dikendalikan, akhirnya terjadilah talak. Selanjutnya, Zainab dinikahi Rasulullah.

Prinsip dasar yang melatar belakangi pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy adalah untuk menghapuskan tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman jahiliah. Artinya, Rasulullah ingin menjelaskan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung, seperti halnya Zaid bin Haritsah yang sebelum turun ayat Al-Qur’an telah diangkat sebagai anak oleh beliau. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,



ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّـهِ ۚ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَـٰكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّـهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka,’ itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudara seagama dan maula-maulamu.”
(QS. Al-Ahzab 33:5)

Karena itu, seseorang tidak berhak mengakui hubungan darah dan meminta hak waris dan orang tua angkat (bukan kandung). Karena itulah Rasulullah menikahi Zainab setelah bercerai dengan Zaid yang sudah dianggap oleh orang banyak sebagai anak Muhammad.
Allah telah menurunkan wahyu agar Zaid menceraikan istrinya kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Pada mulanya Rasulullah tidak memperhatikan perintah tersebut, bahkan meminta Zaid mempertahankan istrinya.

Allah memberikan peringatan sekali lagi dalam ayat:

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّـهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّـهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّـهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّـهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ ۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّـهِ مَفْعُولًا

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, ‘Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah, ‘sedang kamu menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah- lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. 
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak- anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
(QS. Al-Ahzab 33:37)

Ayat di atas merupakan perintah Allah agar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. menikahi Zainab dengan tujuan meluruskan pemahaman keliru tentang kedudukan anak angkat.
  • Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mengutus seseorang untuk mengabari Zainab tentang perintah Allah tersebut. Betapa gembiranya hati Zainab mendengar berita tersebut, dan pesta pernikahan pun segera dilaksanakan serta dihadiri warga Madinah.

Zainab mulai memasuki rumah tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah satu-satunya istri Nabi yang berasal dan kerabat dekatnya. Rasulullah tidak perlu meminta izin jika memasuki rumah Zainab sedangkan kepada istri-istri lainnya beliau selalu meminta izin.

Kebiasaan seperti itu ternyata menimbulkan kecemburuan di hati istri-istri Nabi lainnya. Orang-orang munafik yang tidak senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan fitnah bahwa Rasulullah telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah ayat yang berbunyi,

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّ‌جَالِكُمْ وَلَـٰكِن رَّ‌سُولَ اللَّـهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّـهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…. “ (Qs. Al-Ahzab: 40)

Zainab berkata kepada Nabi, “Aku adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku utusan yang terbaik di antara mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di antara mereka. Allah menikahkanku denganmu atas perintah dari langit, dan Jibril yang membawa perintah tersebut. Aku adalah anak bibimu. Engkau tidak memiliki hubungan kerabat dengan mereka seperti halnya denganku.

Zainab sangat mencintai Rasulullah dan merasakan hidupnya sangat bahagia. Akan tetapi, dia sangat pencemburu terhadap istri-istri Nabi lainnya, sehingga Rasulullah pernah tidak tidur bersamanya selama dua atau tiga bulan sebagai hukuman atas perkataannya yang menyakitkan hati Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab wanita Yahudiyah itu.

Zainab bertangan terampil, menyamak kulit dan menjualnya, juga mengerjakan kerajinan sulaman, dan hasilnya diinfakkan di jalan Allah.
  • Wafatnya
Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau, yaitu pada tahun kedua puluh hijrah, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dalarn usianya yang ke-53, dan dimakamkan di Baqi.
Dalarn sebuah riwayat dikatakan bahwa Zainab berkata menjelang ajalnya, “Aku telah rnenyiapkan kain kafanku, tetapi Umar akan mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah dengan salah satunya. Jika kalian dapat bersedekah dengan sernua hak-hakku, kerjakanlah dari sisi yang lain.”

Semasa hidupnya, Zainab banyak mengeluarkan sedekah di jalan Allah.
Tentang Zainab, Aisyah berkata, “Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak menyamaiku dalarn kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang lebih baik agamanya daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya paling jujur, paling suka menyambung tali silaturahmi, paling banyak bersedekah, banyak mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat bersedekah, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat yang keras.

Semoga Allah memberikan kemuliaan kepadanya (Sayyidah Zainab Binti Jahsy) di akhirat dan ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh. Amin.

Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah , Karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh

Saudah binti Zam'ah

Saudah binti Zam'ah bin Qais bin Abdul Wad adalah istri Nabi Muhammad SAW.
Nasabnya bertemu Rasulullah pada Lu'ay bin Ghalib. Ia dikenal memiliki otak cemerlang dan berpandangan luas. Ia pertama kali menikah dengan anak pamannya yaitu Syukran bin Amr.

Meninggal: 674 M, Madinah, Arab Saudi
Orang tua: Zum'ah ibn Qayyis
Pasangan: Muhammad (m. 620 M–632 M), Syukran bin Amr.



Saudah Binti Zam'ah Ra, Ummul Mukminin

Saudah binti Zam'ah bin Qais sebelumnya diperistri oleh Sakran bin Amar RA, salah seorang sahabat Nabi SAW lainnya. Mereka berdua telah memeluk Islam pada masa awal ketika di Makkah. Karena kerasnya siksaan dan halangan yang dilakukan oleh kaum Quraisy, mereka berdua hijrah ke Habasyah bersama beberapa sahabat lainnya. Suami Saudah meninggal pada tahun 10 kenabian, beberapa hari sebelum meninggalnya Khadijah RA, ketika masih berada di Habasyah. Sebagian riwayat menyebutkan Sakran telah kembali ke Makkah, kemudian meninggal.

Beberapa bulan setelah wafatnya Khadijah, Nabi SAW menikahinya, inilah pernikahan pertama beliau setelah Khadijah wafat. Tetapi sebagian riwayat menyebutkan, Nabi SAW terlebih dahulu menikah dengan Aisyah, walau saat itu belum berkumpul bersama Nabi SAW.

Ketika dinikahi Nabi SAW, Saudah sudah agak tua dan telah berkurang kecantikannya, badannya agak gemuk. Karena itu ia menjadi istri Nabi yang paling akrab dengan Aisyah, karena tidak ada sesuatu alasan yang bisa membuatnya dicemburui oleh Aisyah, bahkan seringkali Saudah memberikan gilirannya dikunjungi Nabi SAW kepada Aisyah. Keakraban mereka ini kadang terjadi ketika Nabi SAW berada di antara mereka.

Suatu ketika Nabi SAW datang ketika Aisyah sedang bersama Saudah, beliau duduk di antara mereka berdua. Aisyah bangkit untuk membuatkan kue khazirah, kue dari bahan tepung dan susu. Setelah siap, ia menghidangkannya untuk Rasulullah SAW. Aisyah tahu kalau Saudah tidak suka dengan kue khazirah, tetapi justru itu ia berkata setengah memaksa kepada Saudah, "Engkau harus memakan kue ini, kalau tidak, aku akan mengolesi wajahmu dengan khazirah!"

Saudah menolak mati-matian karena memang ia tidak suka. Aisyah terus merajuk dan akhirnya mengoleskan kue itu ke wajah Saudah. Melihat hal ini, Nabi SAW merendahkan kedua lutut dan memberi isyarat kepada Saudah untuk menuruti permintaan Aisyah. Tetapi belum sempat Saudah melakukannya, Aisyah mengambil sepotong kharijah dan mengoleskannya ke wajahnya sendiri. Nabi SAW tersenyum geli melihat wajah dua istrinya yang berlumuran tepung, Aisyah dan Saudah ikut tertawa karenanya.

Di waktu senggangnya, Nabi SAW menyibukkan diri dengan shalat sunnah. Saudah sangat senang ikut shalat di belakang beliau, walau tidak diperintah mengikutinya. Pernah terjadi, ketika beliau shalat dengan ruku yang sangat panjang, hidungnya mengeluarkan darah. Mungkin disebabkan oleh badannya yang terlalu gemuk.

Saudah wafat pada tahun 54 atau 55 hijriah, sebagian riwayat menyebutkan, ia wafat pada akhir kekhalifahan Umar bin Khaththab RA.

Khadijah binti Khuwailid

Khadijah binti Khuwailid merupakan isteri pertama Nabi Muhammad. Nama lengkapnya adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai. Wikipedia

Lahir: 555 M, Mekkah, Arab Saudi
Meninggal: 620 M, Mekkah, Arab Saudi
Pasangan: Muhammad SAW (m. 595 M–619 M)
Anak: Fatimah az-Zahra, Ruqayyah binti Muhammad, lainnya
Orang tua: Fatimah binti Za'idah, Khuwailid bin Asad
Cicit: Sukayna bint Husayn, Ali bin Husain, Ali al-Akbar, lainnya

Khadijah binti Khuwailid

Zainab binti Khuzaimah

Zainab binti Khuzaimah adalah istri Rasulullah Saw. yang dikenal dengan kebaikan, kedermawanan, dan sifat santunnya terhadap orang miskin. Dia adalah istri Rasulullah Saw kedua yang wafat setelah Khadijah r.a. 

Lahir: 595 M
Meninggal: 627 M
Pasangan: Muhammad (m. 625 M–627 M)



Ummul Mukminin, Zainab Binti Khuzaimah Ra

Zainab binti Khuzaimah berasal dari Bani Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah. Ia dinikahi Nabi SAW setelah pernikahannya dengan Hafshah, yakni pada bulan Ramadhan tahun 3 hijriah. Tetapi pernikahan beliau ini hanya berlangsung delapan bulan (riwayat lain menyebutkan dua atau tiga bulan), Zainab meninggal pada bulan Rabi'ul akhir tahun 4 Hijriah. Bersama Khadijah, ia merupakan istri Nabi yang meninggal ketika beliau masih hidup.

Zainab dinikahi Nabi SAW dalam keadaan janda. Sebagian riwayat menyebutkan, suami pertamanya adalah Abdullah bin Jahsyi RA yang mati syahid di perang Uhud, tetapi riwayat lain menyebutkan Thufail bin Harits RA atau saudaranya, Ubaidah bin Harits RA, yang keduanya gugur di medanperang Badar.

   Sejak sebelum Islam didakwahkan, Zainab binti Khuzaimah telah terkenal dengan sebutan Ummul Masakin (Ibu bagi orang-orang miskin), karena ia sangat suka mendermakan hartanya untuk orang-orang miskin, dan sikap kasih sayangnya kepada mereka.

Aisyah Binti Abu Bakar Radhiyallahu ‘anha



Nama : Aisyah Binti Abu Bakar As Shiddiq
Yang meriwayatkan Hadits:
Kalangan : Shahabat
Imam Bukhari: 849
Kuniyah : Ummu Abdullah
Imam Muslim: 630
Negeri Hidup : Madinah
Imam Abu Dawud: 429
Negeri Wafat : ---
Imam at Tirmidzi: 288
Tahun Wafat : 58 H
Imam an Nasa'i: 664

Imam Ibnu Majah: 386

Imam Ahmad: 2,395

Imam Malik: 128
Komentar Ulama :
Imam Darimi: 195

Shahabat


Hadits yang diriwayatkan



Aisyah adalah istri Nabi Shallalahu ‘alaihi Wassalam
putri Abu Bakar As Shiddiq
teman dan orang yang paling dikasihi Nabi, Aisyah masuk Islam ketika masih kecil sesudah 18 orang yang lain. 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam memperistrinya pada tahun 2 H. 
Beliau mempelajari bahasa, Syair, ilmu kedokteran, nasab nasab dan hari hari Arab . 

Berkata Az-Zuhri
“ Andaikata ilmu yang dikuasai Aisyah dibandingkan dengan yang dimiliki semua istri Nabi Shallallahu ’alaihi Wassalam
dan ilmu seluruh wanita niscaya ilmu Aisyah yang lebih utama”. 

Urwah
mengatakan “ aku tidak pernah melihat seorangpun yang mengerti ilmu kedokteran, syair dan fiqh melebihi Aisyah”. 

Aisyah meriwayatkan 2.210 hadits, diantara keistimewaannya beliau sendiri kadang kadang mengeluarkan beberapa masalah dari sumbernya, berijtihad secara khusus, lalu mencocokannya dengan pendapat pada sahabat yang alim. 

Berkenaan dengan keahlian Aisyah, Az-Zarkasyi mengarang sebuah kitab khusus berjudul Al-Ijabah li Iradi mastadrakathu Aisyah ‘ala ash Shahabah. 
Hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menyatakan bahwa beliau bersabda “ Ambillah separuh agama kalian dari istriku yang putih ini “, Sesungguhnya hadist ini tidak bersanad. Ibnu Hajar
. Al-Mizzi
, Adz Dzahabi
dan Ibnu Katsir
menandaskan bahwa hadist itu dusta dan dibuat buat. 

Aisyah meriwayatkan hadits dari ayahnya Abu Bakar
dari Umar
, Sa'ad bin Abi Waqqash
, Usaid bin Khudlair
dan lain lain. 

Sedangkan sahabat yang meriwayatkan dari beliau ialah Abu Hurairah

Abu Musa al-Asy’ari, Zaid bin Khalid al-Juhniy, Syafiyah binti Syabah dan beberapa yang lain. 

Tabi’in yang mengutip beliau ialah: Sa’id bin al-Musayyab, alqamah bin Qais, Masruq bin al-Ajda, Aisyah binti Thalhal, Amran binti Abdirrahman, dan Hafshah binti Sirin.

Ketiga wanita yang disebutkan terakhir adalah murid murid Aisyah yang utama Ilmu Fiqh.
Sanad yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id dan Ubaidullah bin Umar bin Hafshin, dari Al Qasim bin Muhammad, dari Aisyah. Juga diriwayatkan oleh az-Zuhri atau Hisyam bin Urwah, dari Urwah bin az-Zubair, dari Aisyah. Yang paling Dlaif adalah yang diriwayatkan oleh al-Harits bin Syabl, dari Umm an Nu’man dari Aisyah. 

Aisyah wafat pada 57 H, dan Abu Hurairah ikut mensholatkannya. 
Disalin dari Biografi Sayyidah Aisyah dalam Al-Ishabah, kitab an-Nis no 701; Thabaqat Ibn Sa’ad 8/39

Ummu Salamah

Nama : Hindun binti Abi Umayyah bin Al Mughirah
Yang meriwayatkan Hadits:
Kalangan : Tabi'in kalangan Pertengahan
Imam Bukhari: 49
Kuniyah : Abu 'Auf
Imam Muslim: 43
Negeri Hidup : Madinah
Imam Abu Dawud: 53
Negeri Wafat : ---
Imam at Tirmidzi: 44
Tahun Wafat : 62 H
Imam an Nasa'i: 69

Imam Ibnu Majah: 55

Imam Ahmad: 274

Imam Malik: 15
Komentar Ulama :
Imam Darimi: 20

Shahabat


Hadits yang diriwayatkan




  • Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha (wafat 59 H)
Ummu Salamah adalah istri Nabi Muhammad SAW (seorang Ummul-Mukminin

) yang memiliki kepribadian kuat, cantik, dan menawan, juga memiliki semangat jihad dan kesabaran yang tinggi dalam menghadapi cobaan, lebih-lebih setelah berpisah dengan suami dan anak-anaknya.

Kematangan dalam berpikir dan juga ketepatan dalam mengambil setiap keputusan, dia mendaparkan kedudukan mulia di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.

Di dalam sirah Ummahatul Mukminin dijelaskan tentang banyaknya sikap mulia dan peristiwa penting darinya yang dapat diteladani kaum muslimin, baik sikapnya sebagai istri yang selalu menjaga kehormatan keluarga maupun sebagai pejuang di jalan Allah.

Nama sebenarnya Ummu Salamah adalah Hindun binti Suhail, dikenal dengan narna Ummu Salamah. Beliau dibesarkan di lingkungan bangsawan dari Suku Quraisy.
Ayahnya bernama Suhail bin Mughirah bin Makhzurn.

Di kalangan kaumnya, Suhail dikenal sebagai seorang dermawan sehingga dijuluki Dzadur-Rakib (penjamu para musafir) karena dia selalu menjamu setiap orang yang menyertainya dalam perjalanan. Dia adalah pemimpin kaumnya, terkaya, dan terbesar wibawanya.

Ibu dari Ummu Salamah bernama Atikah binti Amir bin Rabi’ah bin Malik bin Jazimah bin Alqamah al-Kananiyah yang berasal dari Bani Faras.

Demikianlah, Hindun dibesarkan di dalam lingkungan bangsawan yang dihormati dan disegani. Kecantikannya meluluhkan setiap orang yang melihatnya dan kebaikan pribadinya telah tertanam sejak kecil.


  • Pernikahan dan Perjuangannya (wafat 59 H)
Banyak pemuda Mekah yang ingin mempersunting Hindun, dan yang berhasil menikahinya adalah Abdullah bin Abdul Asad

bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, seorang penunggang kuda terkenal dari pahlawan-pahlawan suku Bani Quraisy yang gagah berani.
Ibunya bernama Barrah binti Abdul-Muththalib bin Hasyim, bibi Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Abdullah

adalah saudara sesusuan Nabi

dari Tsuwaibah, budak Abu Lahab. Mereka hidup bahagia, dan rumah tangga mereka diliputi kerukunan dan kesejahteraan.

Tidak lama setelah itu, dakwah Islam menarik hati mereka sehingga mereka memeluk Islam dan menjadi orang-oramg pertama yang masuk Islam. Begitu pula dengan Hindun, dia tergolong orang-orang yang pertama masuk Islam, dan bersama suaminya memulai perjuangan dalam hidup mereka.
Orang-orang Quraisy selalu mengganggu dan menyiksa kaum muslimin agar mereka meninggalkan agama Islam dan kembali ke agama nenek moyang mereka.

Melihat kondisi seperti itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam

. mengizinkan mereka untuk hijrah ke Habasyah, sehingga mereka disebut sebagai kaum muhajirin yang pertama. Mereka menetap di Habasyah, dan di sana Hindun melahirkan anak-anaknya: Zainab, Salamah, Umar, dan Durrah.

Setelah beberapa lama, mereka berniat kembali ke Mekah, terutama setelah mendengar keislaman dua tokoh penting Quraisy, Umar bin Khaththab

dan Hamzah bin Abdul-Muththalib

. Akan tetapi, ternyata penyiksaan masih terus berlangsung, bahkan bertambah dahsyat.
Untuk menjaga kehormatan diri dan keluarganya, Abu Salamah meminta perlindungan dari Abu Thalib (paman Nabi) dari siksaan kaumnya, yaitu Bani Makhzum, dan Abu Thalib menyatakan perlindungannya.


  • Cobaan Datang
Karena orang-orang Quraisy masih saja menyiksa kaum muslimin, akhirnya Allah membuka hati penduduk Madinah untuk menerima Islam. Kemudian Rasulullah mengizinkan kaum muslimin untuk hijrah ke sana, baik secara kelompok maupun perseorangan.
Abu Salamah, istri, dan anaknya (Salamah) hijrah ke sana. Di tengah perjalanan mereka dihadang oleh kaum Bani Makhzum (kaumnya Ummu Salamah) yang kemudian merampas serta menyandera Ummu Salamah.

Keluarga Abu Salamah (Bani Asad) ikut campur tangan dan mereka menolak menyerahkan Salamah, bahkan si anak dirampas dan dijauhkan dari ibunya. Sedangkan Bani Makhzum menculik Ummu Salamah dan dipenjara. Adapun Abu Salamah dibiarkan ke Yatsrib dengan hati penuh kesedihan karena harus berpisah dengan istri dan anaknya.

Keadaan demikian berjalan kurang lebih setahun lamanya. Ummu Salamah terus-menerus menangis karena kecewa atas perbuatan kaumnya, sehingga akhirnya ada seorang laki-laki dari kaumnya yang merasa iba dan membiarkan Ummu Salamah menyusul suaminya di Madinah.

Adapun Bani Asad menyerahkan kembali putranya, Salamah, kepadanya. Akan tetapi, banyak rintangan yang harus dia hadapi, dan berkat keimanan dan keinginan yang kuat, dia mampu mengatasi semua itu dan tiba di Madinah.

  • Pesan Abu Salamah untuk Istrinya
Dalam membela Islam, peran Abu Salamah

sangat besar. Dia dikenal berani dalam berperang. Rasulullah menghargainya dengan mengangkatnya sebagai wakil Rasulullah di Madinah ketika beliau pergi memimpin pasukan dalam perang Dzil Asyirah pada tahun kedua hijriah. Abu Salamah ikut dalam Perang Badar

dan Uhud
. Ketika dalam perang Uhud, Abu Salamah mengalami luka yang cukup parah dan nyaris meninggal, namun beberapa saat kemudian dia sembuh.

Setelah Perang Uhud, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. menerima berita bahwa Bani Asad hendak menyerang kaum muslimin di Madinah. Sebelum mereka menyerang, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. berinisiatif mendahului mereka. Dalam misi ini, beliau menunjuk Abu Salamah untuk memimpin pasukan yang berjumlah seratus lima puluh orang dan di dalamnya terdapat Saad bin Abi Waqash, Abu Ubaidah bin Jarrah, Amir bin Jarrah, dan yang lainnya.

Pasukan diarahkan ke Bukit Quthn, tempat mata air Bani Asad. Kemenangan gemilang diraih oleh pasukan Abu Salamah, dan mereka kembali ke Madinah dengan membawa banyak harta rampasan perang.
Di Madinah, luka-luka Abu Salamah kambuh sehingga dia harus beristirahat beberapa waktu. Ketika sakit, Rasulullah selalu menjenguk dan mendoakannya.

Ummu Salamah selalu mendampingi suaminya yang sedang dalam keadaan sakit sehingga dia merawat dan menjaganya siang dan malam. Suatu hari, demam Abu Salamah menghebat, kemudian

Ummu Salamah berkata kepada suaminya, “Aku mendapat benita bahwa seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, kemudian suaminya masuk surga, istrinya pun akan masuk surga, jika setelah itu istrinya tidak menikah lagi, dan Allah akan mengumpulkan mereka nanti di surga. Demikian pula jika si istri yang meninggal, dan suaminya tidak menikah lagi sepeninggalnya. Untuk itu, mari kita berjanji bahwa engkau tidak akan menikah lagi sepeninggalku, dan aku berjanji untukmu untuk tidak menikah lagi sepeninggalmu.
Abu Salamah berkata, “Maukah engkau menaati perintahku?
Dia menjawab, “Adapun saya bermusyawarah hanya untuk taat.”
Abu Salamah berkata, “Seandainya aku mati, maka menikahlah.”
Lalu dia berdoa kepada Allah ”Ya Allah, kurniakanlah kepada Ummu Salamah sesudahku seseorang yang lebih baik dariku, yang tidak akan menyengsarakan dan menyakitinya.

  • Abu Salamah Wafat
Pada detik-detik akhir hidupnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam selalu berada di samping Abu Salamah dan senantiasa memohon kesembuhannya kepada Allah. Akan tetapi, Allah berkehendak lain.
Beberapa saat kemudian maut datang menjemput. Rasulullah menutupkan kedua mata Abu Salamah dengan tangannya yang mulia dan bertakbir sembilan kali.

Di antara yang hadir ada yang berkata, “Ya Rasulullah, apakah engkau sedang dalam keadaan lupa?
Beliau menjawab, “Aku sama sekali tidak dalam keadaan lupa, sekalipun bertakbir untuknya seribu kali, dia berhak atas takbir itu.”

Kemudian beliau menoleh kepada Ummu Salamah dan bersabda, “Barang siapa yang ditimpa suatu musibah, maka ucapkanlah sebagaimana yang telah dperintahkan oleh Allah, ‘Sesungguhnya kita milik Allah, dan kepada-Nyalah kita akan dikembalikan. Ya Allah, karuniakanlah bagiku dalam musibahku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya, maka Allah akan melaksanakannya untuknya.
(Doa ini Terdapat dalam Hadits Riwayat Muslim 1256

)

Setelah itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. berdo’a: “Ya Allah, berilah ketabahan atas kesedihannya, hiburlah dia dari musibah yang menimpanya, dan berilah pengganti yang lebih baik untuknya.

Abu Salamah wafat setelah berjuang menegakkan Islam, dan dia telah memperoleh kedudukan yang mulia di sisi Rasulullah.

Sepeninggal Abu Salamah, Ummu Salamah diliputi rasa sedih. Dia menjadi janda dan ibu bagi anak-anak yatim.

Setelah wafatnya Abu Salamah, para pemuka dari kalangan sahabat bersegera meminang Ummu Salamah. Hal ini mereka lakukan sebagai tanda penghormatan terhadapat suaminya dan untuk melindungi diri Ummu Salamah. Maka Abu Bakar ash-Shiddiq

dan Umar bin al-Khaththab

meminangnya, tetapi Ummu Salamah menolaknya.

Pada saat dirundung kesedihan atas suami yang benar-benar dicintainya serta belum mendapatkan orang yang lebih baik darinya, ia didatangi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. dengan maksud menghiburnya dan meringankan apa yang dialaminya. Rasulullah berkata kepadanya, “Mintalah kepada Allah agar Dia memberimu pahala pada musibahmu serta menggantikan untukmu (suami) yang lebih baik.”
Ummu Salamah bertanya, “Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah, wahai Rasulullah?

  • Di Pinang Rasulullah
Rasulullah mulai memikirkan perkara Ummu Salamah, seorang mukminah mujahidah yang memiliki kesabaran, dan Ummu Salamah pun telah menolak lamaran dua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar. Rasulullah pun berpikir dengan penuh pertimbangan dan kasih sayang untuk tidak membiarkannya larut dalam kesedihan dan kesendirian.

Dalam keadaan seperti itu Rasulullah mengutus Hathib bin Abi Balta’ah menemui Ummu Salarnah dengan maksud meminangnya untuk beliau. Maka oleh Ummu Salamah diterimanya pinangan tersebut. Bagaimana mungkin baginya untuk tidak menerima pinangan dari orang yang lebih baik dari Abu Salamah, bahkan lebih baik dan semua orang di dunia.

Dengan perkawinan tersebut maka Ummu Salamah termasuk kalangan Ummahatul- Mukminin, dan oleh Rasulullah ia ditempatkan di kamar Zainab binti Khuzaimah yang digelari Ummul-Masakiin (ibu bagi orang-orang miskin) sampai Ummu Salamah meninggal dunia.
Hal itu diceritakan oleh Ummu Salamah kepada kami. Ia berkata, “Aku dipersunting oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam., lalu aku dipindahkan dan ditempatkan di rumah Zainab (ummul- masakiin).”

Beberapa keistimewaan yang dimiliki Ummu Salamah adalah ketajaman logika, kematangan berpikir, dan keputusan yang benar atas banyak perkara. Karena itu, ia memiliki kedudukan yang agung di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam., seperti interaksinya dengan para Ummahatul-Mukminin yang merupakan interaksi yang diliputi rasa kasih sayang dan kelemahlembutan.
Kedudukannya yang Agung

Di antara perkara yang menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam adalah apa yang diceritakan Urwah bin Zubair

“Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. menyuruh Ummu Salamah melaksanakan shalat shubuh di Mekah pada hari penyembelihan (qurban) padahal saat itu merupakan hari (giliran)nya. Oleh sebab itu, Rasulullah merasa senang atas kesetujuannya.”

Begitu juga hadits Ummi Kultsum binti Uqbah

yang dimasukkan oleh Ibnu Sa’ad dalam (kitab) Thabaqat-nya.
Ummi Kultsum berkata, “Tatkala Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. menikahi Ummu Salamah, beliau berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya aku menghadiahkan untuk Raja Najasyi sejumlah bejana berisikan minyak wangi dan selimut. Akan tetapi, aku bermimpi bahwa Raja Najasyi itu telah meninggal dunia, kemudian hadiah yang kuberikan kepadanya dikembalikan kepadaku. Karena dikembalikan kepadaku, maka barang tersebut menjadi milikkü.

Sebagaimana yang dikatakan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam., Raja Najasyi meninggal dunia, dan hadiah tersebut dikembalikan kepadanya. Lalu beliau memberikan kepada setiap istrinya masing-masing satu uqiyah (1/2 liter Mesir) dan beliau memberi (sisa) keseluruhannya serta selimut kepada Ummu Salamah.


  • Masuk kedalam kelompok Ahlul Bait
Setelah Ummu Salamah menjadi istrinya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. memasukkannya dalam kalangan ahlul-bait.

Di antara riwayat tentang masalah tersebut adalah bahwasanya pernah pada suatu hari Rasulullah berada di sisi Ummu Salamah, dan anak perempuan Ummu Salamah ada di sana.
Rasulullah kemudian didatangi anak perempuannya, Fathimah azZahra

, disertai kedua anaknya, Hasan dan Husain r.a., lalu Rasullah memeluk Fathimah dan berkata, “Semoga rahmat Allah dan berkah-Nya tercurah pada kalian wahai ahlul-bait. Sesungguhnya Dia Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.” dan kemudian berdo'a
"Ya Allah, mereka adalah ahlul baitku, maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya."
yang pada saat itu turun ayat Al-Qur'an Surat Al-Ahzab

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّـهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّـهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

"dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."
(Surat Al-Ahzab ayat:33)

Penjelasan Hadits Terdapat dalam Hadits Riwayat At-Tirmidzi: 3129



Lalu menangislah Ummu Salamah. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. menanyakan tentang penyebab tangisnya itu. Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, engkau mengistimewakan mereka sedangkan aku dan anak perempuanku engkau tinggalkan."
Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau dan anak perempuanmu termasuk keluargaku.”

Anak perempuan Ummu Salamah, Zainab, tumbuh dalam peliharaan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. ia termasuk di antara wanita yang memiliki ilmu yang luas pada masanya.
Sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mempersunting Ummu Salamah, wahyu pernah turun kepada Rasulullah di kamar Aisyah, yang dengan hal itu Aisyah membanggakannya pada istri-stri beliau yang lain. Maka setelah Rasulullah menikahi Ummu Salamah, wahyu turun kepadanya ketika beliau berada di kamar Ummu Salamah.


  • Beberapa Sikap Cemerlang Ummu Salamah
Di antara sikap agungnya adalah apa yang ditunjukkannya pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. pada hari (perjanjian) Hudaibiyah.
Pada waktu itu ia menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. dalam perjalanannya menuju Mekah dengan tujuan menunaikan umrah, tetapi orang-orang musyrik mencegah mereka untuk memasuki Mekah, dan terjadilah Perjanjian Hudaibiyah antara kedua belah pihak.
Akan tetapi, sebagian besar kaum muslimin merasa dikhianati dan merasa bahwa orang-orang musyrik menyia-nyiakan sejumlah hak-hak kaum muslimin.
Di antara mayoritas yang menaruh dendam itu adalah Umar bin al-Khaththab

, yang berkata kepada Rasulullah dalam percakapannya dengan beliau, “Atas perkara apa kita serahkan nyawa di dalam agama kita?
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. menjawab, “Saya adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyia-nyiakanku.

Akan tetapi, tanda-tanda bahaya semakin memuncak setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menyuruh kaum muslimin melaksanakan penyembelihan hewan qurban kemudian bercukur, tetapi tidak seorang pun dari mereka melaksanakannya.
Beliau mengulang seruannya tiga kali tanpa ada sambutan. Beliau menemui istrinya, Ummu Salamah, dan menceritakan kepadanya tentang sikap kaum muslimin.
Ummu Salamah berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah engkau menginginkan perintah Allah ini dilaksanakan oleh kaum muslimin? Keluarlah engkau, kemudian janganlah mengajak bicara sepatah kata seorang pun dari mereka sampai engkau menyembelih qurbanmu serta memanggil tukang cukur yang mencukurmu.
 Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. kagum atas pendapatnya dan bangkit mengerjakan sebagaimana yang diusulkan Ummu Salamah.

Tatkala kaum muslimin melihat Rasulullah mengerjakan hal itu tanpa berkata kepada mereka, mereka bangkit dan menyembelih serta sebagian dari mereka mulai mencukur kepala sebagian yang lain tanpa ada perasaan keluh kesah dan penyesalan atas tindakan Rasulullah yang mendahului mereka.

Ummu Salamah telah menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. di banyak peperangan, yaitu peperangan Khaibar, Pembebasan Mekah, pengepungan Tha’if, peperangan Hawazin, Tsaqif kemudian ikut bersama beliau di Haji Wada’.
Kita tidak melupakan sikapnya terhadap Umar bin al-Khaththab, tatkala Urnar datang kepadanya dan mengajak bicara tentang perkara keperluan Ummahatul-Mukminin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. serta kekasaran mereka terhadap Rasulullah. Maka ia berkata, “Engkau ini aneh, wahai anak al-Khaththab. Engkau telah ikut campur di setiap perkara sehingga ingin mencampuri urusan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. beserta istri-istrinya?”

  • Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam wafat
Sepeninggalnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, ia senantiasa mengenang beliau dan sangat berduka cita atas kewafatannya.
Beliau senantiasa banyak melakukan puasa dan beribadah, tidak kikir pada ilmu, serta meriwayatkan hadits yang berasal dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.

Telah diriwayatkannya sekian banyak hadits shahih yang bersumber dari Rasulullah dan suaminya, Abu Salamah, serta dari Fathimah az-Zahraa Sedangkan orang yang meriwayatkan darinya banyak sekali, di antara mereka adalah anak-anaknya dan para pemuka dan sahabat serta ahli hadits.

Di antara beberapa sikapnya yang nyata adalah pada hari pembebasan kota Mekah.
Waktu itu Nabi keluar dari Madinah bersama bala tentaranya dengan kehebatan dan jumlah yang belum pernah disaksikan oleh bangsa Arab, sehingga orang-orang musyrik Quraisy merasa takut, dan mereka keluar dari rumah dengan maksud menemui Rasulullah untuk bertobat dan menyatakan keislaman mereka.
Termasuk dari mereka, Abu Sufyan bin al-Harts bin Abdul-Muththalib

(anak paman Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.) dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah

(anak bibi [dari ayah] Rasulullah, saudara Ummu Salamah sebapak).

Ketika mereka berdua meminta izin masuk menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam., beliau enggan memberi izin masuk bagi keduanya disebabkan penyiksaan mereka yang keras terhadap kaum muslimin menjelang beliau hijrah dari Mekah.
Maka berkatalah Ummu Salamah kepada Rasulullah dengan perasaan iba terhadap keluarganya sendiri dan juga keluarga Rasulullah, “Wahai Rasulullah, mereka berdua adalah anak parnanmu dan anak bibirnu (dan ayah) serta iparmu.
Rasulullah menjawab, “Tidak ada keperluan bagiku dengan mereka berdua. Adapun anak parnanku, aku telah diperlakukan olehnya dengan tidak baik. Adapun anak bibiku (dari ayah) serta iparku telah berkata di Mekah dengan apa yang ia katakan.”

Pernyataan itu telah sampai kepada Abu Sufyan, anak paman Rasulullah. Maka ia berkata, “Demi Allah, ia harus mengizinkanku atau aku mengambil anak ini dengan kedua tanganku -pada saat itu ia bersama anaknya, Ja’far- kemudian karni harus berkelana di dunia sehingga mati kehausan dan kelaparan.”

Lalu Ummu Salamah memberitahukan perkataan Abu Sufyan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. dengan kembali memohon rasa belas kasih. Akhirnya hati beliau menjadi luluh, lalu mengizinkan keduanya masuk. Maka masuklah keduanya dan menyatakan keislaman serta bertobat di hadapan Rasulullah.

  • Sikapnya terhadap Fitnah
Ummu Salamah selalu berada di rumahnya, senantiasa ikhlas beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menjaga Sunnah suaminya tercinta pada masa (khilafah) Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab.

Pada masa khilafah Utsman bin Affan

ia melihat kegoncangan situasi serta perpecahan kaum muslimin di seputar khalifah. Bahaya fitnah sernakin memuncak di langit kaum muslirnin. Maka ia pergi menernui Utsman dan menasihatinya supaya tetap berpegang teguh pada petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. serta petunjuk Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab, tidak menyimpang dan petunjuk tersebut selama-lamanya.

Apa yang dikhawatirkan Ummu Salamah terjadi juga, yaitu peristiwa terbunuhnya Utsman yang saat itu tengah membaca Al-Qur’an dan angin fitnah tengah bertiup kencang terhadap kaurn muslimin. Pada saat itu Aisyah

telah membulatkan tekad untuk keluar menuju Bashrah disertai Thalhah bin Ubaidillah

dan Zubair bin al-’Awwam
dengan tujuan mernobilisasi massa untuk melawan Ali bin Abi Thalib
.
Maka Ummu Salamah mengirim surat yang memiliki sastra indah kepada Aisyah.

"Dari Ummu Salamah, Istri Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam., untuk Aisyah Ummul-Mu’ minin.
Sesungguhnya aku memuji Allah yang tidak ada ilah (Tuhan) melainkan Dia. 
Amma ba’du.
Engkau sungguh telah merobek pembatas antara Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. dan umatnya yang merupakan hijab yang telah ditetapkan keharamannya. Sungguh Al-Qur’an telah memberimu kemuliaan, maka jangan engkau lepaskan.
Dan Allah telah menahan suaramu, maka janganlah engkau mengeluarkannya Serta Allah telah tegaskan bagi umat ini seandainya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mengetahui bahwa kaum wanita memiliki kewajiban jihad (berperang) niscaya beliau berpesan kepadamu untuk menjaganya.
Tidakkah engkau tahu bahwasanya beliau melarangmu melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya tiang agama tidak bisa kokoh dengan campur tangan wanita apabila tiang itu telah miring, dan tidak bisa diperbaiki oleh wanita apabila telah hancur.
Jihad wanita adalah tunduk kepada segala ketentuan, mengasuh anak, dan mencurahkan kasih sayangnya."

Ummu Salamah berada di pihak Ali bin Abi Thalib

karena beliau menggikuti kesepakatan kaum muslimin atas terpilihnya beliau sebagai khalifah mereka. Karena itu, Ummu Salamah mengirim/mengutus anaknya, Umar, untuk ikut berperang dalan barisan Ali.
Saat Wafatnya

Pada tahun ke-59 hijriah, usia Ummu Salamah telah mencapai 84 tahun. Usia tua dan pikun merambah di pertambahan umurnya. Allah ta’ala mengangkat rohnya yang suci naik ke atas menuju hadirat-Nya. Ia meninggal dunia setelah hidup dengan aktivitas yang dipenuhi oleh pengorbanan, jihad, dan kesabaran di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Beliau dishalatkan oleh Abu Hurairah

Radhiyallahu'anhu dan dikuburkan di al-Baqi’ di samping kuburan Ummahatul-Mukminin lainnya.

Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Ummu Salamah. dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.


Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah , Karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
InshoMedia

© all rights reserved
made with by templateszoo